Sepasang mata lelaki tua itu menikam manik mataku. Tak ada yang bisa kulakukan, selain menunggu. Sebuah restu dari ayahmu.
"Kau benar-benar ingin menikahi anakku?"
Aku tahu, ayahmu mengulang pertanyaan itu bukan untuk menegaskan niatku. Namun, upaya terakhir ayahmu untuk meyakinkan dirinya. Sebelum melepasmu sebagai istriku.
"Dengarkan! Dalam pernikahan, yang diperlukan hanya sedikit keberanian, dan banyak kebodohan!"
***
Satu hari dan satu malam. Serta tiga puluh menit sebelum mengucapkan akad, perlahan aku telah membuktikan pesan ayahmu.
"Tidurlah!"
"Istirahatlah!"
'Jika tak hapal, kau boleh tulis dan baca!"
"Anggap saja sedang tes wawancara."
Kalimat bernada pesan dan saran itu tak henti berseliweran. Meluncur tanpa sekat dari mulut-mulut orang terdekat. Entah dari mulut yang belum pernah menikah, yang sekali atau dua kali menikah, hingga dari mulut orang yang berkali-kali menikah.
Mereka tak pernah tahu. Aku sedang mengajak semesta untuk memperkuat keyakinan. Bahwa memilihmu adalah keputusan terbaik yang telah kuambil. Mereka pun tak pernah tahu, butuh nyali besar bagiku memutuskan untuk menikah denganmu. Tak juga ayahmu.
"Dalam pernikahan, yang diperlukan hanya sedikit keberanian, dan banyak kebodohan!"
Lagi. Aku mengingat pesan ayahmu, saat keluar dari rumahku menuju rumahmu.
Adalah keberanian yang menuntun kakiku, melangkah pelan berbekal segala doa yang kuingat menjejaki pintu rumahmu. Keberanian itu juga, yang mengajak ingatanku membulatkan tekad, dan memastikan lidahku lancar saat mengucapkan akad.
Setelah itu? Hanya airmatamu, airmataku, dan airmata orang-orang yang menginginkan janji suci itu benar-benar terjadi. Tak ada butiran airmata di sudut mata Ayahmu.
Sisanya adalah seperti ucapan ayahmu. Kebodohan demi kebodohan, dan banyak lagi kebodohan terjadi dan harus dijalani.
Tak terhitung kali, kau dan aku duduk, berdiri, duduk lagi, dan kembali berdiri dari kursi pelaminan, untuk menerima tamu yang ingin menyalami. Tiga kali berjalan bolak-balik ke kamar pegantin, untuk berganti pakaian dan riasan. Kemudian terburu-buru menyelesaikan makan untuk menyenangkan dan memuaskan tatapan mata tamu dan undangan.
Tak hanya itu. Kau dan aku pun harus patuh mengikuti perintah juru potret. Berlagak bak foto model dengan pose kekinian. Terkadang berulang melakukan gaya yang sama, dengan alasan karena pakaian dan riasan yang berbeda.