Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen Pilihan

Lampu Mati

23 Januari 2019   17:51 Diperbarui: 23 Januari 2019   18:48 38 5
Mati lampu di kotaku. Tidak, saat kuantar anak ke sekolah. Sesiang ini, masih saja mati lampu. Hingga aku kembali hadir di halaman sekolah anakku. Duduk diatas motor berpayung terik mentari tengah hari. Tak ada orang lain hanya aku. Tentu saja aku menunggu aba-aba waktu pulang anakku. Tanpa bel sekolah, karena mati lampu.

Bulir keringat tak permisi sudah penuhi keningku. Sayup kudengar ada bisikan. Kukira tidak ditujukan padaku. Karena tak ada sebutan atau sapaan untukku.

Tapi rasa ingin tahu menuntunku. Nyaris tigaratus enampuluh derajat. Leherku bergerak. Diikuti dua mata dan telinga. Mencari sumber bisikan. tak kutemukan.

"Sudah ngopi, Ri?"
"Belum bisa. tugasku masih setengah hari lagi..."
"Ha... Ha..."
"Jangan tertawa!"


kulepaskan helm biru di kepalaku. Agar telingaku berfungsi maksimal. Itu bukan lagi bisikan. Tapi perbincangan! Rasa ingin tahuku semakin kuat. Rambutku pun basah oleh keringat.

"Tawaku bukan untukmu, Ri!"
"Diam!"
"Kenapa marah? Kupesankan kopi, ya?"
"Jangan ganggu tugasku!"


Hening sesaat. Keringat membasahi bajuku.  Aku tak lagi peduli. Juga saat kaos kakiku terasa lembab. Sebab kakiku pun mulai berkeringat. Aku masih sibuk mencari. Dimana perbincangan itu terjadi. Dan siapakah yang disapa Ri? Siapa pula lawan bicara Ri?

"Aku saja yang pesan kopi!"
"Terserah kamu!"
"Kau tahu, Ri? Kubayangkan, hal ini setiap hari terjadi. Aku akan bisa menikmati kopi setiap saat!"
"Dan, kau menjadi makhluk tak berguna, Ma?"
"Hah!"
"Ha... Ha...!"


Perbincangan kembali terhenti. aku lelah mencari. Kulirik jam di pergelangan tangan kiriku. Masih lima belas menit lagi. Biarlah kusimak dialog tanpa asal dan sumber suara itu. Pasti bukan hantu. Karena kubaca di buku atau saat menonton film. Hantu tak pernah hadir siang hari. Jadi, kenapa harus takut?

"Jangan bilang aku tak berguna, Ri! Kau tahu,  sekarang sedang berbicara dengan..."
"Kau yang mulai!"
"Kan, cuma bayangan?"
"Itu keinginan! Artinya sudah ada niat!"
"Bukan! Hanya angan saja!"
"Sama saja! Akan kuadukan ke..."
"Jangan!"
"Haha... "


Aku mulai menikmati perbincangan yang tak kumengerti ini. Belum usai kutemui sumber suara. Kali ini aku pun tak tahu arah perbincangan. Yang aku tahu Ri sudah mengambil alih dialog dari Ma! Jangan tanya siapa? Aku hanya tahu, dari sapaan keduanya dalam dialog itu.

"Kau pengadu!"
"Bukan!"
"Tadi kau bilang begitu? Apa motifmu ingin mengadu ke..."
"Karena kau menggangguku!"
"aku bukan penggangu. Dan bukan Iblis!"


Kembali sunyi. ahaaay...! Kutemukan informasi yang ketiga. Iblis! Aku tersenyum mendengar kata iblis. Diam-diam, aku sepakat bahwa Iblis adalah pengganggu.

Sejak pagi. Tiga kali aku diganggu iblis. Pertama, Keluar caci makiku. Hingga saat ini, sebagai ayah aku merasa malu walau dalam hati. Apatah lagi, kualami dua malu sekaligus. Adalah aib bagiku sebagai ayah, jika anakku mendengar kalimat busuk dari mulutku. Kau tahu sebabnya? Usai mengantar anak dan lalui perempatan. Seketika pembalap amatir menerobos jalan. Menyalip motorku dengan jarak yang begitu dekat. Aku nyaris kehilangan kendali. Caci makiku meluncur deras. Pengganti bayangan jika aku dan jika anakku ada diboncengan, pasti terluka karena terjatuh dari motor.

Aku malu lagi, tetiba seorang Polantas menyusul motorku. mencegat dan menyatakan aku sudah melakukan pelanggaran. Karena tak mengikuti arahan rekannya. Aku protes! Berkilah sudah ikuti isyarat lampu. Polantas itu hanya tersenyum dingin. Menjelaskan saat itu sedang mati lampu. Tak lagi banyak bicara, SIM milikku berpindah tangan.

Iblis melancarkan gangguan yang kedua. Saat kuraih HP dari saku celanaku. Tertera pesan singkat beserta foto dan link sebuah video bertulis "Viral! Video Bejad Ayah dan..." Layar HP tetiba mati. kurasa habis baterai. Dan mati lampu. Nanti, Aku harus segera hapus dan lupakan pesan itu agar anakku tidak tahu.

Gangguan ketiga iblis, tiba saat aku di tempat kerja. Atasanku meminta dibuatkan draft proposal kegiatan. Sepuluh halaman kuketik di komputer kantor. Sebenarnya sudah selesai. Tapi tak langsung di print-out. Kulakukan edit terlebih dahulu agar lebih rapi dan atasan puas dan memuji pekerjaanku. tetiba mati lampu! Proposal itu belum sempat kusimpan. Cacian dan makian kembali meluncur deras. Tapi tak tahu kemana kumuntahkan. Maka iblis adalah sasaran yang layak.

"Berhentilah menggangguku! Jika tak mau disamakan dengan..."
"Sudah! Aku bukan iblis. Dan aku takkan mengganggumu! Tadi, aku hanya ingin mengajakmu untuk menikmati kopi!"


Kuusap keringat di kening dengan ujung lengan baju. Aku sepakat dengan Ma. Tak mau disamakan dengan Iblis.

"Iya! Tapi caramu tadi..."
"Aku harus pergi! Sampai jumpa lagi, Ri!"
"Hei...! Kopimu belum..."
"Biarlah! Aku harus bersiap! Biar Iblis tak merasa sendiri!"


aku terkejut. Saat tangan kecil menyentuh lenganku. Senyuman tersaji dari sudut bibir anakku. Kukira, sejak tadi bel sekolah berbunyi.

"Pulang,  Yah!"

Sambil garuk kepala, kunyalakan motor.  Mengajak anakku pulang. Kusimpan perbincangan juga rasa ingin tahu sosok misterius bernama Ri dan Ma.

Motor kujalankan pelan. Berharap terik mentari tak menyakiti kulit bersih malaikat kecilku. Aku mesti lebih berhati-hati. Tak kubiarkan iblis menggangguku. Cukup tiga kali!

Curup,  23.01.2019
Mati Lampu





KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun