Lelaki berbaju batik itu menatapku, sambil melemparkan map berwarna hijau. Beberapa lembar kertas putih tersebar. Tanpa suara, kedua tanganku bergerak cepat merapikan meja berbahan kayu jati itu.
"Kembalikan! Cari disain kegiatan ini. Dan Kau analisa draft anggarannya. Sesuai atau tidak!"
"Aku? Tapi ini bukan..."
"Dengar! Aku minta laporan kegiatan. Bukan pamer foto!"
Sepasang mata menatapku tajam. Aku sangat mengenal sosok yang sekarang berdiri di balik meja. Sesaat sunyi. Hingga nada dering ponsel, terdengar dari atas meja.
Sepasang mata Ari, menatapku. Kemudian beralih ke pintu. Akupun beranjak dari tempat dudukku. Bersiap pergi.
"Maafkanlah! Kau mengerti situasi yang kuhadapi saat ini, kan?"
***
"Masuklah!"
Kukuak setengah pintu. Senyum Ari menyambutku di belakang meja, ketika langkah kakiku mendekat. Tubuh tegap Ari tergesa berdiri menghampiri. Kuajukan tangan kananku.
"Selamat! Semoga...."
"Lupakanlah! Aku tak butuh basa-basimu."
Tangan kananku tenggelam dalam genggaman tangan yang kuat dan erat. Tanpa melepaskan genggamannya, Ari mengajak tubuhku untuk duduk di kursi tamu.
"Kopi?"
"Boleh!"
Ari beranjak kembali ke belakang meja. Dalam hitungan detik, sosok berparas cantik hadir di tengah pintu. Sekilas, melempar senyum padaku. Sebelum melangkah sopan ke arah Ari.
"Kopi dua! Satu tanpa gula, ya?"
Hanya anggukan kepala. Tanpa suara. Tubuh perempuan muda itu, menghilang di balik pintu. Menyisakan aroma wangi yang menguasai ruangan.
"Cantik, kan?"
Ari tersenyum menggoda. Dan, tertawa saat kukedipkan kedua mata.
"Sekarang, Kau pejabat atau pesulap?"
Kali ini, tawa Ari terdengar lebih keras. Ia memaklumi arah pertanyaanku. Dan, aku tahu. Ari memiliki alat khusus di balik meja itu, untuk memanggil perempuan cantik tadi.
"Aku hanya mencoba menggunakan fasilitas ruangan yang tadi pagi, dijelaskan panjang kali banyak oleh asistenku."
"Perempuan tadi?"
"Bukan!"
"Syukurlah!"
Ari kembali duduk di sampingku. Sedikit sungkan, Ari mengulang penjelasan asistennya pagi tadi. Ada tiga tombol dengan warna berbeda di dekat laci meja kerjanya. Warna kuning, untuk memanggil asisten. Warna hijau memanggil perempuan cantik tadi, dan warna merah untuk memanggil satpam.
"Sejak pagi hingga istirahat siang ini, tombol warna apa yang sering kau gunakan?"
Aku menatap wajah Ari dengan rasa ingin tahu. Ari membalas tatapanku.
"Coba tebak?"
"Hijau?"
"Baru sekali. Itupun karena kau yang datang!"
"Kuning?"
"Belum. Pagi tadi, ia datang tanpa kupanggil. Memberikan agenda hari ini!"
"Jejangan warna merah?"
"Juga sekali. Meminta untuk menolak semua tamu!"
Ketukan pelan kembali terdengar di pintu, dan kembali aroma wangi yang pekat menyeruak seisi ruangan. Langkah kecil dan teratur bergerak perlahan. Aku dan Ari memilih diam, ketika dua gelas kopi terhidang di atas meja tamu.
"Terima kasih, ya?"
Anggukan sopan perempuan itu tertuju ke Ari. Kemudian kepadaku. Sebelum berbalik badan, dan menghilang di balik pintu.
"Dia manusia, kan?"