"Ayah!"
Bagiku, kata itu laksana untaian lirik syahdu yang dilontarkan penyair termahsyur. Ketika bibir mungilmu, terbata mengeja sapa hingga aku luruh dengan rasa syukur. Itu caramu mengenalku dengan senyum dan tawa.
Kukira, kau pun belum mengerti atau bahkan tak peduli makna kata ayah. Saat itu kurasakan, lenyap segala letih pun lenyap segala lelah. Yang kuinginkan, hanya mendengar suaramu memanggilku.
"Lagi, Nak?"
"Ayah!"
"Lagi?"
"Ayaaah!"
"Sekali lagi, Nak?"
Kau berlari. Tak lagi menatapku. Aku tahu, kau bosan. Bagiku, panggilan tatkala belum genap setahun usiamu, adalah kebahagiaan. Namun bagimu, saat itu adalah ucapan bunyi asing untukku, yang tiba-tiba berubah menjadi kewajiban. Akh! Kau tak tahu indahnya dipanggil ayah.
2/.
"Ayah!"
"Anak lelaki ayah, tak boleh nangis!"
Bergegas telapak tangan kananmu, mengusap airmata yang terlanjur meluncur deras di pipi dari kedua sudut matamu. Tersisa isak menahan tangis, saat tangan kirimu kau ajukan padaku. Bintik hitam kecil tertancap di ujung jemari manismu, serabut kayu tanpa pamit tertinggal di balik kuku. Senyumku, memaksa matamu terpejam menahan perih. Dua tahun usiamu, kau berusaha memberi bukti jika kau adalah anakku.
"Ayah! Aku sudah..."
"Hei! Kakimu terluka?"
"Jatuh dari sepeda, Yah!"
"Sini! Biar Ayah yang..."
"Bisa sendiri, Yah! Kan, anak laki-laki?"
Berkali! Kau atasi sendiri masalahmu. Saat terluka, atau ketika temui kesulitan dalam pelajaran, berkelahi dengan teman sebaya hingga kau beranjak remaja. Tak lagi kau adukan padaku. Bagimu, aku adalah ayahmu. Apapun yang kau lakukan, karena kau ingin aku tahu, kau adalah anak lelakiku. Kurasakan, perlahan kau menjauh dari dekapanku.
3/.
"Jaga dirimu, Nak!"
"Ayah juga jaga kesehatan, ya?"
"Kuliah yang serius!"
"Doakan, Yah!'
Tak ada pelukan atau ciuman perpisahan. Hanya tautan telapak tangan dan jejak basah ujung bibirmu di tanganku. Usapan di kepala adalah cara yang pantas untuk melepasmu. Kubiarkan, kau memulai langkah, menelusuri garis takdir hidupmu.
"Ayah, aku diterima bekerja!'
"Hamdallah!"
"Tapi jauh dari..."
"Tak usah pikirkan ayah!"
"Kalau..."
"Bekerjalah yang jujur!"
Waktu mengajarkanku. Menjadi ayahmu, bukanlah menjagamu. Menjadi ayahmu, tak mesti harus bersamamu. Dan, menjadi ayahmu adalah mempersiapkan dirimu. Menjalani hidup saat kau jauh dariku.
4/.
"Maaf, Yah! Aku belum bisa pulang!"
"Iya. Jaga dirimu!"
"Ayah apa kabar? Sudah sehat, kan?"
Laju waktu, mengabarkan padaku. Kau tak hanya mampu menjalani hidupmu tanpaku, namun akupun terlatih menempuh sisa garis hidupku tanpamu. Menelusuri ruang-ruang sepi.
Sesekali tersenyum, mengenang tawa bahagiamu saat kugendong di pundakku. Tertegun mengingat tangismu, saat duri menusuk kuku jemarimu. Pun, menitikkan airmata memandang potretmu. Ketika acara kelulusan dari sekolah dasar hingga wisuda.
"Ayah! Minggu depan, aku pulang!"
"Syukurlah! Kau ajak calon mantuku?"
"Belum! Kan, harus menikah dulu, Yah?"
Akh! Tak sabar menunggu kedatanganmu. Harus kuucapkan, kau benar-benar anakku. Tak lagi perlu kau ajukan berbagai pembuktian untuk menyakinkanku, jika kau anakku. Kuingin, kau tahu itu. Akan kuujarkan padamu, saat bertemu.
5/.
"Ayah! Aku pulang!"
Bagiku, kalimat itu laksana untaian lirik syahdu yang dilontarkan penyair termahsyur. Ketika dulu, bibir mungilmu terbata mengeja sapa. Hingga aku luruh dengan rasa syukur.
Dulu, saat pertama kali kau ucapkan panggilan ayah untukku. Dengan mata berbinar dan sudut bibirmu penuh senyuman. Tanpa airmata.
"Ayah..."
Dalam sunyi, aku memelukmu. Dalam diam rengkuhku. Kau anakku! Suatu saat kau pasti mengerti. Kehidupan tak hanya tentang datang dan pulang. Pada masanya, pasti kau temui makna kepulangan. Tanpa perlu menanti kedatangan.
Curup, 17.06.2019
zaldychan