Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Memberi "Kerja" Untuk DPD RI

23 Oktober 2012   20:12 Diperbarui: 24 Juni 2015   22:28 4341 0
Kekacauan perekonomian Indonesia pada tahun 1997 berujung pada terjadinya huru-hara sosial dan pergolakan politik. Ketidak-puasan muncul dan kemudian dilanjutkan dengan gugatan terhadap kedaulatan pemerintahan hasil pemilu 1997 berakibat mundurnya Presiden Soeharto dari kursi kepresidenan. Serangkaian peristiwa yang melanda mulai dari kurun waktu tahun 1997 hingga 1998 telah membawa dampak perubahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan tersebut juga dirasakan dan terlihat pada perubahan system ketata-negaraan Republik Indonesia.

Beberapa ide dan gagasan untuk merubah system ketatanegaraan itu kemudian diwadahi oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) periode 1999-2004 hasil pemilihan umum (pemilu) tahun 1999. MPR RI periode 1999-2004 telah melakukan perubahan (amandement) terhadap Undang Undang Dasar Tahun 1945 dengan memasukan ide dan gagasan yang relevan dan dapat diterima oleh pelaku perubahan UUD tahun 1945 yaitu anggota MPR. Perubahan terhadap UUD 1945 oleh MPR hingga saat ini telah terjadi sebanyak empat (4) kali perubahan yaitu perubahan pertama tahun 1999, perubahan kedua tahun 2000, perubahan ketiga tahun 2001 dan perubahan keempat tahun 2002.

Salah satu materi perubahan UUD 1945 yang akan dilihat dan ditinjau dalam tulisan ini terkonsentrasi pada perubahan UUD tahun 1945 ketiga yang terjadi dalam sidang paripurna MPR RI pada tahun 2001. Dilakukannnya perubahan ketiga terhadap UUD 1945 telah memberikan posisi yang jelas pada daerah untuk mendudukan wakilnya dalam sebuah badan perwakilan daerah. Badan perwakilan daerah tersebut merupakan badan negara dengan nama Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia atau dengan singkatan DPD RI.

Mengenai wakil daerah ini, dalam UUD 1945 diatur dalam BAB VII-A tentang Dewan Perwakilan Daerah. Bab ini terdiri dari Pasal 22 C ayat (1), Pasal 22 C ayat (2), Pasal 22 C ayat (3), Pasal 22 C ayat (1) dan Pasal 22 D ayat (1) UUD 1945 perubahan ketiga. Salah satu pasal 22 C ayat (1) UUD tahun 1945 penulis cantumkan disini yang berbunyi, “Anggota Dewan Perwakilan Daerah dipilih dari setiap Provinsi melalui pemilihan umum.”

Terbentuknya Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) setelah dilakukannya perubahan ketiga terhadap UUD 1945 telah pula dengan pengaturan mengenai kedudukan dan wewenang badan negara yang baru lahir tersebut. Menurut logika sederhana, ketika konstitusi UUD 1945 meletakkan DPD pada satu kamar tersendiri dalam lembaga parlemen yang diberi nama MPR, maka DPD tentu mempunyai kewenangan dalam hal pembentukkan undang-undang sebagaimana saudara tuanya yakni DPR di kamar lain. Dengan demikian DPD mempunyai kedudukan dan kewenangan yang hampir menyerupai kedudukan dan wewenang DPR, walaupun pada akhirnya secara nyata boleh dikatakan bahwa konstitusi tidak memberikan kedudukan DPD tidak sepenuh kedudukan DPR. Hal itu terlihat dalam pengaturan mengenai DPD dan DPR berbeda dalam UUD 1945. Jika kedudukan DPR dan anggota DPR diatur dasar-dasarnya secara tegas oleh UUD tahun 1945. Sedangkan pengaturan mendetail mengenai kedudukan dan wewenang DPD RI secara lembaga maupun mengenai hak dan kewajiban anggota DPD RI, konstitusi menyerahkan amanat tersebut pada Undang-Undang untuk mengaturnya.

menurut Bagir Manan, Undang-undang yang akan dibuat oleh DPR adalah Undang-undang organik dan bersifat mandat blanko atau mandat kosong. Isinya sepenuhnya diserahkan pada penerima mandat (DPR dan pemerintah yang akan membentuk undang-undang). Semestinya, UUD memberikan arahan-arahan dasar agar ada kepastian dan tidak disimpangi. Ketentuan pasal 22 C UUD 1945 lebih sumir dari ketentuan mengenai DPR. Disini tidak diatur hak-hak DPD dan hak anggota DPD. Juga tidak diatur bagaimana membahas ruh dari DPD dan lain-lain. Semestinya aturan-aturan yang menyangkut mekanisme, dan hak-hak yang melekat pada DPD dan anggota DPD, diatur serupa dengan ketentuan mengenai DPR. Terkesan pengaturan terhadap DPD dilakukan setengah hati. Berbagai kekosongan itu akan diatur dalam undang undang. Disini akan terdapat anomaly. Hal serupa di DPR diatur dalam UUD lama, yaitu mengatur kaidah konstitusional dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari UUD.

Pada tingkatan peraturan perundangan-undangan dibawah konstitusi, mengenai Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) ini diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2009 Tentang Susunan Dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pengaturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dalam Undang Undang ini diatur dalam BAB IV Tentang DPD yang diatur dalam pasal 221 hingga pasal 289.

DPD bukan badan legislatif penuh. Menurut Bagir, DPD hanya berwenang mengajukan dan membahas rancangan undang-undang dibidang tertentu saja yang disebut secara enumerative dalam UUD. Terhadap hal-hal lain, pembentukan undang-undang, hanya ada pada DPR dan pemerintah. Dengan demikian, rumusan baru UUD tidak mencerminkan gagasan mengikutsertakan daerah dalam penyelenggaraan seluruh praktik dan pengelolaan Negara. Sesuatu yang ganjil ditinjau dari konsep dua kamar .

Kedudukan dan kewenangan DPD RI akan ditinjau berdasarkan konstitusi. Tinjauan kontitusional mengenai kedudukan dan wewenang DPD RI kemudian dikaitkan dengan penyelenggaraan otonomi daerah. Mengenai otonomi daerah dalam Konstitusi 1945 diatur secara jelas (eksplisit) mengenai otonomi daerah tersebut yakni seperti maksud dari pasal 18 ayat (2), ayat (5) dan ayat (6) UUD 1945. Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 berbunyi, “Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.”

Otonomi yang telah diselenggarakan dalam alam reformasi telah berjalan lebih kurang 12 tahun banyak mendapat kritik terkait pelaksanaannya yang belum memuaskan. Penyelenggaraan otonomi daerah sesudah reformasi diatur melalui Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 yang kemudian direvisi dan disempurnakan dengan ditetapkan dan diundangkannya Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Permasalahannya bahwa kedudukan serta kewenangan yang diberikan oleh Undang Undang Dasar 1945 serta Undang Undang Nomor 23 tahun 2003, maka DPD RI tentu tidak bisa berperan optimal dalam penyelenggaraan otonomi daerah. DPD RI sebagai badan negara hanya berhak memberikan masukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dalam hal kebijakan mengenai atau yang menyangkut dengan daerah dan urusan otonomi. DPD RI tidak mempunyai kewenangan untuk memutuskan. Hal ini terasa tidak ideal, mengingat maksud keberadaan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) selain dimaksudkan sebagai jalan untuk memberikan peluang pada daerah untuk ikut mengelola dan menentukan arah kebijakan pemerintahan negara juga ikut mengelola dan menentukan arah kebijakan yang berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi daerah karena DPD RI itu sendiri adalah wakil daerah di pusat pemerintahan.

Pasal 22 C ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi :
“Anggota dewan perwakilan daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum”.

Sesuai dengan namanya sebagai badan perwakilan daerah, sebutan Provinsi dalam pasal ini menunjukan anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) mewakili rakyat daerah Provinsi, seperti halnya anggota senat (senator) di Amerika Serikat yang mewakili negara bagian. Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dipilih langsung oleh rakyat Provinsi yang bersangkutan. Hal ini membawa konsekwensi hanya penduduk yang berdomisili yang dapat menjadi calon dan dipilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI). Selanjutnya hak memilih hanya berlaku dalam wilayah Provinsi yang bersangkutan. (Bagir)

Pasal 22 C ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi :
“Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari setiap provinsi jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota Dewan Perwakilan Daerah itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.”

Menurut Bagir Manan, ketentuan pasal 22C ayat (2) ini sangat jelas menunjukkan pendekatan politik dan bukan pendekatan hukum. Jumlah anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) akan bergeser-geser sesuai pergeseran anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Sedangkan pendekatan hukum menghendaki adanya kepastian. Bagir Manan mencontohkan pada pasal 1 ayat (3), angka (1) Undang Undang Dasar (UUD) Negara Amerika Serikat yang menyebutkan dengan tegas :

"The senate of the united states shall be composed of two senators from each state.... (anggota senate Negara Amerika Serikat harus terdiri dari dua orang senator dari tiap negara bagian).

Pasal 22 C ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi ;
“Dewan Perwakilan Daerah bersidang sedikitnya sekali dalam setahun.”

Ketentuan dalam pasal 22C ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini, menurut Bagir Manan tidak begitu signifikan, bahkan disebutkannya tidak konstitutif. Pendapat Bagir Manan tersebut dijabarkan bahwa disebut tidak konstitutif berarti tidak mendasar. Jika gagasan pembentukan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) sebagai kamar kedua dalam parlemen yang berarti lembaga ini adalah lembaga pembuat undang-undang, maka wewenang seperti demikian adalah pekerjaan harian. Membuat undang undang (legislate) berarti juga mengawasi jalannya undang-undang, dengan demikian ketentuan seperti dalam pasal 22C ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak diperlukan.

Pasal 22 C ayat (4) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi :
“Susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Daerah diatur dengan undang-undang.”

Menurut bahasa dan pengertian hukum, rumusan dari pasal ini semestinya dimulai dari “kedudukan” dan kemudian baru “susunan”. Kedudukan merupakan inti norma yang memberikan status hukum atau tempat suatu subjek dalam lalu lintas hukum. sedangkan susunan adalah norma untuk mengisi kedudukan. Ketentuan dalam pasal 22 C ayat (4) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, menurut Bagir Manan harus di perjelas oleh Undang Undang Dasar, karena dengan menyerahkan amanat untuk diatur dalam Undang Undang dibawah konstitusi, maka Undang Undang tersebut bisa disimpangi oleh pembuat Undang Undang yaitu Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Pasal 22 D ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi,

“Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.”

menurut Saldi Isra, sekalipun terdapat ruang bagi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) bersentuhan dalam fungsi legislasi, kata “dapat” dalam Pasal 22D Ayat (1) tersebut membuat Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) tidak mempunyai kekuasaan legislatif yang efektif untuk menjadi salah satu institusi yang mengajukan rancangan undang-undang.

Pasal 22 D ayat (2) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi :

“Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.”

Kata “ikut membahas” sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 22D Ayat (2) Undang Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 diterjemahkan sebagai pembahasan pendahuluan sebelum rancangan undang-undang dibahas bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) dan Presiden. Kalaupun Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) diundang, kehadiran Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) sebatas memberikan pandangan atau pendapat atas rancangan undang-undang yang termasuk dalam kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI).

Pasal 22 D ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berbunyi :
“Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.”

Sama halnya dengan pasal 22 D ayat (1) Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah dibahas sebelumnya, kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) untuk melakukan salah satu fungsi yang berkaitan dengan lembaga legislatif yaitu melakukan pengawasan terhadap jalannya sebuah UndangUndang, hanya sebatas pada tahap melakukan pengawasan tanpa bisa menindaklanjuti hasil pengawasannya.

berdasarkan pembahasan diatas, maka Kedudukan DPD RI sebagai Lembaga Perwakilan Daerah tidak menjadi permasalahan, yang menjadi permasalahannya adalah kewenangan yang diberikan oleh UUD Tahun 1945. dengan demikian tidak dapat diharapkan peran aktif DPD Ri untuk terlibat dalam menetukan regulasi terkait dengan otonomi daerah serta melakukan pengawasan.

karena menurut Jimlly Assidiqqie, Saldi Isra dan Bagirmanan, tujuan awal dibentuknya DPD RI -selain DPD RI di desain untuk mebuat check and balances dalam parlement - antara lain untuk meningkatkan peran serta daerah dalam penyelenggaraan negara. penyelenggaraan otonomi daerah dewasa ini menjadi titik perhatian yang serius dan perlu diperhatikan karena banyak memuat masalah, oleh karena itu dibutuhkan lembaga untuk menentukan arah dari otonomi daerah melalui peraturan perundang-undangan dan melakukan pengawasan terhadap peraturan perundang-undangan tersebut.

seidealnya, kedudukan dan wewenang Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dalam kaitannya dengan penyelenggaraan otonomi daerah oleh pemerintahan daerah, berkedudukan sebagai lembaga negara yang berwenang menjalankan fungsi legislatif, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.

oleh karena itu, Kedudukan Dan Wewenang Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) dalam penyelenggaraan otonomi daerah disarankan berkedudukan sebagai lembaga negara yang berwenang menjalankan fungsi legislatif, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan.

Konsep bicameralisme adalah pilihan agar ada keseimbangan dalam parlemen hingga konsep tersebut mesti dipraktekkan untuk menghindari dominasi satu kamar dalam parlemen. Dengan menganut konsep bicameralism, juga akan membuka peluang bagi daerah untuk lebih berpartisipasi dalam pengelolaan negara.

Perubahan terhadap Undang Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 harus dilanjutkan untuk memberi peluang bagi Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) agar mempunyai kewenangan sebagai badan legislatif seperti Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Masing-masing kamar dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) mesti diberi kewenangan membuat Undang Undang dalam bidang yang berbeda namun masih dapat saling mengontrol.

terakhir, Saldi Isra telah mengumpulkan beberapa menghimpun sejumlah rancangan perubahan Undang Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terkait dengan lembaga legislatif dari beberapa organisasi/lembaga seperti dari Komisi Konstitusi, Forum Rektor Indonesia dan dari Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) sendiri. Pada intinya, rancangan perubahan Undang Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terkait dengan badan legislatif yang diajukan oleh organisasi/lembaga tersebut menghendaki agar gagasan dibentuknya Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) seperti yang telah dibicarakan sebelumnya diterima sebagai bagian dari konstitusi. Karena demikianlah bentuk ideal dari keberadaan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI).

akankah Konstitusi UUD 1945 akan memberi "kerja" untuk DPD RI di masa-masa yang akan datang?

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun