Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Cerita Ramadan: Wajah-wajah Tak Riang di Malam Lebaran

19 April 2023   16:14 Diperbarui: 19 April 2023   19:35 297 19
Sudah tiga hari, Rangga tidak masuk sekolah. Bu Ratih kembali menatap bangku kayu di sebelahku.

"Tidak tahu, Bu!"

Bu Ratih terdiam mendengar jawabanku. Hanya itu yang bisa kulakukan. Seperti permintaan Rangga pada hari minggu lalu.

"Jika Bu Guru tanya, jawab saja: Tidak Tahu!"
"Berapa hari?"
"Belum tahu!"

Rangga yang sejak tadi hanya memakai celana, segera melangkah ke pancuran bambu. Kemudian berdiri di bawah pancuran. Kedua tangan Rangga tampak sibuk menggosok tubuh kurusnya.

"Wali kelas kita baru, kan?"
"Iya."
"Siapa namanya?"
"Bu Ratih!"

Rangga tersenyum sambil anggukkan kepala. Tangannya meraih baju kaos olahraga sekolah yang tadi dijemur di pagar kawat tempat pencucian. Baju itu kembali basah.

"Bagianku, tolong disimpan, ya?"
"Kau tak pulang?"

Rangga gelengkan kepala sambil memberikan bungkusan plastik padaku. Berisi uang hasil aku dan Rangga mencuci mobil dan motor.

"Aku mau bantu Mang Amin! Bulan puasa ini, mi ayam Mang Amin laris!"

***

Malam ini halaman masjid kembali sepi. Padahal baru beberapa menit yang lalu, salat tarawih selesai. Begitu juga dengan jamaah yang datang. Semakin mendekati akhir ramadan, semakin berkurang.

"Hei!"

Kudengar suara Rangga memanggil. Akupun tak jadi mengayunkan sapu yang baru saja kupegang. Tampak wajah riang Rangga, saat memasuki pagar masjid.

Tangannya diangkat tinggi di atas kepala. Satu kantong kresek terayun di udara. "Titipan Mang Amin. Tapi sudah agak dingin!"

Rangga langsung memberikan kantong kresek berisi mi ayam dagangan Mang Amin. Tangannya segera merebut sapu dari tanganku. Tak lagi bersuara, Rangga mengayunkan sapu ke halaman masjid.

Aku kagum melihat Rangga. Tangannya begitu lincah dan cekatan mengayunkan tangkai sapu.

"Aku ke dalam masjid dulu."

Rangga berhenti ayunkan sapu. Kemudian berjalan mendekatiku. Sesaat tangannya meraih saku celananya.

Lagi. Kejadian di tempat pencucian Mobil dan motor seperti sore tadi, kembali terjari. Sebungkus plastik kecil berisi gulungan uang diserahkan padaku.

"Aku titip lagi, ya?"

Pernah kutanyakan, alasannya menyimpan uang padaku. "Itu tabungan! Biar bisa ke Jepang!"

Sudah dua tahun, Rangga selalu menitipkan uangnya padaku. Tak lagi bersuara, Rangga segera berbalik badan. Kembali melanjutkan menyapu halaman.

Samar-samar, kudengar suara nyanyian dari mulut Rangga.

Lebaran sebentar lagi
Baju baru belum dibeli
Lebaran sebentar lagi
Yang penting bisa hepi


Aku tertawa mendengar lagu yang sengaja diubah Rangga. Sekarang, teman sebangkuku itu mulai tampak menirukan gaya bernyanyi Eno Lerian. Sesekali memutar-mutar gagang sapu. Mungkin dianggap tiang mik.

Akhirnya aku memilih masuk ke dalam masjid. Kemudian menutup dan mengunci semua jendela, serta mematikan lampu. Kecuali lampu di halaman depan masjid.

"Jangan tutup dulu! Aku belum salat!"

Kudengar teriakan Rangga aambil berlari kearahku, ketika aku akan menutup pintu masjid. Rangga menyerahkan sapu, kemudian kemudian berlari ke tempat wudhu yang berada di samping masjid.

Aku geleng kepala melihat Rangga terburu keluar dari tempat wudhu. Aku tertawa.

"Wudhu atau mandi?"
"Dua-duanya!"
"Ganti baju dulu!"
"Tapi baju ini masih..."

Kutarik tangan Rangga yang terpaksa mengikuti langkah kakiku, menuju bangunan kamar kecil yang bersebelahan dengan tempat Imam.

Sejenak Rangga terdiam, kemudian anggukkan kepala saat jariku menunjuk ke lemari baju di sudut kamar. Rangga dengan cepat memilih dan berganti baju.

"Aku salat dulu, ya?"

Rangga bergerak cepat ke arah pintu kamar. Kuserahkan gantungan kunci masjid.

"Ini kuncinya. Kalau sudah salat nanti, tolong dikunci, ya?"

Kulihat jempol tangan kanan Rangga terangkat. Dan, segera berlari keluar kamar menuju masjid.

Sudah tiga hari, Rangga salat isya dan salat tarawih sendiri.

***

Hari ini. Hari terakhir belajar. Karena dua hari lagi akan lebaran, maka sekolah diliburkan.

"Nanti jangan pulang dulu. Temui ibu di Ruang Guru."

Kulihat Bu Ratih tersenyum, saat mengembalikan buku latihan pelajaran terakhir hari ini. Matematika.

"Kau mau, kan?"
"Iya, Bu!"
"Bagus! Ibu tunggu, ya?"

Kuanggukkan kepala usai mendengar kalimat pelan Bu Ratih. Aku kembali ke bangkuku di barisan depan.

Tak lama, lonceng tanda jam pelajaran selesai berbunyi. Sudah pukul sebelas.

"Yeee...."
"Horeee..."
"Selamat liburaaan!"
"Selamat lebaraaan!"


Suasana kelas seketika riuh. Teriakan bercampur dengan kesibukan teman-teman sekelasku membereskan buku-buku pelajaran.

Wajah-wajah tak sabar, terlihat menunggu Bu Ratih, yang sudah beranjak dari meja guru, dan berdiri di depan.

"Besok mulai libur lebaran. Selamat merayakan hari raya. Kalian senang?" Tanya Bu Ratih.

"Senaaang!" Serentak terdengar suara teman-teman sekelasku membahana.

"Jangan lupa belajar! Ujian dilaksanakan lima hari sesudah lebaran!"
"Iya, Buuu...."
"Mohon maaf lahir dan batin. Terus, jangan lupa sampaikan salam Ibu pada orangtua kalian!"
"Iya, Buuu..."

Riuh kelas, diakhiri dengan tawa dan canda. Usai Bu Ratih meminta semua anggota kelas membentuk lingkaran, kemudian berjalan pelan sambil saling bermaaf-maafan.

Pintu kelas tampak sesak oleh teman-teman yang berebutan ingin segera pulang ke rumah.    

Keluar dari kelas, aku segera berjalan menuju Ruang Guru, menyusul Bu Ratih yang sudah menunggu.

"Kau pasti tahu kabar Rangga, kan?"

Suara Bu Ratih terdengar pelan, dan mulai mengajukan pertanyaan. Sesaat sesudah aku duduk di kursi plastik warna biru yanga berada di hadapan Bu Ratih.

Rangga kembali memutuskan tidak datang ke sekolah. Padahal Rangga tahu, hari ini, hari terakhir belajar di sekolah.

"Ibu belum pernah bertemu Rangga. Tapi bilang guru-guru yang lain, Dia sepertimu. Murid yang pintar!"

Aku hanya anggukkan kepala. Tak berani menatap wajah Bu Ratih. Mataku memilih melihat jarum jam yang terpasang di dinding ruang guru. Persis tergantung di belakang Bu Ratih.

"Rangga baik-baik saja, kan?"
"Iya. Bu."
"Syukurlah! Jika begitu. Kau tahu alasan Rangga tidak masuk sekolah?"

Ruang guru kembali sunyi. Kali ini mataku beralih menatap sepatuku. Namun, mataku segera balik lagi menatap jam dinding di belakang Bu Ratih. Hampir jam dua belas!

"Baiklah. Tak masalah jika tak mau jawab."
"Maaf, Bu. Aku..."
"Tak apa-apa, Nak! Ibu tahu sekarang hampir jam duabelas. Kau harus segera pulang, kan?"
"Eh?"
"Kau dan Rangga tinggal di Masjid, kan?"
"Jadi, Ibu sudah tahu, jika..."

Aku terdiam pasrah. Jadi, Bu Ratih tahu, jika aku berbohong dengan menjawab tidak tahu, jika Bu Ratih menanyakan tentang Rangga.

"Iya. Ibu tahu. Tolong sampaikan salam dari Ibu untuk Rangga, ya?"
"Aku..."
"Pulanglah! Sebentar lagi waktu salat zuhur akan tiba! Kau harus buka pintu masjid, kan?"

***

Biasanya, setelah salat zuhur, Rangga menungguku. Kemudian bersama-sama ke pencucian mobil dan motor milik Abah, salah satu jamaah paling aktif di masjid.

Setelah mengunci pintu masjid, aku memutuskan untuk menyusul Rangga ke tempat pencucian.

Tanpa bertemu, akupun jadi tahu penyebab Rangga tak lagi menungguku. Tempat pencucian tampak ramai. Mungkin karena mau lebaran, jadi para pemilik ingin kendaraan miliknya tampak bersih.

Dari jauh, kulihat Rangga berlari ke arahku. Aku tertawa, saat ember kecil berisi sabun dan kain lap yang tadi digunakan, diserahkan padaku.

"Untung kau datang! Cuci motor aja, biar cepat!"

Suara Rangga terdengar lirih. Pasti letih. Aku juga sering merasakan itu. Apalagi bekerja sambil berpuasa.

Aku diam. Hanya anggukkan kepala. Sambil mengganti baju yang bisa kupakai bila berada di pencucian.

"Mana kunci masjid? Aku salat zuhur dulu!"

Tak lagi menunggu, Rangga sudah berlari ke pintu keluar tempat pencucian, setelah mengambil kunci pintu masjid dari tanganku.

Mobil dan Motor bergantian masuk dan keluar dari tempat pencucian. Tapi Rangga tak kembali. Hingga pukul lima sore. Waktuku harus bersiap kembali ke Masjid.

"Ini untukmu!"

Abah menyerahkan satu amplop putih, serta satu kantong kresek berwarna hitam. Saat aku ingin berpamitan pulang. "Dan ini untuk Rangga."

"Terima kasih, Bah. Tapi Rangga sejak zuhur tadi tidak..."
"Iya. Aku tahu."

Abah tersenyum sambil menepuk bahuku pelan. Aku merasa, Abah merahasiakan sesuatu padaku.

***

Aku terburu-buru mengunci pintu masjid. Sampai selesai salat Tarawih, Rangga belum juga pulang. Dan memutuskan pergi ke tempat Mang Amin biasa berjualan mi ayam.

Hanya ada Mang Amin yang tampak bersiap mendorong gerobak untuk pulang. Tapi Rangga tak ada.

"Siang tadi, Rangga ke rumah Mamang. Mohon izin malam ini tak bisa bantu Mamang."
"Sejak siang?"
"Iya."
"Kira-kira Rangga ke mana, Mang?"

Mang Amin tak menjawab pertanyaanku. Wajah lelahnya menatapku.

"Mungkin dia keliling!"
"Bisa jadi. Tapi..."
"Udah. Tunggu aja di Masjid!"

Ini baru pertama kali terjadi. Sejak Abah ke tiba-tiba datang ke masjid, dan memperkenalkan Rangga padaku. Dua tahun lalu.

"Namanya Rangga. Dia juga sepertimu. Selain tinggal bersama di Masjid, Rangga juga akan satu sekolah denganmu."

Abah merengkuh tubuhku juga tubuh Rangga ke dalam pelukannya. "Kalian adalah saudara!"

Dari Abah, aku jadi tahu. Ayah Rangga tak lagi pernah pulang, sejak Tsunami melanda Jepang. Dan, ibunya menemui ajal beserta adiknya, saat wabah corona melanda.

Aku pun pergi meninggalkan Mang Amin. Pulang ke masjid. Tapi Rangga tak kunjung pulang hingga waktu salat subuh datang.

Aku hanya bisa mengingat, tiba-tiba Abah datang dan langsung memelukku. Sayup kudengar Mang Amin berteriak-teriak pada semua orang yang datang ke masjid.

"Rangga mati. Jadi korban tabrak lari!"

Akupun sempat melihat wajah Bu Ratih yang berlinang air mata. Kemudian gelap!

***

Gema takbir berkumandang. Masjid dipenuhi jamaah yang dipimpin Abah, menggemakan takbiran.

Kusaksikan wajah-wajah tak riang di malam lebaran. Sebab, Rangga tidak akan pernah lagi pulang ke masjid.

Curup, 19.04.2023
Zaldy Chan

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun