Kau tak perlu berpikir hingga membuang energimu secara percuma untuk memberi sebuah jawaban. Sebab, pertanyaan itu bukan untukmu.
Pertanyaan Itu bermula dari sepotong kertas berwarna biru tua, yang kutulis dengan huruf besar dan spidol berwarna hitam.
Kertas itu sudah terpaku di langit-langit kamarku, selama dua belas purnama. Kau pasti mengerti, usia tulisan itu sudah satu tahun, ketika kaubaca cerita ini.
Sesungguhnya, tak hanya satu potongan kertas. Masih ada sebelas potongan kertas dengan ukuran serupa. Namun, dengan kata-kata yang berbeda di langit-langit kamarku.
Jika kau menduga bahwa kertas-kertas itu adalah tulisan pendek tentang harapanku selama setahun, kau benar!
Di antara sebelas harapan itu: Tetap sehat, makan lebih teratur, kurangi begadang, menyelesaikan kerja tepat waktu, hingga menyisihkan waktu untuk menulis.
Sejak korona datang dan enggan pulang, kesehatan menjadi harapan utamaku tahun lalu. Bagaimana bisa melakukan harapan yang lain, jika aku tak memiliki kesehatan. Sisanya? Cukup aku yang tahu. Aku pasti akan malu jika kuujarkan semuanya padamu.
Jika kau berkata: Harusnya harapan utama adalah tetap hidup. Kau keliru!
Pertama: Urusan tetap hidup dan tidak lagi hidup itu bukan kekuasaanku, tapi Tuhan. Kedua: Kau lupa? Hanya orang-orang hidup yang memiliki harapan!
Begitulah! Satu hari terakhir di setiap pergantian tahun, aku menyediakan waktu khusus untuk menulis harapanku pada lembaran kertas, seperti yang kuceritakan tadi padamu. Bagimu terdengar aneh? Tak masalah.
Dan, jangan tersinggung, jika akupun merasa aneh, ketika melihat kesibukan orang-orang yang menguras waktu menyusun rencana, menyumbangkan tenaga juga biaya untuk acara melewati malam pergantian tahun baru.
Aku berusaha mengerti. Hak mereka untuk menikmati akhir tahun dengan bersukaria. Mungkin untuk sesaat melupakan kenangan, atau sesaat mengalihkan ingatan dari kisah duka yang menghadirkan luka demi luka yang terus menganga.
Juga, hak mereka untuk menyisihkan sedikit pengeluaran dari pendapatan milik mereka dengan membeli sekarung jagung yang dibakar atau direbus, kemudian dinikmati bersama keluarga tercinta dalam canda dan tawa bahagia.
Dan, tak masalah juga, jika ada yang membeli petasan serta kembang api. Kemudian dinyalakan dan ditembakkan ke langit malam. Selanjutnya, menatap wajah-wajah orang tercinta yang terpana oleh riuh suara atau rupa-rupa warna dan cahaya.
Bagiku, akan menjadi salah ketika menikmati malam pergantian tahun dengan menggunakan uang dan barang hasil curian. Atau merayakan secara berlebihan yang membahayakan diri sendiri, atau mengabaikan rasa aman dan nyaman lingkungan.
Bahkan, lebih salah lagi, jika demi mereguk kebahagiaan diri sendiri, malah sengaja menghapus ruang bahagia orang lain. Lebih aneh lagi, kan? Tapi semua itu pilihan, tah?
Jika kau bertanya: Kenapa potongan kertas itu kutempel di langit-langit kamar?
Bila kutulis di buku diary, seiring bertambah usia, aku mudah lupa. Semisal ditempelkan di dinding? Begini, aku jarang sekali melihat cermin, apalagi melihat dinding kamar?
Menurutku, langit-langit kamar merupakan posisi yang strategis. Sebab setiap akan tidur atau sesudah bangun dari tidur, aku akan melihat dan membaca kembali potongan-potongan kertas itu. Selain itu, tak akan banyak orang yang tahu.
Sebenarnya aku agak khawatir, jika banyak orang-orang yang tahu. Harapan-harapan itu nanti akan berubah wujud menjadi beban bagiku. Akupun harus mencari kalimat yang paling bijak untuk menjawab pertanyaan tentang itu.
Atau setidaknya, aku mesti bersiap untuk menerima celoteh yang membuat hati dan perasaan sakit, jika dianggap gagal. Kau mungkin sepertiku, tak ingin dianggap manusia gagal, kan?
Satu hal yang kau harus tahu. Aku tak akan menulis harapan: Menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Entah bagimu. Bagiku itu terdengar aneh.
Jika lebih baik, artinya aku sudah baik, kan? Kondisi baik itu, ukurannya apa dan siapa? Lebih gawat lagi, jika aku membuat satu ukuran yang kugunakan untuk menilai diri sendiri.