Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Haruskah "Perdagangan Bebas?"

7 Desember 2010   22:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:55 793 0
ADA ALTERNATIF LAIN
(DILUAR SISTEM KAPITALISME DAN PERDAGANGAN BEBAS ALA KAPITALIS)

Oleh : Budi Wardoyo

Pengantar

Sebagai kelanjutan dari kesepakatan perdagangan bebas 10 negara-negara ASEAN dengan CHINA yang telah ditandatangani pada tanggal 4 november 2002 di Phnom Phen-Kamboja- yang secara bertahap akan menurunkan bea masuk—hingga 0 %--semua barang dan jasa yang beredar di Kawasan ASEAN dan CHINA akan dibebaskan bea masuk, maka pada tanggal 1 januari 2010, sebanyak 7.881 pos baru akan dibebaskan bea masuknya.

Sebelumnya, baik sesama negara ASEAN—melalui AEC (ASEAN Economic Community) yang memayungi semua perjanjian perdagangan bebas ASEAN, dimana di dalamnya ada AFTA yang sekarang menjadi ATIGA (ASEAN Trade in Goods Agreement), AFAS (ASEAN Framework Agreement on Services)—maupun ACFTA (Asean China Free Trade Agreement), pos bea masuk yang dibebaskan jauh lebih banyak, bahkan dengan tambahan 7.881 pos baru yang dibebaskan, total pos tariff yang dibebaskan menjadi 54.457 (lima puluh empat ribu empat ratus lima puluh tujuh) atau 99,11 persen dari arus barang dan jasa di ASEAN.

Dalam sejarahnya FTA China dan ASEAN ( Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand) merupakan FTA terbesar yang pernah ada, karena mencakup total populasi yang mencapai 1,9 miliar orang--China sendiri telah menjadi mitra dagang ketiga terbesar ASEAN dengan total nilai perdagangan sebesar 230 miliar dollar AS pada tahun 2008--

Menjadi kehebohan dimana-mana—sekalipun perdagangan bebas ini telah berlangsung lama—karena pada tahun 2010 inilah, ribuan pos bea masuk benar-benar diturunkan hingga 0 %--sebelumnya masih banyak barang dan jasa yang terkena bea masuk hingga 5-10 %, ada sebagian yang terkena bea 12,5 %-- dan menjadi lebih heboh lagi, karena yang dihadapi oleh Indonesia, bukan hanya negara-negara ASEAN saja, melainkan ditambah dengan negara China, yang memilki keunggulan kuantitas dan kualitas produksi jauh di atas Indonesia.

Sebagai gambaran, untuk tekstil, sebelumnya pasar dalam negeri hanya mampu diisi oleh industri tekstil dalam negeri sebanyak 22 %, sementara 78 % adalah produk import—walaupun sebagian dari import ini dilakukan secara ilegal melalui penyelundupan—Dan dengan pembebasan tarif hingga 0 % pada tanggal 1 januari 2010 lalu, bisa dipastikan pasar dalam negeri akan semakin tergerus oleh produk import, sehingga akan banyak pabrik-pabrik tekstil yang tutup/bangkrut.

Seperti yang dinyatakan oleh APINDO Jawa Barat, bahwa potensi PHK di Jawa Barat mencapai 40000 buruh akibat ACFTA— Secara umum di Indonesia pada tahun 2008/2009 saja, sudah 429 pengusaha TPT kolaps dan lebih dari 200 industri di Indonesia yang gulung tikar akibat kalah bersaing dengan China—

Menurut Ketua Umum Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia (Perkosmi) Putri K Wardhani ada penurunan penjualan produksi jamu dan kosmetik sekitar 50 persen, bahkan ketika tarif bea masuk masih diberlakukan 5-10 %, apalagi jika tanpa tarif bea masuk.

Belum lagi dampak serupa pada sector-sektor industria lainnya, seperti alas kaki, besi dan baja, elektronik, mebel, sepatu, petrokimia hulu, kaca lembaran, mesin perkakas dan beberapa industria lainnya, sehingga potensi PHK secara keseluruhan menurut APINDO Pusat, bisa mencapai 7,5 juta orang, terutama pada Industri yang orientasi pasarnya adalah pasar dalam negeri dengan teknologi yang rendah—yang berorientasi eksport ke negara Amerika maupun Eropa juga mengalami kendala yang berat, karena harus bersaing juga negara-negara lainnya, belum lagi hambatan non tarif yang sering digunakan oleh sebuah negara untuk melindungi pasar dan industria dalam negerinya—

Perdagangan Bebas Sebagai Strategi Kapitalis Internasional Untuk Menjarah Dunia Ketiga.

Sebagai sebuah sistem yang mengusai mendunia, bukan berarti kapitalisme lepas dari persoalan di dalam dirinya sendiri, kerena dengan penguasaan modal ditangan segelintir orang—dalam Film Dokumenter, The New Rules Of The World/Penguasa Baru Dunia, John Pilger memberikan data, bahwa hanya 200 Perusahaan Raksasa yang menguasai seperempat kekayaan dunia—sementara jutaan, hingga milyaradan orang tak memiliki apa-apa—sebagian diantaranya terpaksa menjadi buruh dan sisanya menjadi pengangguran atau bekerja di sector-sektor informal—

Dengan daya beli yang rendah—sebagai konsukwensi kapitalisme untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar besarnya—maka produksi barang yang berlimpah ruah, tidak sanggup dibeli oleh kaum pekerja dan rakyat miskin, akibatnya terjadi kelebihan produksi, dan terjadilah krisis, awalnya di negara-negara induk kapitalis, yang kemudian crisis serupa juga terjadi di negara-negara berkembang—sebagai akibat dari makin tercengkramnya dunia ketiga oleh negara-negara induk kapitalis—

Sehingga mau tidak mau, kelebihan barang -- juga modal-- ini harus “dieksport” seluas-luasnya keseluruh penjuru dunia, dengan menghancurkan hambatan-hambatan (ekonomi, politik, budaya ) penjualan barang dan jasa ini ditiap-tiap negara yang menjadi sasaran penjualan termasuk hambatan-hambatan arus modal/investasi, maka lahirlah kemudian perdagangan bebas seperti yang dikenal sekarang ini—karena sebelumnya perdagangan antar negara sudah berjalan—dengan lembaganya yaitu World Trade Organization (WTO)/Organisasi Perdagangan Dunia, yang bertujuan untuk menyatukan pasar, meliberalkan arus barang dan jasa, meliberalkan arus modal serta pekerja-pekerja terampil. Indonesia sendiri bergabung ke WTO semenjak 1 januari 1995, setahun setelah WTO berdiri—Walaupun WTO adalah pengembangan dari General Agreement on Tariffs and Trade (GATT)/Kesepakatan Umum Tarif dan Perdagangan, yang telah berdiri dan menjadi acuan aturan perdagangan bertahun-tahun sebelumnya—

Sebagai contoh, Konferensi Tingkat Menteri (KTM) yang diadakan di Singapura tanggal 9-13 Desember 1996 yang kemudian dikenal dengan istilah“Singapore Issues “ antara lain membahas: Investasi PMA, Belanja Pemerintah , Kebijakan Kompetisi dan fasilitas Perdagangan (sekalipun issu-issu ini pada saat ditolak oleh sebagian Negara anggota WTO)

1. Di bidang investasi misalnya, Perusahaan Multinasional menuntut penerapan Penanaman Modal Asing sampai 100 % baik investasi manufaktur maupun jasa, penghapusan keharusan adanya kandungan lokal dan pembatasan impor.

2. Di bidang belanja pemerintah, negara-negara maju memaksakan agar perusahaan mulitinasional bisa ikut serta dalam tender proyek belanja pemerintah, seperti proyek pembangunan infrastruktur publik( jalan raya, jembatan, gedung-gedung pemerintah, waduk, irigasi) dan proyek infrastruktur pemerintah lainnya.

3. Di bidang Fasiltas perdagangan, mereka menuntut liberalisasi dalam aturan-aturan yang bersifat supporting perdagangan seperti kepabeanan, standard teknis, karantina, pameran dagang dan lain-lain.

Industri dalam negeri yang makin keropos.

Dengan penurunan tarif hingga 0 % tersebut, maka kehancuran industri dalam negeri sudah pasti akan terjadi, terutama pada sector-sektor industri dengan modal kecil dan teknologi rendah industri tekstil dan produk tekstil, makanan dan minuman, alat-alat dan hasil pertanian, alas kaki, sintetik fiber, industri komponen manufaktur otomotif , jasa engineering juga beberapa sector yang menggunakan teknologi tinggi seperti, petrokimia, elektronik, industri permesinan, besi dan baja.

Kehancuran Industri Dalam Negeri ini terutama disebabkan, pondasi Industri Nasional memang rapuh, dimana landasan utama pembangunan Industri Nacional bukanlah untuk mensejahterakan rakyat Indonesia, dengan mengandalkan kekayaaan alam baik yang di darat maupun laut.

Kapitalisme yang dicangkokkan oleh Penjajah Kolonial pada abad 16 dan kemudian diteruskan oleh Rezim Orde Baru hingga sekarang, telah mendesign Industri Nasional haruslah mengabdi pada kepentingan Modal Internasional, sehingga Industri yang dibangun kebanyakan adalah Industri yang berorientasi eksport dengan baku import serta ketergantungan teknologi pada modal internacional dan pada saat yang bersamaan menjadikan Indonesia sebagai tempat penyedia sumber daya alam murah, tempat tenaga kerja murah dan pasar bagi produk mereka.

Lihat saja fakta-fakta berikut ini:

1. Sampai dengan hari ini, teknologi yang digunakan oleh Industri Nasional sebagian besar adalah teknologi import, bahkan persentasenya mencapai 92 % (37 persen dari Jepang, 27 persen dari negara-negara Eropa, 9 persen dari Amerika Serikat, 9 persen dari Taiwan, 4 persen dari China, 3 persen dari Korea Selatan, 2 persen dari India, dan 1 persen dari Thailand, seperti yang diungkapkan oleh Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Marzan Aziz Iskandar)
Atau dengan kata lain selama puluhan tahun, tidak terjadi proses alih teknologi, malah yang terjadi adalah pencurian teknologi dari Indonesia, seperti yang terjadi pada kasus pematenan beberapa jenis tempe oleh Jepang, mebel Jepara, Batik Pekalongan dan lain sebagianya. Itulah sebabnya, dalam aturan-aturan perdagangan bebas dunia, negara-negara Imperialis sangat berkepentingan dalam memaksakan issu Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), bahkan dengan membuat shock therapy yang vulgar seperti razia terhadap penggunaan software Windows ilegal/bajakan beberapa tahun yang lalu.

2. Hampir semua bahan baku untuk industri nasional juga harus di import. Misal untuk Industri makanan minuman, bahan baku gula rafinasi (gula dengan standar Industri makanan-minuman) masih import dengan persentase 100 %. Untuk industri elektronik, 30 % bahan bakunya masih harus di import, dan 90 % bahan baku industri farmasi nasional juga masih import, bahkan untuk tempe dan tahu pun masih import kedelai 60,5 %. Menurut Ketua Badan Pengurus Pusat (BPP) Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), Amirudin Saud impor bahan baku selama periode 2005-2007 masih lebih dari 70%.

3. Situasi Industri Nasional yang seperti ini masih diperparah dengan kurangnya modal, akibat kredit perbankan Nasional yang masih terlalu tinggi menetapkan suku bunga kredit, yang berkisar antara 11-13 %, sementara bunga deposito sekitar 7 %--ini tidak lepas dari kebijakan liberalisasi modal yang paling liberal, sehingga arus keluar masuk modal lebih banyak pada spekulasi saham maupun pada obligasi, dan bukan pada sector real/Industri--

4. Masalah lainnya yang juga membuat Industri Nasional makin tak berkembang adalah masalah infrastruktur yang masih kalah jauh dibandingkan dengan Negara-negara lain, bahkan dengan Malaysia. Studi Asia Fondation dan Bank Dunia pada April 2008 mencatat, biaya transportasi di Indonesia adalah US$ 34 sen per kilometer, sedangkan di Malaysia hanya US$ 22 sen per kilometer.

5. Dan pada saat yang bersamaan, pungutan-pungutan liar pun ikut membebani Industri Nasional, bahkan hingga membengkakan biaya produksi hingga 40 %, menurut Djimanto salah satu Ketua DPP APINDO. Pungli sendiri tidak bisa dijelaskan sebagai persoalan yang terpisah dari rapuhnya Industri Dalam Negeri—yang menyebabkan produktifitas dan pendapatan rakyat secara umum rebdah—sehingga penghapusan pungli tidak bisa semata-mata persoalan penegakan hukum saja, melainkan juga persoalan pembangunan Industri Dalam Negeri yang tangguh.

6. Dominasi modal internacional tidak hanya dalam persoalan ketergantungan import bahan baku maupun teknologi, namun juga dalam pengusaan sumber-sumber energi yang dibutuhkan oleh Industri Nasional terutama migas dan batubara, yang menyebakan pasokan energi untuk Industri Nasional harus didapatkan dari import—sekalipun Indonesia memiliki sumber daya energi yang cukup, bahkan berlebih—

Dengan menggunakan boneka-bonekanya di dalam negeri, modal internacional berhasil membuat kebijakan enegri dalam negeri tidak diperuntukan demi kepentingan Industri Nasional, melainkan untuk kepentingan negara-negara imperialis itu, yang disahkan melului UU Penanaman Modal maupun UU Mineral maupun melalui berbagai regulasi lainnya, dimana pada intinya modal internacional diberikan ruang seluas-luasnya untuk mengusai sumber-sumber energi ini, dan bebas pula menentukan kemana energi ini akan disalurkan termasuk bebas menentukan harganya.

Politik energi keblinger inilah yang membuat pasokan energi bagi Industri dalam negeri selalu saja tidak cukup, itupun harus dibeli dengan harga Internasional. Sebagai contoh, Harga BBM (Solar) dan Batu Bara untuk Perusahaan Listrik Negara (PLN) harus dibeli dengan harga Internasional, itupun dengan stok yang sangat terbatas (selain karena mayoritas pemilik tambang migas dan batu bara adalah pemodal Internasional, juga ada kebijakan jatah penjualan dalam negeri/Domestic Market Obligation yang jauh dibawah kebutuhan energi dalam negeri). Demikian juga dengan Industri pupuk yang selalu kekuarangan gas, karena kebanyakan produksi gas justru dieksport, akibatnya pupuk menjadi mahal dan juga langka.

Ditengah situasi itulah, rezim SBY-Boediono menjalakan perdagangan bebas CHINA-ASEAN sebagai kelanjutan dari keputusan yang dibuat oleh Rezim Megawati-Hamzah Haz pada tahun 2002, yang membebaskan bea masuk barang dan jasa, termasuk liberalisasi modal.

Dengan perdagangan bebas ini, seluruh barang dan jasa di kawasan China dan ASEAN bisa bebas keluar masuk tanpa terkena biaya masuk (untuk beberapa pos , masih ada yang terkena biaya namun pada akhirnya semuanya akan dihapuskan) yang artinya produk-produk import baik dari China maupun dari negara-negara ASEAN akan membanjiri Indonesia, baik dengan kualitas dan harga yang lebih baik maupun dengan kualitas dan harga yang lebih buruk—namun pada umumnya kualitas dan harga barang-barang import lebih baik ketimbang produksi Industri Nasional—

Sekilas memang rakyat Indonesia akan diuntungkan karena mendapatkan barang-barang dengan harga murah, mulai dari produk makanan hingga elektronik, namun pada saat yang bersamaan sebagian Industri Nasional akan bangkrut (paling tidak mengalami penurunan produksi) terutama pada Industri yang mengandalkan pemasaran produknya di dalam negeri seperti : industri tekstil dan produk tekstil, makanan dan minuman, petrokimia, alat-alat dan hasil pertanian, alas kaki, sintetik fiber, elektronik, industri permesinan, jasa engineering, besi dan baja, serta industri komponen manufaktur otomotif.

Dengan bangkrutnya sebagian Industri dalam negeri, maka jumlah pengangguran akan meningkat, sehingga pada akhirnya tekanan peningkatan pengganguran yang meningkat berkali lipat ini, akan menyebabkan kesejahteraan kaum buruh yang masih bekerja akan menurun, sehingga barang-barang yang murah—baik import maupun produk lokal—tidak akan mampu lagi terbeli. Artinya perdagangan bebas ini justru menjadi ancaman bagi seluruh kaum buruh, bahkan ancaman bagi seluruh rakyat.

Perlawanan kaum buruh dan rakyat miskin terhadap perdagangan bebas China-Asea.

Di Jawa Barat, lebih dari lima ribuan buruh dari berbagai serikat buruh melakukan aksi massa menolak pemberlakuan ACFTA, serta mengecam sejumlah mentri bidang ekonomi yang dianggap sebagai biangkerok pemberlakukan ACFTA dan juga menteri tenaga kerja yang dianggap tidak melindungi kepentingan kaum buruh. Aksi ini dilakukan oleh buruh-buruh dari empat kabupaten, dengan metode sweeping pabrik-pabrik di sepanjang jalan menuju Gedung Sate, Bandung.

Dalam orasinya, massa secara tegas menolak pemberlakukan ACFTA. Perjanjian perdagangan itu dinilai hanya akan menghancurkan industri dalam negeri. Sebab, produk China yang relatif lebih rendah akan merusak pasaran produk dalam negeri. Hal itu berbuntut pada kehancuran pabrik atau industri dalam negeri dan itu akan berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK) buruh.

Selain buruh, para petani jawa barat yang tergabung dalam Dewan Tani Indonesia dan Front Rakyat Oposisi mengadakan aksi demonstrasi menolak ACFTA (ASEAN China Free Trade Agreement ) dengan berjalan kaki mundur dari Monumen Perjuangan Rakyat Jawa Barat menuju Gedung Sate Bandung. Selain menolak menolak ACFTA, mereka juga mengecam pemerintahan SBY-Boediono sebagai pemerintahan neoliberal, serta mengecam lambatnya penanganan kasus Bank Century

Di Jawa Timur, lebih dari 300 buruh dari Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto, dan Jombang yang tergabung dalam Serikat Serikat Pekerja Nasional (SPN) itu berunjuk rasa di depan gedung DPRD Jatim di Jalan Indrapura, Surabaya.

Menurut Sudarmaji, selaku koordinator aksi, ACFTA menjadi ancaman serius bagi para buruh karena dikhawatirkan produk-produk dalam negeri nantinya kalah bersaing dengan produk-produk China yang semakin membanjiri pasar domestic, sehingga pada akhirnya akan terjadi PHK massal terhadap kaum buruh.

Sementara itu, Asisten III Sekdaprov Jatim Hary Soegiri mengatakan pada perwakilan buruh, bahwa ACFTA yang implementasinya dimulai tahun ini merupakan keuntungan bagi sektor usaha.

Tangerang-Banten, sedikitnya 200 buruh dari berbagai serikat buruh melakukan aksi di DPRD Kabupaten Tangerang untuk menuntut DPRD Kabupaten Tangerang membuat rekomendasi ke Presiden terkait penolakan kerjasama perdagangan Asean-Cina Free Trade Area (ACFTA).

Para buruh membawa spanduk yang berisi penolakan ACFTA, selain spanduk yang bertuliskan "Kabinet SBY Pro Neolib/Kapitalis".

Kelua DPRD Kabupaten Tangerang, Amran, mengatakan bahwa kerja sama ACFTA itu merupakan keputusan pemerintah pusat. Pihaknya akan mendukung sepanjang hal itu demi kemaslahatan masyarakat. "Kalau menyangkut kesejahteraan masyarakat, kenapa enggak kita dukung." ujarnya,

Jawa Tengah,ribuan buruh yang tergabung dalam Gerakan Buruh Kota Semarang berunjuk rasa di depan DPRD Jateng., untuk menolak kesepakatan perdagangan bebas ACFTA . Bagi buruh, perdagangan bebas merupakan ancaman dan dapat berdampak buruk bagi perindustrian domestik.

Koordinator gerakan itu, Nanang Setiyono, mengatakan, dampak buruk perdagangan bebas bagi buruh adalah akan banyak industri lokal kalah bersaing akan tutup atau melakukan efisiensi, sehingga berujung pada pemutusan hubungan kerja besar-besaran, buruh dirumahkan, pengurangan upah atau kesejahteraan.

Sementara itu, dari pihak Pemerintah Jawa Tengah dalam hal ini Dinas Perindustrian dan Perdagangan tidak tinggal diam dan terus memperjuangkan nasib para pengusaha terutama produsen.

Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pemprov Jateng Ihwan Sudrajat mengatakan, di tingkat Jateng akan ada pertemuan seluruh pengusaha Jateng untuk membahas mengenai hal tersebut untuk merumuskan sejumlah strategi yang dapat dilakukan.

Dari aksi-aksi yang dilakukan oleh kaum buruh maka bisa disimpulkan bahwa aksi-aksi kaum buruh masih berdasar pada dampak yang dihasilkan oleh perdagangan bebas, dan belum menyentuh pada persoalan mendasar, yakni persoalan kehancuran Industri Nasional sudah berlangsung jauh sebelum ada perdagangan bebas, bahkan bisa dikatakan selama ini, Industri Nasional itu tidak ada, yang ada adalah Industri di Indonesia hanya untuk melayani kepentingan Modal Internasional (dan agen-agennya di Indonesia), yang terus menerus diintegarsikan dalam sistem ekonomi kapitalis Internasional—sehingga sangat rentan dengan krisis dan kebangkrutan--

Dan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun tingkat daerah, sebagaimana layaknya agen/calo, dengan setia menjalankan scenario kapitalisme Internasional ini dengan memberikan konsesi-konsesi bagi para pengusaha dalam negeri, tanpa memberikan perlindungan apapun terhadap kaum buruh.

Membangun Industri Nasional Yang Kuat dan Mandiri di Bawah Kontrol Rakyat

Oleh karena itu, langkah-langkah penyelesaian krisis tidak bisa lagi dengan jalan kapitalisme—pasar bebas adalah jalan keluar kapitalisme-- yang justru akan memperparah krisis, melainkan harus dengan cara lain, cara yang bertolak belakang dengan sistem kapitalisme.

Tawaran jalan alternatif tersebut bagi rakyat Indonesia, antara lain :

1. Membangun Industri Nasional yang kuat dan mandiri di bawah kontrol rakyat, atau melakukan penataan ulang Industri Nasional kita,

a) Agar rakyat Indonesia bisa sejahtera, makmur, maka Industri dalam negeri harus dibangun dengan semaju-majunya, dalam pengertian bahwa seluruh kekayaan alam yang ada di tanah dan air harus bisa diamanfaatkan, diolah dengan sebaik-baiknya agar mencukupi kebutuhan rakyat Indonesia (bahkan bisa digunakan untuk membantu rakyat di negeri-negeri lain yang membutuhkan).

