Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Artikel Utama

Pulang

5 Mei 2022   15:27 Diperbarui: 5 Mei 2022   22:15 403 51
"Mas masih ingat Mbok Surti?"
"Tetangga Ibu, kan? Yang jualan...."
"Iya. Lontong pecel."
"Mbok Surti kenapa?"

Malam baru menginjak pukul sepuluh. Kamar tidur membeku. Bisu. Kualihkan mataku dari layar laptop di hadapku. Aku menatapmu. Menunggu. Matamu menatap pintu. Menjauhkan wajahmu dari tatapanku.

Tak butuh waktu lama. Gerak perlahan bahumu sudah memberi tahu. Ada tangismu malam itu.

"Tadi, aku dapat kabar. Mbok Surti meninggal di Musalla. Saat salat tarawih."
"Innalillahi. Semoga beliau husnul khatimah. Pergi di bulan Ramadan."
"Amiin..."

Lagi. Bisu kembali bertamu di kamar tidur. Sejak pandemi, kau dan aku mulai terbiasa menghadapi kabar duka. Berita kehilangan datang silih berganti. Dan, satu-satu persatu orang-orang yang dikenal dan dicintai pergi. Tak akan pernah kembali.

"Tapi Marni tak bisa pulang, Mas!"

Kau perlihatkan layar ponselmu. Memintaku membaca percakapanmu dengan Marni. Anak Mbok Surti.

"Marni masih di Jepang?"
"Masih. Kan, sudah menikah dengan orang sana?"
"Oh!"
"Kasihan, Mas! Padahal Marni..."

Suaramu terhenti. Berganti bulir bening yang mewakilkan segenap rasamu. Dan aku mengerti. Kali ini, sebaiknya kubiarkan isak tangis tertahanmu menguasai kamar tidur.

***
Sudah dua hari berlalu, sejak berita duka itu. Dan, sudah dua hari pula, hariku dipenuhi ceritamu tentang Mbok Surti dan Marni.

Bagimu, Marni tak hanya anak tetangga dan teman bermain di masa kecilmu, juga teman sekelasmu sejak SD hingga SMA. Namun lebih dari itu. Sepertimu, Marni adalah satu-satumya anak Mbok Surti.

"Marni masih menyesal tak bisa pulang, Mas!"
"Bisa dimengerti. Namun, tak sesiapapun menginginkan situasi seperti saat ini, kan?"

Tangan kirimu meletakkan ponsel ke atas meja kecil di sudut tempat tidur. Sesaat kau menatapku. Kemudian memalingkan wajahmu ke pintu kamar. Namun, jemari tangan kananmu menggenggam erat jemari tangan kiriku.

"Iya. Marni bilang, andai saja..."

Kau memilih tak menyelesaikan kalimatmu. Dari ceritamu dulu, aku jadi tahu. Setelah menikah, Mbok Surti sempat diajak ke Jepang. Tinggal bersama Marni. Sebab Marni tak mungkin tinggal terpisah dari suami. Namun, hanya bertahan tiga bulan.

Bukan saja permasalahan berbeda budaya. Tapi perubahan cuaca di Jepang tak cocok untuk tubuh tua Mbok Surti. Hingga kemudian meminta pulang ke kampung. Dan memilih hidup sendiri.

"Itu pilihan Mbok Surti, kan? Selain itu, Mbok Surti pasti tak menginginkan Marni hidup terpisah jauh dari suaminya, tah?"
"Iya. Mbok Surti sangat menyayangi menantunya."

Kulihat segaris senyuman di sudut bibirmu. Tiba-tiba lenyap di bahu kiriku. Kemudian hening.

"Aku tak mau menyesal seperti Marni, Mas!"

Pelan, dan perlahan. Liang telingaku mampu merengkuh ucapanmu. Rasa hangat di bahu kiriku menjadi penanda. Pembicaraan malam ini sudah bertukar arah. Tentangmu.

***
"Terima kasih, Mas!"

Bisikmu mengusikku di antara gema takbir. Entah berapa kali kau ujarkan kalimat itu. Dan kau tahu jawabku. Usapan pelan jemari tanganku di puncak kepalamu.

Kata pulang menjadi begitu berharga bagimu. Seperti menemukan sebutir berlian di endapan tanah hitam berlumpur. Butuh tiga tahun untuk mewujudkan inginmu. Pulang kampung.

Aku menjadi saksi guliran bulir bening di sudut matamu, usai kau lihat anggukkan kepalaku tanda setuju. Kau pasti mengerti, pandemi bukan satu-satunya alasan juga penghalang dari keinginan itu.

Kepulangan pada lebaran Idulfitri kali ini, tak hanya tentang meluapkan kerinduan untuk kembali menjejaki tanah kelahiranmu. Namun, untuk menemui Ayah dan Ibumu.

***
"Hampir magrib. Kita pulang, ya?"

Tak ada jawabmu. Tubuhmu masih berdiri kaku di hadapan tanah pusara yang merah dan basah. Nama Mbok Surti tertulis dengan tinta hitam di nisan kayu.

"Aku berdoa mewakili Marni, boleh?"
"Iya. Lakukanlah!"

Sesaat hening. Mata beningmu beralih pada sepasang pusara yang berada di hadapanku. Tangan kananku mengusap pelan legam rambutmu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun