“SATU HARI MENJELANG ULTAH MY DEAR HUSBAND”. Sebuah memo yang terangkum dalam agenda handphone-ku mengingatkan. Aku tersenyum tipis penuh bahagia. Rasanya tak sabar menanti esok.
Sebelum melanjutkan pekerjaan, kusempatkan mengirim sms pada suamiku tercinta. “Mas cyang…,thnks dah jd bagian t’indah dlm hdpku. Met krj! Btw mlm ni mo mkn pa?”
Aku kembali melanjutkan pekerjaan. Berjibaku dengan pekerjaan --yang lumayan menyita waktu dan pikiran-- tak terlalu membuatku menanti balasan sms dari suamiku. Yang ada dalam benakku hanyalah rancangan konsep majalah edisi spesial Idul Fitri.
“Aduh, Bu Pimred ini giat banget. Makan siang dulu yuk…!” tiba-tiba sebuah suara mengusik pekerjaanku. Rupanya Nina --sang editor-- hendak mengajak makan siang.
Aku tersenyum tipis, “Biasalah, abisnya konsep edisi spesial Idul Fitri belum mateng nieh!” sepertinya dahiku sedikit berkerut.
“Makanya isi dulu perutnya. Otak ga bisa diajak kompromi, kalo perutnya belum disogok,” Nina mengelus-elus perutnya seraya tersenyum.
Aku pun beranjak dari pekerjaan. Sepertinya perutku juga sudah mulai protes, meminta untuk diisi. Maka segera kuikuti langkah Nina untuk hunting makan siang.
Saat makan siang pikiranku tertuju pada Mas Arif, suamiku tercinta. “Kenapa dia gak balas smsku? Dia udah makan belum ya?” usik hatiku. Kemudian kucoba menelepon Mas Arif namun tak mendapat jawaban. Kembali kukirim sms, “Mas…, d’t4get mkn siang! Jg kshtn!”.
Kali ini aku benar-benar mengharapkan balasan sms darinya. Sepertinya rasa kesal mulai menyeruak ke dalam hatiku. Merasa tidak memiliki tempat di hatinya.
Dari siang sampai sore pikiranku tertuju pada Mas Arif yang tak jua membalas smsku. Alhasil pekerjaanku pun terganggu. Ide untuk menjadikan edisi spesial Idul Fitri lebih unik tak jua hadir, padahal dua hari lagi rapat final redaksi.
Tepat pukul 03.00 WIB, aku berniat mengirim sms untuk ungkapkan rasa kesalku, “Bkin BT z!!! Sesibuk apa sieh smpe g punya wkt buat bls sms?”. Belum sempat kukirim sms itu, sebuah sms masuk ke inbox handphone-ku, “Ayam asam manis z. Y, td mkn siang. Thnks!”. Aku menghela nafas panjang, ternyata harus selama ini menunggu balasan sms dari suami yang sangat kucintai. Kuurungkan niat mengirimkan sms yang baru saja kuketik.
Sebelum pulang kusempatkan mampir ke supermarket, sekedar untuk membeli ayam. Aku sangat berharap makan malam kali ini terasa berbeda. Setidaknya ada kecupan mesra ucapan terima kasih. Namun kutepis pikiran itu, karena nyatanya suamiku bukan Farel dalam Cinta Fitri, terlebih seperti Rasulullah yang mesra pada Aisyah r.a, ia hanya Arif yang seorang cuek dan tak terlalu pandai merayu.
Tepat pukul 17.00 WIB, aku sampai di rumah. Alhamdulillah shalat ashar telah kutunaikan, jadi bisa langsung bertempur di dapur, seusai mengganti baju kerja. Sebenarnya hari ini aku cukup lelah, ingin sekali merebahkan badan dan tidur. Terlebih sudah dua malam ini aku begadang untuk menyeleksi usulan konsep dari teman-teman tim redaksi. Tapi kali ini aku harus berjuang untuk membuat suamiku merasa dimanjakan.
