Sore ini, aku berjalan tidak sendiri lagi. Disisku ada seorang wanita yang senyumnya sangat mahal pada awal pertemuan dengannya. Namun seketika dia tersenyum, seketika senyuman itu sedikit mengobati luka-luka yang masih menjejak di hati yang paling dalam. Tapi harus diakui senyuman itu memang tidak mempesona seperti senyuman dari wanita terdahulu, karena yang kutahu bahwa diantara tatap mataku menyusuri lorong jiwa wanita yang baru ini hanya dengan alat sayang yang bisa saja hilang dan lenyap seiring waktu.
Dengan wanita ini, aku memandang Jam Gadang cukup dari kejauhan saja. Dia tampak anggun dari kejauhan ini saja. Dia mempesona karena terpaan cahaya kemuning sore. Di bawahnya masih banyak manusia berjejal mengunjunginya untuk menikmati indahnya arsitektur jam gadang dengan daya tarik utama ukuran jam super besar. Memang banyak orang masih menggilai peninggalan sejarah ini dengan mengunjunginya, terlebih ketika waktu libur sekolah, libur nasional atau pada akhir pekan datang. Berbagai macam orang mendatangi monument ini, dari yang anak kecil, remaja dan orang dewasa atau orang tua, yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Beragam rupa wajah-wajah mereka menggambarkan berbagai energi putih dan hitam. Maka kumpulan energi itu membekap Jam Gadang disana.
Aku segan untuk mendekat pada diri Jam Gadang, karena malu akan aibku yang tercatat abstrak di seputaran kaki jam gadang. Catatan aib itu tentu tidak akan dilupakan oleh jam besar ini. Andai raut wajah Jam Gadang yang entah dimana depannya bisa menampakkan ekspresi, barangkali dia akan mencibirku dan andai dia bisa berbicara barangkali dia akan mencemoohku dengan ucapan seperti, “malang sekali nasib dikau wahai anak manusia” atau dengan pertanyaan seperti, “mana cinta semumu yang dahulu kau bilang cinta sejati itu?”. Mungkin lebih banyak lagi ucapan atau cecaran pertanyaan yang bernada mengolok atau sekedar menertawakan diri ini. Atas alasan itulah aku enggan untuk mendekati dirinya.
Namun di Jam Gadang itulah, masih tertinggal cahaya memori yang membekas di otak dan hati ini. Ketika cahaya memori mengecil atau bisa dikontol dengan ketenangan jiwa, itu tak masalah. Namun ketika cahaya memori itu terkadang membesar hingga membebani diri seperti akan mencabik kulit dan daging atau beban itu akan meremukkan tulang di dalam walau tak terlihat keluar sisa-sisa penderitaan raga yang berawal dari siksa jiwa ini. Cahaya memori di bawah bayang Jam Gadang kali ini yang muncul adalah cahaya pudar. Cahaya yang tidak terang tapi tidak juga gelap.
Kala itu seorang pengamen kecil dekil menyanyikan sajak sebuah lagu yang sedang populer dan sedang menyihir pencinta musik dengan gaya musik dan untaian bait demi bait syairnya. Aku bersimpati dengan penyanyi “penuh bakat” ini walaupun suaranya sumbang, telingaku menangkap suara tak enak tapi aku simpati karena menangkap kepolosan seorang anak kecil yang baru belajar cerdik. Gaya tampilan anak kecil ini sebenarnya merusak pemandangan, tapi dia tak pantas dipersalahkan karena yang salah itu adalah orang tuanya, bisanya hanya membuat anak tapi tidak bisa membesarkan seorang anak dengan sebagaimana mestinya. Rambut anak ini berwarna campuran antara warna hitam, kuning dan merah bukan karena pewarna rambut tapi itu karena anak ini kurang gizi. Ingusnya turun naik keluar dari lubang hidung kemudian dihirup kembali dan hal itu membekas dibawah kedua lubang hidungnya membentuk angka 11 yang basah.
“kuteringat hati…., yang bertabur sunyi…., kemana kau pergi cinta….”, demikianlah awal syair yang dilantunkan oleh penyanyi cilik berbakat itu. Sebenarnya dia mengganggu kala seperti ini, tapi dia mana mau tahu bagaimana perang hati dan kata antara diriku dengan setan betina yang duduk menyebelahiku. Tapi tak apalah, bait syair yang barusan dilagukan oleh penyanyi cilik ini adalah wakil kataku menuju hati si setan betina itu. Spontan aku mengambil ukelele kecil dari si pengamen cilik dengan bujukkan uang pecahan seribu sebanyak dua lembar yang tentu saja diterima olehnya, karena uang segitu sangat berharga bagi dirinya.
Aku mulai memainkan musik dan melagu meneruskan lagu si pengamen cilik. Dalam lagu aku menyampaikan kata hatiku, berharap si perempuan bisa mengerti karena ini bahasa hati. Aku berusaha melagu dengan tulus karena ketulusan akan melenyapkan sumbang suara maupun sumbang sikap. Tapi apa daya, sepertiya pesanku tidak sampai atau barangkali mental karena siperempuan telah memberi tameng disekitar hatinya, hingga apapun yang datang menghampiri hatinya hari ini akan terpental balik.
Hari ini tidak seperti biasanya. Tak ada sambutan cinta dari matamu ketika mataku menjamu matamu. Hari ini matanya tertutup dari ku. Setiap mata ini bermaksud akan menggali kedalam mata sana, mata itu selalu mengelak tidak mengingikan hal itu. Setiap jari tangan ini menggenggam silang jari tangannya disana, tak ada lagi remasan merasakan atau dirasakan, tanganmu tak bereaksi meremas balik genggaman silang jemariku, seperti biasa. Berarti tidak ada usaha penyatuan jiwa lagi dari tanganmu, tangan ini sangat dingin! Setiap tubuh ini memeluk tubuh disana, tak ada gejolak panas balasan, yang ada hanya lunglai bahkan kadangkala kaku tak menampilkan kehangatan. Atau tak ada pelukan rindu dan sandaran manja tubuhmu di atas tubuhku. Aduhai kemana kau buang cintaku wahai setan betina?
“Ingatkah engkau kepada angin yang berhembus mesra yang membelaimu……, cinta”, oh Tuan Letto, puncak syairmu sepertinya tidak menyentuh hatinya. Tak ada reaksi tak ada riak. Apakah aku harus percaya pada peri bahasa, “air beriak tanda tak dalam” artinya pesanku tersampaikan dalam palung lautan hatinya? Ah tidak mungkin! Hatiku tak membenarkan itu.
Aku tertunduk lesu mengakhiri lantunan syair, lalu aku menyesali permainan takdir seperti takdir pengamen kecil yang mengambil alat musik yang diberikannya tadi lalu pergi berlari mengejar pengunjung Jam Gadang yang lain. Tulusku dalam lagu tidak berarti apa-apa. Haruskah aku menyatakan rasaku ini didepan dirinya ditengah-tengah keramaian Jam Gadang sore ini dengan suara keras dan lantang bahwa Aku Cinta kamu!!!!!!!!!!! Tapi kurasa itu percuma.
Diam, diam, diam dan hanya diam. Taman Jam Gadang bak ruang hampa. Tak ada orang-orang yang ramai tadi, tak ada suara dan bising, tak ada perwujudan apa-apa yang terlihat dimataku bahkan wujud wanita tadi juga menghilang. Tak ada terang yang ada hanya gelap. Aku hanya sendiri berdiri sunyi hanya ditemani Jam Gadang yang setia tak lari kemana. Aku terpekur dengan sahabatku, Jam Gadang.
Sejenak….., Tiga tahun yang lalu, mungkin aku mempermainkan hatinya. Tapi sekarang ceritanya berbeda, mengapa hatiku yang justru kini dipermainkan? Ah mengapa aku menjadi sipesimistik dengan menyebutkan semuanya adalah takdir.
Aku harus menentang takdir dengan memenangkan peperangan dalam takdir dengan menaklukkan kembali wanita ini dan mengembalikan sepenuhnya pada pangkuanku dan kala itu aku akan menghancurkan perempuan ini hingga dia tidak akan bisa menangis sekalipun berharap kasih.
Kala ambisi menentang takdir itu, aku disusupi raja iblis yang membawa nafsu dan dendam. Maka sekarang aku sedang belajar dengan raja iblis yang berwajah hitam dengan nafasnya berbau sisa-sisa panggang neraka jahanam. Semua strategi dan taktik telah dipersiapkan oleh si iblis dalam sebuah proposal rencana strategi dan taktik yang langsung disetujui oleh sisi gelap dalam diri.
Satu tahap demi tahap sesuai rekomendasi raja iblis, aku jalani dengan hati-hati dan teliti. Tak perlu menunggu waktu berbulan, rencana berhasil dengan sukses hanya dalam beberapa hari. Semua target dan sasaran dapat dicapai dengan hasil sangat memuaskan hanya satu lagi rencana busuk yang belum dijalankan karena butuh beberapa hari lagi untuk menjalankannya yakni rencana untuk menghancurkan siperempuan. Aku dipaksa bersabar dibawah bimbingan sang raja iblis. Namun untuk kemenangan pertama aku telah berpesta pora dengan raja iblis selama satu malam, sangat meriah!
Detik berlalu detik berganti menit kemudian berganti jam dan ditutup satu hati. Dalam waktu itu, beribu umpan telah ku lempar ke dalam hatinya dengan kail bernama cinta semu, berharap ikan buruan ini menyambar umpan. Sejumlah jala perangkap telah ku kembang ditempat yang menurutku akan menemukan hasil memuaskan, berharap ikan sudi menghampiri jala tanpa sadar telah terperangkap.
Tapi… aku dikalahkan takdir, bukan karena rencana busukku bersama raja iblis ketauan. Tapi arah jalan takdir berputar dengan menutupkan pintu hati si wanita itu padaku sepenuhnya, tanpa alasan yang jelas, tanpa sebab yang jelas. Maka aku dan raja iblis pusing seribu kali pusing memikirkan sebab tanpa menemukan jawaban pasti, hingga jika aku dan raja iblis mati pada hati itu, maka kami akan mati dalam penasaran hingga akan menjadi hantu penasaran yang selalu bertanya pada manusia yang masih hidup mengapa begini? Dan mengapa begitu? Dengan cucuran air mata.
Hari ini….., dengan seorang wanita mungil yang berada disisiku, aku tak akan melupakan setiap jejak kegagalan rencanaku dengan raja iblis untuk menjatuhkan dan menghancurkan wanita terdahulu. Bukan bermaksud untuk menyusun rencana baru dan meneruskan nafsu dan dendam, akan tetapi akan menjadi kenangan yang indah walaupun pahit dan harus diterima serta disimpan dalam laci memori jiwa. Itu akan menjadi cerita yang menarik dikemudian hari kelak, aku percaya itu…..
Maka Jam Gadang yang jauh disana, tolong ingatkan aku akan kisah ini jika suatu waktu aku melupakannya.