Mohon tunggu...
KOMENTAR
Healthy

Menjadi Dokter Seutuhnya

19 Oktober 2010   14:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:17 1380 0
Awal April 2010 lalu, saya dan ratusan mahasiswa FK Unand lainnya telah resmi menyandang gelar Sarjana Kedokteran (S.Ked). Di waktu yang sama kami pun menerima panggilan baru yaitu Dokter Muda (DM). Dan mulailah kami menjejakkan kaki untuk pertama kalinya berkarya di ranah klinik.

Yup, Dokter Muda! Walaupun ada juga yang menyebutnya KoAss. Namun ada pihak-pihak berselera humor tinggi yang memplesetkan KoAss sebagai singkatan dari “kumpulan manusia-manusia yang serba salah, dan harus mengalah”. Mungkin istilah “KoAss” di atas sedikit berlebihan alias lebay, menggelitik, konyol, lucu, dan gila bagi orang yang belum mengalaminya. Tetapi kurang lebih ya begitulah kenyataan yang ada. (Saya yakin teman-teman yang pernah menjadi Dokter Muda setuju dengan pernyataan di atas. He..Peace ^^v). Oleh karena itu, saya rasa menggunakan istilah Dokter Muda akan lebih bijak, betul?! :)

***

Memasuki dunia klinik bisa dibilang memasuki pintu gerbang keprofesian. Begitulah yang saya rasakan, karena di sana kita berinteraksi langsung dengan para medis dan masyarakat. Dan inilah dunia riil dimana kelak kita, para calon dokter, akan terjun. Bila di kampus (pre-linik) interaksi dengan masyarakat umum yang berada di posisi sebagai pasien cukup minim, namun di klinik ini justru kita akan sangat sering berinterkasi dengan masyarakat, baik dengan sesama rekan-rekan tenaga medis, pasien, maupun keluarga pasien. Dan di sinilah titik awal keprofesian seorang dokter dimulai.

Sebagai satu batu loncatan menuju profesi dokter, maka di dunia per-doktermuda-an inilah nanti kita akan diuji dan bagaimana mengimplementasikan ilmu yang didapat saat kuliah dulu. Diantara sederet tugas yang wajib kita kerjakan siang, malam, dini hari dalam keadaan lelah, mengantuk dan lapar, diantara kegiatan belajar, mempersiapkan ujian, dan mengerjakan tugas-tugas teori, kita memiliki kewajiban untuk mempelajari dan menguasai keterampilan klinis sesuai standar kompetensi dokter umum.

Profesi dokter sangat berbeda jauh dengan profesi yang lain. Kita berurusan langsung dengan kehidupan manusia, sehingga apa yang kita perbuat akan berpengaruh terhadap kesehatan pasien kita, bahkan nyawa pasien tersebut. Lalu, baimana dengan dokter yang hanya memiliki ilmu pas-pasan, atau justru bahkan sangat minim? Bisakah kita pertanggungjawabkan tindakan kita bila kita hanya memiliki ilmu yang sedikit? Bisa-bisa karena “ketidaktahuan” kita nyawa seseorang bisa melayang.

Jadi sebenarnya profesi dokter ini sangat berat tanggung jawabnya. Bila kita semua benar-benar memahami beratnya amanah yang dipikul ini, tentu kita semua termasuk orang-orang yang rajin dan akan selalu memperdalam ilmu kedokteran dengan serius, terutama di masa-masa saat masih berstatus sebagai dokter muda.

Sayangnya, kesadaran ini tidak semua yang memilikinya. Saya sendiri bukan yang termasuk rajin belajar waktu di preklinik (malu juga mengakuinya) dan baru terasa akibatnya waktu menghadapi pasien secara langsung. Jangankan tahu apa yang akan dilakukan, hanya untuk sekedar menjawab pertanyaan pasien mengenai penyakit yang dideritanya saja kadang suka kelimpungan. Dan ternyata... Saya tidak sendirian, rupanya cukup banyak teman-teman lain seperti saya.

Salut untuk teman-teman yang sudah menyadari tanggung jawabnya, yang tidak perhitungan mengenai pasien, yang menganggap semua pasien adalah pasiennya, yang rajin belajar dan berlatih skills.

Beberapa waktu yang lalu dunia maya diramaikan dengan perbincangan tentang sosok dokter muda akibat sebuah tulisan yang berjudul “Para Calon Dokter Itu Sombong Sekali*”.

Nah, sekarang giliran moral calon dokter yang dibahas. Ketika terjun ke rumah sakit untuk pertama kalinya, kita diharapkan mengerti bahwa dokter masih merupakan profesi yang “istimewa” di mata masyarakat. Setiap tindakan yang dilakukan dokter diperhatikan melebihi apa yg dilakukan profesi lain. Begitu juga dengan tindakan para calon dokter. Sehingga tak heran, ketika seorang dokter atau calon dokter melakukan kesalahan maka akan menimbulkan kehebohan yang luar biasa, tak tanggung-tanggung, akan banyak media yang memberitakannya. Kondisi ini menuntut seorang calon dokter mesti memiliki kehati-hatian super tinggi dan tentunya akhlak yang baik. Sehingga keseluruhan sikap dan prilaku kita mencerminkan calon dokter yang baik. Selama di bangku kuliah kita sudah dibekali bagaimana harusnya bersikap sebagai dokter yang memberi teladan dan memperlakukan pasien dengan sangat baik. Tidak hanya memberi terapi medis kepada pasien, tapi juga hendaknya memberi dukungan moril dan spirituil yang dibutuhkan pasien sesuai dengan kebutuhan pasien. Tebarkanlah kebaikan kapan saja dan dimana saja kaki kita berpijak.

Bila seorang dokter tidak berakhlak baik, gampang saja dia berbuat hal-hal yang tidak baik. Memperlakukan pasien seenaknya, menetapkan tarif sewenang-wenang, memberikan resep obat yang tidak perlu atau meresepkan paten yang mahal berdasarkan permintaan sponsor, yang ujung-ujungnya ya demi duit. Memang, apa yang dibicarakan ini semuanya dalam tataran idealita. Idealisme untuk memiliki akhlak yang baik nan ideal itu perlu! Apalagi bagi kita yang masih berstatus mahasiswa. Kalau saat ini saja kita tidak idealis, bagaimana nanti kalau sudah dalam keprofesian? Begitu banyak godaan, cobaan, yang akan menghampiri dan menggoyahkan sisa-sisa idealisme yang kita miliki ketika nanti menjadi seorang dokter.

Oke, kembali ke pengalaman selama menjadi dokter muda! Begitu banyak suka dan duka sebagai seorang Dokter Muda. Kesenangan, kesedihan, kepanikan, kekonyolan, ke-patho-an (istilah untuk menyebut dokter muda yang bikin “penyakit” bagi dirinya sendiri dan bagi dokter muda yang lain, hehe), saling membantu, dan lain sebagainya akan kita alami selama menjalani sebagai dokter muda.
Begitu kompleksnya masalah yang terjadi selama menjalani ‘kepaniteraan klinik’ (istilah yang digunakan untuk proses pembelajaran selama kita menjadi dokter muda) sampai ada lagu yang mengisahkan tentang kehidupan para dokter muda di rumah sakit. Laporan Jaga Malam, begitulah judul lagu itu. Saya yakin sebagian besar dari pembaca pernah mendengar lagu tersebut. Mungkin anda ingin tertawa saat medengarkan dan mencermati lirik lagu itu :)

Di dunia klinik ini jugalah kita akan temui teman-teman sesama dokter muda lainnya dengan berbagai macam karakter dan keunikannya masing-masing. Konflik personal di kepaniteraan klinik mungkin saja terjadi. Tetapi jangan sampai mengurangi semangat kebersamaan kita selama menjalani hari-hari yang penuh dengan ujian itu.

Saya sangat sering merasakan indahnya kebersamaan selama menjalani kepaniteraan klinik. Kebersamaan merupakan kunci segala-galanya. Dengan semangat kebersamaan insya Allah semuanya dapat diraih. Inilah hikmah yang dapat saya ambil selama menjadi Dokter Muda. ‘KEBERSAMAAN’ yang merupakan cermin dari kekompakan. Pupuklah semangat kebersamaan itu dan hindari perbuatan yang dapat mengganggu suasana dan kondisi yang harmonis. Hindarilah konflik antar sesama teman. Kebersamaan dan saling mengingatkan hendaknya menjadi prinsip yang selalu kita pegang, karena bagaimanapun kita membawa nama baik almamater, sudah seharusnya kita menjaga dengan penuh kesungguhan. Ciptakan kekompakan dan wujudkan kesuksesan dunia & akhirat.

***

Sebagai seorang calon dokter, semestinya sejak di masa-masa awal pembelajaran ini kita sudah berniat untuk mengabdikan diri dan mengamalkan ilmu sesuai dengan isi sumpah dokter. Yup, menjadi dokter yang seutuhnya, tidak separuh-separuh! Maksudnya, kita tidak hanya berorientasi untuk memperoleh titel dokter, tetapi juga berkewajiban menjalankan fungsi sebagai dokter dengan baik. Semoga tulisan sederhana ini dapat menjadi pengingat pagi anda dan saya sendiri.

Zara Novita Sari, S.Ked.


* silakan dibaca di http://kesehatan.kompasiana.com/group/medis/2010/08/19/para-calon-dokter-itu-sombong-sekali/

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun