Aku.
***
Dua jam berlalu. Sepatu itu, telah ikut berjajar dalam satu baris tanaman yang masih tersisa di halaman. Kuletakkan persis di tengah-tengah barisan.
Di sebelah utara sepatu, sebuah ember bekas coran semen, ditumbuhi sebatang bayam merah, yang sudah kehilangan pucuk-pucuk daun di ranting terbawah.
Sebatang pohon cabai yang mulai kembali berbuah, tumbuh dan bertahan pada kaleng bekas wadah roti, hadiah lebaran tahun lalu dari tetangga sebelah.
Tepat di sisi sepatu, serumpun bawang daun tegak lurus, tapi tak menjulang. Terbenam dalam kantong plastik ukuran sedang bekas bungkusan deterjen.
Di sebelah selatan, tertinggal kenangan. Tiga pot besar berwarna hitam itu, pernah ditumbuhi Anglonema, Begonia dan Mostera. Sekarang, ketiganya dihuni aneka gulma.
Pada titik sepatu itu berada, pernah ada satu pot besar berbahan semen. Dulu berisi bunga lidah mertua. Sebelum dipecahkan pergantian musim.
Selain mawar putih dan melati yang menjaga pagar, bunga-bunga itu ikut serta menguras perhatian dan rasamu. Untukku.
Sepatu itu, seakan menjadi jembatan. Dari sebaris harapan dan segaris kenangan.
Bersamamu.
***
"Pakai sandal?"
Sekilas matamu menatap kakiku, kemudian beralih ke wajahku. Kau pasti tahu, sia-sia menunggu untuk mendengar jawabanku.
Dua minggu sebelum wisuda. Satu kantong kresek berwarna biru muda, kau ajukan di atas meja. Berisi sepatu itu. Sebagai hadiah ulang tahunku. Darimu.
Saat hari wisuda, wajahmu terlihat bahagia. Begitu pula, ketika berada di studio foto. Tiga petik foto dengan mengenakan toga, menjadi penanda aku pernah kuliah.
Aku sempat melihat kau gelengkan kepala, saat menatap sepatu baru itu. Dan, aku mengingat lekat kalimatmu:
"Kenapa tak terpikir membeli kaos kaki, ya?"
Aku tak akan menghitung berapa kali kau ujarkan kalimat itu, bila sedang membersihkan pigura foto di ruang tamu. Foto wisuda itu berdampingan dengan foto pernikahan dua puluh tahun lalu.
Dua foto, yang kau anggap terlalu mudah berdebu.
***
Sudah dua hari dan satu malam, sepatu itu menghabiskan waktu di halaman. Masih berperan sebagai jembatan. Di antara sebaris harapan dan segaris kenangan.
"Kenapa dijemur? Kan, hujan?"
Dulu, dua pertanyaan tanpa jawaban itu selalu meluncur dari mulutmu. Dan dulu, kau lebih memilih berlalu dari hadapku, daripada kembali mendengar jawaban yang membosankan.
"Menjemur itu di bawah matahari, kan? Matahari selalu ada. Hanya saja, saat ini sedang hujan!"
Jawabanku itu, sama membosankan dengan alasanku tentang sepatu baru.
Bahwa, harga sepatu seperti itu bernilai setengah dari gaji bulananku. Padahal hanya untuk menutupi kaki. Kau pasti tahu, aku lebih memilih uang gajian digunakan untuk bertahan, menjalani hari demi hari, daripada sekadar membeli alas kaki.
Bagiku, sepatu menjadi sumber keanehan yang seringkali terjadi. Kukira kau mengerti, walau sempat tertawa geli.
Seorang teman, menjadikan sepatu bukan sebagai alas kaki, tapi koleksi. Ketika ada sepatu model terbaru, akan berusaha keras untuk membeli. Jika perlu, berhutang sambil menghitung jarak tanggal menerima gaji.
Sesekali, memang dipakai untuk menghadiri sebuah resepsi. Selebihnya, menghabiskan hari yang sepi di dalam lemari.
Tanpa disadari, tak semua orang sepakat, jika sepatu itu berfungsi sebagai alas dan pelindung kaki. Kadangkala, sepatu berposisi lebih tinggi. Contoh nyata, terpampang terang benderang di toko sepatu. Barisan sepatu terpajang melebihi kepala. Semakin bergaya, semakin tinggi harga. Dan, letak sepatu itu semakin tinggi dari kepala.
"Jejangan melebihi isi kepala!"
Saat itu, kau tertawa dan berusaha keras menutup mulut sambil memejamkan mata. Bagimu, itu mungkin sekadar cerita. Sesungguhnya itu caraku menyampaikan padamu. Sepatuku itu lebih berharga. Dan, semakin istimewa. Karena pemberianmu.
Dulu.
***
Malam tadi, di antara butiran hujan yang berjatuhan di halaman. Sepatu itu tampak lebih pekat dan berkilat, daripada saat pertama kali kulihat.
Di atas meja. Dua puluh tiga tahun lalu. Darimu untukku. Di hari ulang tahunku.
Pagi ini, sepatu itu masih basah dari sisa hujan semalam. Atau mungkin karena mataku yang basah. Hingga sepatu itu terlihat kusam.
"Ayah rindu?"
Satu pertanyaan seperti bisikan menyusup di telingaku. Sepasang lengan yang lembut, dari belakang memeluk leherku.
Kau mau menjawab pertanyaan anakmu, untukku?
Curup, 22.09.2021
Zaldy Chan
(Ditulis untuk Kompasiana)