Saat memasak rasa ngantuk menyerangku. Berkali-kali aku menguap. Namun aku berusaha untuk tidak tidur. Bisa-bisa ayam yang tengah kurebus gosong jika lengah. Tiba-tiba aku teringat Hae --teman satu kelas saat kuliah dulu-- kebiasaannya mengoleskan minyak kayu putih ke daerah sekitar mata kala terserang kantuk memberikan inspirasi.
Segera kucari minyak kayu putih dan kuoleskan ke daerah sekitar mata. Namun rupanya aku ceroboh, tangan yang penuh baluran cairan minyak kayu putih tak sengaja terkena mata bagian dalam. Jelas saja mataku perih dan panas. Mataku basah berurai air mata.
Dengan menahan perih kulanjutkan perjuangan menyajikan menu yang diminta Mas Arif. Ayam Asam Manis Spesial Aroma Cinta Khas Niken pun akhirnya tersaji jua. Dengan senyum bangga kupandangi hidangan yang tersaji di meja. Sedikitnya harapan untuk mendapatkan pujian dari Mas Arif pun memekar dalam hatiku.
Hatiku mulai gelisah menanti kedatangan Mas Arif. Biasanya pukul 18.00 WIB dia sudah ada di rumah. Tapi kini dia belum jua tiba, padahal waktu sudah menunjukkan pukul 19.45 WIB.
Aku berusaha untuk positif thinking. Aku coba menerka-nerka. Mungkin Mas Arif terjebak macet, atau bisa jadi pekerjaannya banyak hingga harus lembur.
“Assalamu’alikum…!” terdengar suara Mas Arif mengucapkan salam.
“Wa’alikumussalam!” kujawab salam seraya berlari menuju pintu depan rumah.
“Maaf telat. Tadi lembur….!” ucapnya singkat memberi penjelasan walaupun tak kuminta.
“Iya, ga apa-apa!” jawabku seraya menyajikan secangkir teh manis hangat.
Usai Shalat Isya kami makan malam bersama. Wajah Mas Arif terlihat ceria. Sungguh rasanya senang sekali melihatnya tersenyum. Rasanya segala lelah hilang. Bahkan perih yang tadi menyerang mata pun seolah tak pernah ada.
Namun tiba-tiba perasaan indah yang kurasakan pupus seketika, “Duh…bumbunya kurang pas nieh!” komentar Mas Arif disuapan pertama.
“Maaf ya Mas! Mungkin Ade salah kasih bumbunya,” garis wajahku diliputi kekecewaan atas hasil kerjaku sendiri.
“Lain kali tomat dan asemnya dikurangi, garamnya ditambah. Keaseman nieh….!” ucapnya tak memperhatikan perubahan wajahku.
Rasanya hatiku remuk saat itu juga. Ingin sekali ia mengetahui kejadian yang kualami tadi. Ingin rasanya membeberkan perjuangan yang harus aku lakukan untuk menyajikan makanan ini.
Seketika aku teringat Yanti --teman satu angkatanku di kampus-- yang memutuskan menikah saat masih kuliah. Dia pernah bercerita kalau suaminya paling bisa menyenangkan hatinya. Bahkan Yanti yang belum bisa memasak selalu semangat untuk memasak. Pasalnya suaminya selalu memuji masakannya.
“Suamiku gak pernah meledek masakanku,” ucap Yanti, “Enak ga enak, ga diledek!”
“Kok bisa?” tanyaku dengan polos, “Cara ngebdain masakan yang enak dengan yang ga enak gimana?”
“Mudah banget. Kalo dia bilang enak sekali berarti masakanku bener-bener enak, tapi kalo cuma bilang enak berarti ada yang kurang.”
“Sama aja donk, kalo dia bilang enak tetep bikin ga puas, kan dah tau kalo enak persi dia tu kurang oke masakannya,” selorohku.
“Tetep aku seneng,” Yanti meyakinkanku, “kalo dia bilang enak pasti dia akan meneruskan dengan ngomong gini, kalo makannya bareng kamu Yank…tetep makin enak dan sedap,” Yanti tersipu.
“Kok ga makan?” Mas Arif membuyarkan lamunanku.
“Hmmm…, ga papa!” Jawabku kikuk.
“Tadi Mas salah ngomong ya?” tanyanya.
“Ngerasanya?” aku balik bertanya.
“Yah…mana Mas tau lah!”
“Ya udah kalo ga ngerasa ga perlu dibahas,” jawabku berusaha acuh dan menyembunyikan air mata yang hampir menetes.
Bukannya aku tak mau dikritik. Aku ini bukan robot yang tak punya hati. Aku ini hanya wanita biasa yang butuh diperlakukan lembut.
Malamnya aku tak bisa tidur. Pikiranku pun mulai tak karuan. Akhirnya aku membanding-bandingkan Mas Arif dengan lelaki lain.
Aku teringat Anwar, pacar temanku yang bernama Sari. Ia rela berpura-pura hobi makan perment rasa mint, hanya karena tahu Sari gemar makan perment rasa mint. Padahal sejatinya Anwar paling benci perment rasa mint. Tapi demi menyenangkan sang pacar, maka Anwar pun selalu membelikan perment rasa mint kesukaan Sari. Berhubung Sari memintanya untuk makan perment juga, jadinya Anwar ikut makan perment tersebut.
Lalu akupun ingat Defa, suami Rifka, yang bekerja di luar kota. Sesibuk apapun Defa, ia selalu menyempatkan waktu untuk Rifka, sekedar sms ataupun telepon. Bahkan bila siangnya sibuk, maka malam pun digunakan untuk bertelpon ria. Katanya agar tetap terasa dekat. Juga sebagai pengobat lelah setelah seharian berjibaku dengan pekerjaan.
Tanpa terasa malam sudah larut. Satu jam lagi pergantian hari. Aku berusaha untuk tidak tertidur. Aku ingin menjadi orang pertama yang memberikan ucapan selamat hari lahir pada Mas Arif.
Kupandang lekat wajah suamiku yang tengah terlelap. Hatiku yang menyimpan seonggok kesal pada sikapnya luluh jua. Rasanya tak adil bila menuntutnya seperti yang kumau. Ia tetaplah pribadi yang begini adanya, cuek. Sepertinya cinta meredam emosi yang bergejolak di dadaku.
Tepat pukul 23.58 WIB, kubangunkan Mas Arif. “Ehhhh…..!” hanya suara itu yang kudapatkan dari mulutnya. Aku berusaha membangunkannya lagi. Sampai akhirnya ia pun terbangun, walau dengan mata yang tak sempurna terbuka.
“Selamat hari lahir Masku sayang!” aku tersenyum dengan sebungkus kado.
Ia tersenyum, “Makasih de…!” jawabnya seraya mengambil kado yang kusodorkan.
Aku berharap dia akan membuka kado yang kuberikan. Namun yang terjadi jauh dari bayanganku. Tidak ada kecupan di kening. Bahkan parahnya dia kembali tidur. Sementara kado yang kuberikan ia letakkan di meja lampu yang terletak di pinggir ranjang.
“Buka kadonya besok aja ya. Ngantuk banget nieh!” ucapnya tanpa memberikan kesempatan padaku untuk mengucapkan doa yang telah kupersiapkan.
“Semoga umur Mas berkah, karir Mas menanjak, impian-impian Mas menjadi nyata!” ucapku dalam hati.
Akhirnya air mataku tak dapat dibendung. Hatiku terasa perih. Ingin rasanya menjerit mengungkapkan kesal yang menyesakkan dada. Tapi aku tak mungkin melakukan itu, kasihan juga bila harus membuat suamiku tak tidur. Perjalanan Jakarta-Tangerang sekedar untuk menjemput rezeki memang cukup melelahkan. Biarlah perih ini hanya aku yang merasakan. Tidurku pun berurai ai mata meski tanpa isak tangis.
***
Usai shalat subuh kusiapkan sarapan ala kadarnya. Nasi goreng ikan teri kusajikan di meja. Setelah itu, aku kembali tidur.
Mas Arif mendekatiku, “De…, kamu sakit?” ia hendak menyentuh keningku, tapi segera kutepis.
“Ga papa, lagi pengen tidur aja! Sarapan aja duluan,” jawabku sedikit ketus.
Mungkin Mas Arif merasa heran dengan perubahan sikapku. Tak biasanya aku tidur lagi usai Shalat Subuh. Biasanya aku yang mempersiapkan kebutuhan kerjanya. Tapi kali ini aku tak lagi menyiapkan semua kebutuhannya. Parahnya kubiarkan Mas Arif sarapan sendirian.
***
Sepulang kerja, aku memilih berkunjung ke rumah paman. Rasanya aku perlu menenangkan perasaanku. Kebetulan di rumah paman ada si kecil Alia --cucu pertama paman. Setidaknya tingkah bocah tiga tahun itu sering membuatku tertawa. Lagipula rumahnya tak terlalu jauh dari rumahku.
“Ade main k rmh pmn, nengok Alia,” kukirim sms ke Mas Arif.
“Ya udah, nanti Mas jemput!” balas Mas Arif setelah 25 menit berlalu.
“G ush, Ade plng sndri z. Insya Allah pkl. 8 mlm nyampe rmh!”
Ternyata bercanda dengan si kecil Alia cukup mengobati kekesalanku. Sebenarnya aku masih ingin berlama-lama dengan Alia. Bila perlu tidur pun mendekap tubuh kecil Alia. Tapi sesuai janjiku pada Mas Arif, aku harus pulang.
***
Sesampainya di rumah aku cukup keheranan. Rumahku gelap gulita. Entah apa yang terjadi. Yang jelas jantungku berdegup kencang. Aku takut terjadi sesuatu pada Mas Arif.
Kubuka pintu depan. Kucoba telusuri ruang tamu dengan berbekal cahaya dari layar handphone. Kupanggil-panggil Mas Arif, namun tak ada jawaban.
Seketika ada cahaya lilin menghampiri. Dalam keremangan kudapati wajah Mas Arif yang tengah tersenyum. Ia mengenakan kaos hijau lumut yang kuberikan tadi malam. Tangannya membawa kue tart yang berhiaskan lilin bertuliskan angka 28.
“Makasih telah melengkapi hidup Mas. Ini ulang tahun terindah Mas karena telah didampingi istri sepertimu. Maukan menemani Mas rayakan hari lahir?” tanyanya.
Kusambut pertanyaannya dengan anggukan. Tanpa diduga ia mengecup kening ku. “I do love you!” ucap Mas Arif.
Ia membawaku ke ruang makan. Ternyata di atas meja makan sudah tersaji menu-menu kesukaanku. Dari cara menyajikan, dari warna kekentalan bumbu, aku tahu masakan yang tersaji ini hasil karyanya.
“Maaf jika selama ini Mas tak pandai mengungkapkan perasaan sayang ini. Tapi percayalah Mas sangat mencintaimu, de!”
Tak berapa lama Mas Arif membuka agenda coklat miliknya. Ia membuka lembar demi lembar kertas agenda. Sampai pada akhirnya tangannya berhenti pada halaman yang menunjukkan hari pernikahan kami. Di sana tergores dengan jelas tulisan tanganku.
“Sejak pertama kali ade menuliskan ini, sampai sekarang dua bulan pernikahan kita, Mas selalu berusaha mengingat pesan Ade dengan senantiasa membacanya. Harapan Mas, Mas bisa menjadi seperti impian Ade. Maaf bila selama ini Mas belum mampu. Tapi Mas akan belajar!” Mas Arif berusaha meyakinkanku.
Aku sudah tak lagi mampu berucap sepatah katapun. Perasaan haru menyeruak hingga air mata terus membasahi pipi. Isak tangis pun tak dapat lagi kutahan.
Kuraih agenda dari tangan Mas Arif. Kubaca dengan seksama tulisanku itu.
“Kita ibarat kutub Utara dan Selatan. Kita harus sama-sama berjuang mengejar titik keseimbangan kita dengan sama-sama melangkah ke titik tengah. Bukan salah satu diantara kita yang mengejar titik Utara ataupun Selatan, hanya sekedar untuk menyatu. Perjuangan ini terasa berat jika kita tak saling memahami dan bekerjasama.”
(Pandeglang, 06 Juni 2010)
Kutulis dengan penuh cinta untuk tanda mata hari pernikahanku dengan suami tercinta