Batu mulia ini ditemukan mulai dari bagian tengah hingga selatan Sri Lanka. Jenisnya mulai dari berlian, aneka safir yang paling terkenal hingga ruby, garnet, alexandrite, spinel, zircon, peridot, topaz, tourmaline, batu bulan, iolite, quartz dan yang dihargai dengan mahal yakni chrysoberyl mata kucing, dengan penambangan berskala besar dipusatkan di daerah Ratnapura dan Elahera.
Informasi diatas adalah informasi yang saya dapatkan dari beberapa sumber. Saya sendiri tidak begitu paham dengan berbagai jenis batuan tersebut. Namun ada pengalaman yang menarik saya alami dan mungkin bisa menjadi informasi jika berkunjung ke Kota Colombo, yaitu tentang keberadaan komplotan penjual batu permata ini. Saya sendiri tidak tahu apakah kata “komplotan” tepat untuk mengistilahkan, namun sementara ini istilah itulah yang ada dalam pikiran saya.
Hari kedua, karena masih dalam suasana akhir pekan, setelah sarapan, kami memutuskan untuk jalan-jalan menyusuri Galle Road (jalan menuju kantor Ananda, mitra lokal kami di Colombo). Baru saja kami sampai di tikungan, tiba-tiba ada yang menghampiri, mengajak ngobrol dan berakrab ria dengan kami. Saya merasa wajah orang tersebut tidak asing. Lalu saya ingat, ketika hendak ke kantor Ananda kemarin rupanya orang tersebut juga menghampiri dan berakrab ria dengan kami. Saya ingat kemarin dia menawarkan kepada kami untuk berkunjung ke suatu tempat yang menjadi pusat pembuatan dan penjualan batu permata. Karena merasa tidak berkepentingan, tawaran tersebut kami abaikan. Kemudian orang tersebut naik tuk tuk yang saat terjadi pembicaraan antara kami dan dia terus mengawal.
Kali ini dia juga berakrab ria. Dia menyebutkan namanya Hasan dan pernah tinggal di Indonesia, dia coba meyakinkan kami dengan mengucapkan selamat malam beberapa kali (padahal hari masih pagi menjelang siang…hehehe). Dia terus bertanya dimana kami tinggal dan tujuan kami di Colombo. Merasa ada yang kurang beres, saya mengisyaratkan kepada atasan untuk tidak terlalu menanggapi.
Si Hasan terus berkicau, kami pun membalas dengan penjelasan seadanya. Dia kembali menjelaskan bahwa dia tahu banyak tempat pembuatan dan penjualan batu permata dan perhiasan. Seperti kemarin, dia menawarkan jasa mengantar kami ke tempat tersebut. Kami cukup membayar US$ 2 kepada dia untuk ongkos tuk tuk yang saya perhatikan sejak dari tikungan terus mengawal jalan kami.
Kami berusaha menolak dengan halus menjelaskan bahwa kami tidak berminat dan mengucapkan terima kasih atas tawarannya. Hasan terus menyakinkan dan merayu kami bahwa dia kenal baik dengan bos di salah satu toko perhiasan dan jika bersama dia maka kami akan mendapatkan diskon yang cukup besar, sampai 40 persen, wow!!! Sekali lagi kami berusaha menolak tawarannya. Posisi kami saat itu persis berada di depan kantor Ananda. Kami pun mampir dan berpura-pura akrab dengan petugas jaga di meja resepsionis. Melihat kami berhenti si Hasan pun undur diri dan menaiki tuk tuk yang dari tadi memang mengikuti kami.
Petugas tersebut lalu menanyakan apakah ada masalah. Kami menggeleng namun hanya sedikit bingung dengan keberadaan si Hasan yang sudah kali kedua mendekati kami. Petugas tersebut tidak memberikan penjelasan lanjutan (mungkin karena bahasa inggrisnya yang terbatas), namun dia berpesan supaya kami selalu berhati-hati dengan tawaran seperti itu. Apalagi wajah kami sangat kelihatan kalau bukan penduduk setempat, alias pendatang. Kami mengucapkan terima kasih atas peringatannya dan ijin melanjutkan jalan-jalan.
Baru beberapa langkah, kami didekati sopir tuk tuk menawarkan jasa tuk tuk-nya. Kami ucapkan terima kasih. Seolah tidak mengindahkan jawaban kami sopir tuk tuk tersebut kembali menawarkan jasa berkeliling Kota Colombo dengan tarif 200 rupee untuk satu jam perjalanan. Tadinya saya tetap menolak, namun atasan saya terpancing dan mengiyakan. Akhirnya saya pun mengikuti.
Sepanjang perjalanan sopir tuk tuk terus mengajak kami ngobrol dan dilayani oleh atasan. Terus terang saya sedikit curiga, jangan-jangan ini sopir sama dengan si Hasan tadi. Namun pikiran itu saya tepis. Kami pun mengikuti kemana dia melaju.
Dia meminta persetujuan membawa kami ke salah satu kuil umat buddha. Sedikit berpikir dan bertanya jauh tidaknya tempat itu, kami pun mengiyakan. Meluncurlah kami ke kuil yang dia maksud. Tiba disana saya mengambil beberapa foto dan mendengarkan sedikit penjelasan dari sopir tuk tuk tadi tentang tempat itu. Saya kemudian berpikir, apakah semua sopir tuk tuk juga memainkan peran sebagaimana dia, sebagai guide.
Puas di kuil tersebut, kami pun melanjutkan perjalanan. Tadinya saya berpikir untuk langsung ke hotel. Namun kemudian si sopir tuk tuk tersebut menawarkan kami ke lokasi pembuatan dan penjualan batu permata dan perhiasan. Rupanya waktu di kuil tadi atasan saya sempat berbincang-bincang mengenai batu permata Sri Lanka. Saya merasa kecurigaan saya tadi mulai terbukti. Saya menyampaikan perasaan gak enak yang terpikir kepada atasan dan menawarkan untuk langsung ke hotel saja. Namun si sopir tuk tuk terus berusaha meyakinkan kami untuk berkunjung dan hanya melihat-lihat sebentar saja. Mengingat laju tuk tuk sudah mengarah ke jalan menuju lokasi, tanpa bisa dicegah akhirnya kami pasrah.
Rupanya di jalan atau jalan tersebut terdapat beberapa rumah yang membuat dan sekaligus tempat penjualan batu permata dan perhiasan. Kami dibawa ke salah satu rumah. Di sana telah menunggu beberapa orang berdasi dan menyambut kami dengan ramah. Sementara sopir tuk tuk tadi ijin menunggu di luar. Oleh salah seorang dari mereka kami di bawa ke sebuah lorong.
Di muka lorong tersebut terlihat miniatur layaknya lokasi penambangan tradisional. Kemudian di depannya duduk seorang pekerja yang sedang memperhalus batu permata. Sambil melangkah si petugas memberikan penjelasan. Saya tidak terlalu konsentrasi dengan penjelasan tersebut. Saya hanya berpikir apa yang akan kami hadapi.
Kami lalu dibawa ke salah satu ruangan tempat menyimpan berbegai jenis batu permata utuh. Ruangan tersebut sangat tertutup. Saya sudah membayangkan yang bukan-bukan. Lalu masuk seorang lagi yang kemudian memperkenalkan diri sebagai manager di sana. Dia pun menjelaskan panjang lebar kepada kami mengenai beberapa jenis batu yang ada di ruangan tersebut. Kami menyimaknya namun tetap awas dengan sekeliling. Sampai beberapa waktu penjelasannya cukup membuat kami yakin. Kami terus mengikuti alur dan sesekali memberikan respon sekedarnya.
Setelah memberikan penjelasan mengenai bebatuan di ruangan tersebut si manager menjelaskan tentang dirinya sendiri. Dia mengatakan bahwa dia mengambil studi khusus untuk mempelajari batu-batuan di Amerika. Dia menunjukkan beberapa bukti termasuk ijazah atau sertifikat yang berhasil didapatkannya. Dari sini saya mulai tidak yakin dengan kondisi yang ada.
Belum lepas ketidakyakinan saya, kami lalu dibawa ke ruangan yang lebih tertutup lagi. Rupanya di ruangan itulah gallery tempat penjualan perhiasan yang sudah jadi. Kami langsung ditawarkan sebuah cincin berhiaskan batu permata. Dia menawarkan kepada atasan saya dan menjelaskan panjang lebar mengenai cincin tersebut. Untuk tahap awal dia membuka harga US$ 350 dan langsung menyuruh anak buahnya untuk menuliskan nota pembayaran. Waduh, permainan dimulai nih, pikir saya. Dengan halus atasan saya menolak dan menjelaskan bahwa kita disana ingin melihat-lihat dulu.
Seolah tidak mau kalah, si manager tadi kemudian kembali menjelaskan, berusaha memakaikan cincin tersebut dan kemudian menuliskan angka diatas kertas lagi. Saya lihat angka yang dia tulis, US$ 175, setengah dari harga awal. Kembali atasan saya berusaha menolak.
Si Manager kemudian beralih ke saya dan memberikan saya sebuah gelang rantai perak. Dia juga berusaha memberikan penjelasan dan mencoba meyakinkan kalau gelang rantai tersebut sangat cocok buat saya. Dia memberikan harga US$ 250. Lagi-lagi kami berusaha menolak. Dia lalu menurunkan harganya menjadi US$ 195. Sekali lagi kami menolak secara halus dan terpaksa kami mencari alasan bahwa kami sedang ditunggu mitra kami di hotel.
Sampai di sini dia mulai terlihat kesal. Dia bertanya, kenapa dari tadi kami hanya bilang menolak tanpa memberikan penawaran atas harga yang dia tawarkan. Dengan tetap tenang kami mencoba menjelaskan kepada dia bahwa kami baru pertama kali datang ke tempatnya dan masih banyak waktu. Jika kami tertarik nantinya kami akan datang lagi. Sekali lagi kami katakan bahwa kami harus segera kembali ke hotel.
Dia mencoba meyakinkan bahwa jika kami tidak membelinya sekarang belum tentu penawarannya akan seperti ini. Kami pun tidak mau kalah. Untuk meyakinkan dia bahwa kami tertarik dengan penjelasannya saya minta kartu nama dan nomor teleponnya. Akhirnya dia pun mengalah dan menyarankan kami untuk kembali lagi nantinya. Kami pun mengucapkan terima kasih dan beranjak dari ruangan tersebut tanpa di antar layaknya kami datang tadi. Sebuah negosiasi yang alot, hehehe.
Kami pun beranjak dari lokasi tersebut dengan menumpang tuk tuk yang tadi. Saya merasakan ada yang aneh, sopir tuk tuk yang tadinya ramah dan agresif mengajak ngobrol, berubah diam dan ngebut seolah mengejar setoran. Wah ada apa ini? Tapi kami membiarkan saja kondisi itu. Akhirnya sampai juga kami di hotel. Saya lihat jam di tangan, total dua jam perjalanan. Saya pun mengeluarkan 400 rupee dari dompet. Ternyata sopir tuk tuk tersebut menolak. Saya bertanya kenapa menolak, bukannya perjanjiannya tadi 200 rupee untuk satu jam perjalanan. Dia menolak, 200 rupee untuk satu orang, dua orang berarti 400 rupee, dua jam berarti 800 rupee.
Alamak! darah “wong kito” saya bergejolak. Saya bilang ke dia jangan begitu caranya untuk menipu pendatang, cara dia justru menimbulkan image buruk terhadap kalangan sopir tuk tuk yang lain. Tapi apa hendak di kata, posisi kami ada di negara-nya , dan ibarat pribahasa bagi dia anjing menggonggong transaksi harus jalan terus. Malas berdebat lebih lama lagi, akhirnya saya kasih dia 800 rupee dan mendoakan semoga dia baik-baik saja di jalanan.
Hari berikutnya kejadian terulang lagi, begitu sampai di tikungan Galle Road selalu saja secara tiba-tiba muncul orang yang sok akrab. Bahkan kali ini lagi-lagi si Hasan. Wah, besar juga semangat ini orang pikir saya. Kami pun kembali menjelaskan dan kali ini ditambahkan jika kami sudah ke tempat tersebut. Mendengar penjelasan tersebut si Hasan undur diri dan menitipkan pesan jika kami mau ke sana lagi jangan segan-segan mencari dia di sekitar jalan tersebut.
Saya kemudian jadi penasaran. Otak menyelidik saya kembali main. Hari berikutnya saya mencoba memperhatikan lebih jeli pola si Hasan ini. Begitu keluar lobby hotel pandangan mata saya mulai awas. Kebetulan di depan kami ada seorang bule yang berjalan sendirian. Dan benar saja, selang beberapa menit kemudian ada yang mendekati si bule, sementara di tepi jalan bergerak pelan sebuah tuk tuk mengikuti pergerakan si bule dan orang yang mendekatinya. Rupanya si bule tidak berhasil dirayu, terlihat jelas kalau orang tersebut undur diri. Saya melihat di seberang jalan ada bule lain yang berjalan sendirian. Tiba-tiba orang tadi menyeberang dan mendekati si bule.
Dari sini akhirnya saya tahu pergerakan si Hasan dan kawan-kawannya. Mereka sepertinya merupakan orang-orang yang menjadi agen dari tempat pembuatan dan penjualan batu permata dan perhiasan di lokasi yang pernah kami kunjungi. Mereka nongkrong di dekat hotel-hotel besar yang mereka ketahui banyak tamu asingnya.
Dalam menjalankan aksi mereka bekerja sama dengan beberapa sopir tuk tuk. Pola mereka sama, mendekati tamu hotel yang berjalan kaki sendirian dan menawarkan jasa untuk mengantarkan ke tempat pembuatan dan penjualan perhiasan cukup dengan uang US$ 2 atau 200 rupee. Jika tamu yang berhasil mereka bawa akhirnya membeli perhiasan, mereka akan mendapatkan komisi dari pemilik rumah/toko.
Hmmm, ternyata tidak hanya di Indonesia, di negara lain pun berkembang kondisi seperti itu.