Dan untuk membangun Industri Nasional yang ditujukan untuk kepentingan mayoritas rakyat Indonesia, maka syarat utamanya adalah adanya demokrasi sepenuh-sepenuhnya bukan demokrasi borjuis, bukan demokrasi elit, demokrasi perwakilan.

Demokrasi sepenuh-sepenuhnya adalah demokrasi yang melibatkan rakyat dalam setiap proses pengambilan keputusan-keputusan public sehari-harinya (bukan hanya sekedar dilibatkan dalam pemilu-pemilu saja),

Dalam praktek hal ini bisa dilihat dalam kota Porto Alegre, Rio Grande do Sul, Brazil, dalam menentukan tuntutannya (dalam katagori) demokratisasi anggaran, atau yang mereka sebut Orcamento Participativo (Participatory Budget/Anggaran Partisipatoris/AP) di mana warga diposisikan memiliki hak untuk mendiskusikan kemudian memutuskan kebijakan-kebijakan publik dan anggaran pemerintah. Lebih dari itu, warga juga turut memutuskan dan mengawasi aspek-aspek kunci administrasi publik, anggaran kota dan investasi;

AP memang masih menganggap penting demokrasi perwakilan namun dinilai belum mencukupi dalam proses peningkatan demokrasi masyarakat. Dengan demikian, AP (demokrasi langsung) akan dihadapkan pada wakil rakyat dan eksekutif (demokrasi perwakilan)—yang bahkan diposisikan tak boleh memiliki hak veto. Aspek-aspek penting lainnya: AP tidak menganggap remeh kapasitas warga dalam mengelola (governing) pemerintahan/anggaran; AP juga diarahkan untuk meningkatkan solidaritas antar-warga dan menciptakan warga yang sadar.

Demokrasi lansung seperti ini (yang harus terus ditingkatkan kualitasnya—dan sangat mungkin meningkat karena kemajuan teknologi, apalagi jika kesadaran demokrasi rakyatnya juga meningkat) yang akan menjamin Industri Nasional berjalan sesuai dengan kepentingan rakyat.

Itulah sebabnya semua proses pembangunan Industri Nasional harus dibawah kontrol rakyat, bukan seperti praktek BUMN sekarang ini, yang sekalipun perusahan-perusahan tersebut milik Negara, namun kontrol terhadap BUMN berada pada tangan Elit, bukan dibawah kontrol kaum buruh dan rakyat.

Artinya secara politik, kontrol rakyat terhadap Industrialisasi Nasional hany bisa dijalankan dengan efektif, jika kekuasaan politik berada di tangan rakyat.

b) Tahap awal, Teknologi harus ditingkatkan (setingi-tingginya) untuk mengatasi persoalan-persoalan darurat rakyat(kesehatan buruk, tempat tinggal kumuh, tak berpengetahuan dan persoalan darurat lainnya) dan peningkatan tenaga produktif rakyat (pengetahuan, ketrampilan, budaya; budaya belajar, budaya solidaritas, budaya berorganisasi, budaya cinta teknologi, budaya demokratik).

Dan untuk mengejar ketinggalan teknologi –dengan keadaan sekarang yang masih import teknologi hingga 92 %--,maka proses alih teknologi dari perusahaan swasta terutama swasta Internasional—baik dengan cara moderat maupun radikal – harus dilakukan, pengembangan riset-riset teknologi yang dibutuhkan rakyat, pembangunan laboratorium-laboratorium hingga membuka akses seluas-luas nya pada rakyat untuk mengembangkan dan mengusai teknologi (termasuk tidak mematenkan capaian-capaian teknologi yang dibutuhkan rakyat)

Dengan semakin terselesaikan persoalan darurat dan semakin meningkatnya tenaga produktif rakyat, maka akan semakin memajukan Industri Nasional (paling tidak dalam tahap ini sudah mulai terlihat pembangunan Industri Dasar yang kuat, seperti Industri Logam dan Baja, industri optik dan fiber, Industri Kimia, Industri Mesin dan Industri Energi --ramah lingkungan dan hemat).

Jika kebutuhan darurat rakyat belum bisa dihasilkan sendiri oleh Industri Dalam Negeri, bisa saja dilakukan import—dalam arti perdagangan dengan Negara lain—namun import yang dilakukan, tidak boleh menimbulkan ketergantungan, namun harus diarahkan untuk mendorong Industri Dalam Negeri untuk semakin mandiri

c) Tahap selanjutnya (kemungkinan juga, dalam beberapa sektor, bisa simultan dengan tahap pertama, yang belum selesai diatas): peningkatan tenaga produktif agar teknologi bisa lebih tinggi lagi (bukan sekadar untuk industri dasar), sebagai landasan material dan kognitif invention dan innovation. Teknologi Industri pengolahan (manufaktur) juga harus ditingkatkan termasuk kapasitas distribusinya, agar produksi barang bisa bersifat massal (seluruh rakyat bisa mendapatkannya dengan mudah) dengan kualitas yang baik, tentu saja dengan harga yang terjangkau (untuk masyarakat tertentu bisa mendapatkannya dengan gratis, dan pada akhirnya semua rakyat akan memperolehnya dengan gratis )

Sebagai negeri yang masih terbelakang pertaniannya, maka dalam tahap ini, industry pertanian juga harus dimajukan, ditingkatkan teknologinya dan akses rakyat terhadap tanah juga diperluas (bukan dalam makna kepemilikan pribadi atas tanah, walaupun bisa saja ditahap-tahap awal masih ada kompromi terhadap kepemilikan pribadi rakyat terhadap tanah pertanian, namun secara terus menerus harus dijelaskan dan ditunjukan bukti bahwa pertanian kolektif dengan teknologi yang maju justru jauh lebih menguntungkan bagi rakyat), demikian juga halnya dengan industry perikanan.

2. Penyelesaian masalah-masalah mendesak rakyat:

Secara dialektis pembangunan Industri Nasional yang tangguh, dimulai dengan penyelesaian masalah-masalah darurat rakyat (dan semakin cepat dan banyak masalah darurat yang teratasi, akan mendorong lebih maju lagi Industri Nasional), seperti (mungkin masih harus disubsdidi dalam tahap awal) menyediakan bahan-bahan kebutuhan pokok cukup gizi; kesehatan; pendidikan; penyediaan lapangan pekerjaan (sedapat mungkin bukan padat karya, namun lapangan pekerjaan di pabrik-pabrik dengan teknologi tinggi, dimana pabrik-pabrik dibangun sesuai dengan kebutuhan); bila masih kekurangan lapangan pekejaan, barulah ditempatkan di sector padat karya; bila masih belum juga tercukupi lapangan pekerjaan, maka diberikan subsidi (layak) pengangguran; pembangunan kesadaran/kebudayaan revolusioner (cinta ilmu, demokratik, solidaritas, militant, radikal dsb)

Karena tanpa massa yang sadar, terorganisir, dan melawan, maka Industrialisasi Nasional (di bawah kontrol rakyat; pengembangan demokrasi rakyat) tak akan berhasil; Tolak ukur berhasil tidaknya penyelesaian tersebut di atas adalah: tingkat pengangguran berkurang; dan demokrasi rakyat (rakyat bisa bersuara dan menentukan nasibnya sendiri) berjalan; perbaikan lingkungan yang sudah sangat rusak; penyelesaian reformasi agraria, baik secara ekonomi, teknologi, politik (perjuangan kelas di pedesaan); dan sebagainya.

3. Skenario pembiayaan industrialisasi nasional (di bawah kontrol rakyat)

Secara dialektis pula, pembangunan Industri Nasional dilakukan dengan melakukan nasionalisasi segera (yang sudah sanggup dinasionalisasikan) seluruh kekayaan/asset material dan finansial nasional (baik yang dikuasai pemerintah maupun swasta, baik nasional maupun asing); periksa ulang negosiasi-negosiasi kontrak—jangan sampai bagi hasil, royalti, dan pajaknya terlalu kecil/merugikan rakyat; tolak atau tunda bayar utang (dengan kekuatan rakyat); sita kekayaan-kekayaan hasil koruptor (dari jaman Orde Baru hingga sekarang) dengan kekuatan rakyat, mengingat akan melibatkan tentara reaksioner; pajak progresif; pembubaran, pembatasan/regulasi, atau pajak tinggi bagi transaksi-transaksi spekulatif; memaksimalkan pencarian pendapatan dari sumber-sumber alam (dengan memperhitungkan ekologi); pengaturan fiscal dan moneter (yang seusai dengan tujuan-tujuan di atas); dan sebagainya.

4. Persoalan hubungan kita dalam perdagangan antara Negara maupun hubungan-hubungan ekonomi politik lainnya.

Secara historis lahirnya perdagangan bebas seperti sekarang ini—berikut lembaganya—adalah produk dari sistem kapitalisme yang telah terbukti gagal mensejahterakan mayoritas rakyat di seluruh dunia, termasuk mayoritas rakyat di Indonesia, sehingga secara tegas kita menolak kapitalisme, demikian juga kita menolak perdagangan bebas model sekarang ini yang hanya menguntungkan pemodal-pemodal internasional (Negara-negara imperialis) dengan menggunakan lembaga-lembaga internasonalnnya, salah satunya adalah WTO—juga ACFTA—

Apalagi mekanisme pengambilan keputusan di WTO bukanlah mekanisme yang demokratis, dimana Negara-negara maju—terutama Amerika, Kanada, Jepang, dan Uni Eropa—berulang kali membuat keputusan-keputusan penting tanpa melibatkan anggota WTO yang lainnya—hingga juli 2009 terdapat 153 negara sebagai anggota WTO—atau dengan kata lain Negara-negara maju ini melakukan konspirasi jahat untuk memenangkan kehendaknya pada negara-negara lain terutama negara berkembang.

Belum lagi proses penyelesaian perselisihan (Dispute Settlement Process/DSP) WTO, dimana sertiap negara anggota WTO diijinkan untuk saling menentang undang-undang dan peraturan masing-masing negara lainnya yang dianggap melanggar ketentuan WTO. Kasus-kasus kemudian diputuskan oleh satu panel yang beranggotakan tiga birokrat perdagangan, yang semata-mata berlandaskan pada kepentingan para pemodal, sehingga tidak mengherankan jika setiap aturan mengenai kesehatan, pendidikan, lingkungan maupun keputusan yang berkaitan dengen hajat hidup mayoritas rakyat di sebuah negara, yang dipersoalan di WTO, diputuskan secaca illegal, walaupun itu artinya melanggar konstitusi di negara-negara tersebut.

Dan perdagangan bebas kawasan tertentu/regional (seperti perdagangan bebas ASEAN, perdagangan bebas ASEAN-CHINA, ASEAN-KOREA, ASEAN-JEPANG dan lain sebagainya) harus mengikuti aturan main yang telah ditetapkan di WTO, sehingga sudah pasti kepentingan yang mendasarinya juga sama, yakni kepentingan para pemodal.

Sebagai pembanding dari WTO (sebut saja, lembaga perdagangan kaum kapitalis), negara-negara di Amerika Latin, yang dipelopori oleh negara sosialis Venezuela dan negara sosialis Kuba—kemudian disusul Bolivia, Nikaragua, dan Ekuador--membentuk sebuah lembaga yang bernama Alternatif Bolivarian untuk Amerika Latin (Alternative Bolivarian for Latin America/ALBA), yang berlandaskan pada prisip saling melengkapi(bukan kompetisi), solidaritas(bukan dominasi), kerja bersama (bukan ekploitasi) dan penghormatan terhadap kedaulatan rakyat(bukan kekuasaan pemodal).

Kerjasama ini juga menghendaki sebuah demokrasi baru berdasarkan partisipasi langsung rakyat dari bawah, dengan berbagai mekanismenya, agar semua orang diberikan kesempatan berfikir, berpendapat, berkreasi, bahkan melawan untuk kemajuan negeri.

Kuba dan Venezuela memelopori bentuk kerja sama ala ALBA, lewat metode pertukaran dokter dengan minyak; operasi mata gratis bagi penduduk miskin Venezuela ke Kuba; pertukaran minyak dengan bahan makanan dan pertanian [bahkan sudah mencapai pertukaran bijih besi kualitas tinggi (ore) dan bauksit dengan nikel]; dokter dengan mesin-mesin produksi; bantuan modal untuk pengembangan energi minyak dan penjualan minyak murah. Kerjasama ini mulai melibatkan Ekuador, Argentina dan Brazil (Petrosur), Colombia dan Paraguay. Semuanya bertujuan demi kemajuan tenaga produktif dan ekonomi rakyat di AL. Belakangan ini, Venezuela, (bahkan) menyodorkan gagasan untuk memperluas sebagian proyek persatuan Amerika Latin-nya dengan Afrika.

Penutup

Tentu saja, sebuah sistem ekonomi yang berpihak pada pada mayoritas rakyat(sosialisme) hanya dapat terwujud jika kekuasaan politik berada ditangan rakyat, sebab dengan kekuasaan politik (yang demokratis) ditangan rakyat, seluruh persoalan ekonomi dapat dipecahkan, dicarikan jalan keluarnya dengan partisipasi penuh rakyat, bukan lagi sekedar segelintir elit.

Dan untuk membentuk kekuasaan rakyat, membentuk pemerintahan rakyat, tidak ada pilihan bagi mayoritas rakyat Indonesia, bagi kaum buruh Indonesia, untuk mulai membangun organisasi-organisasi perjuangan yang militant, organisasi-organisasi perjuangan yang sadar, hanya sosialismelah jalan keluarnya, dan dengan teguh berupaya membangun persatuan sesama organisasi perjuangan, persatuan nasional yang terbentang dari Aceh hingga Papua.

Yang tak ragu berjuang untuk menumbangkan rezim kapitalis di Indonesia (dan berikutnya diseluruh penjuru dunia) dan menegakkan pemerintahan rakyat, menegakkan sosialisme.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun