Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Permainan Anak Kampung 90an

13 Juli 2013   21:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:36 2899 0


Tidak ada yang dapat mengalahkan ingatan kuat dari masa kecil setelah seseorang telah beranjak menuju usia dewasa. Karena mungkin terlalu banyak kreasi, imajinasi, dan hal apapun yang pernah kita lakukan sewaktu kecil. Bersyukurlah bagi orang-orang yang beruntung dapat menikmati masa kecilnya dengan bahagia, saya salah satunya. Hidup di kampung yang jauh dari hiruk pikuk kota, kearifan budaya sunda yang kental dengan kehidupan daerah yang masih terasa nikmat, lahan-lahan sawah, kebun, dan sungai yang terhampar luas, pagi yang selalu di sahut ayam jago berkokok milik tetangga, suara anak-anak sewaktu sore dan subuh saling sahut menggemakan pupujian di mesjid, dan permainan-permainan sewaktu kecil yang tidak lekas saya lupa sampai sekarang. Semua adalah Nikmat hidup yang mungkin tidak akan pernah saya bisa beli kembali, walau bermiliyar uang yang saya punya.


Saya hidup sebagai anak zaman 90an, merasakan serius transisi zaman antara ditinggalkannya hal konvensional dan mulai lahirnya teknologi modern walau dalam segi permainan. Ini wajar, karena sebagai anak kecil saat itu, Permainan menjadi isu penting. Saya rasa semua orang akan mempunyai hal yang sama untuk mengingat bagaimana zaman 90an itu indah untuk pernah hadir di dalam hidup mereka, walau dalam ceritera dimensi yang berbeda-berbeda tapi ada suatu garis besar bahwa: kita bangga menjadi anak generasi 90an. Menjadi anak kecil, setiap saat yang selalu di pikirkan adalah bagaimana setelah pulang sekolah kita lekas untuk pergi bermain, hal apapun untuk bermain, tak terkecuali di tengah belajar sekolah pun tidak lupa untuk kita bermain.


Waktu semasa kecil di pertengahan tahun 90an adalah masa senang sesenang-senangnya. Mandi tinggal mandi, makan tinggal makan, main tinggal main, ngaji tinggal ngaji. Terlaksana hampir semua. Karena hampir tidak ada hal yang serius untuk anak kecil pikirkan selain mengagendakan permainan pada umumnya. Ini adalah pengalaman saya, yang belum tentu semua orang mendapatkan hal yang sama seperti apa yang saya pernah alami, beruntunglah saya sebagai orang sunda yang lekat dengan tradisi dan lekat dengan budaya. Lahir di salah satu kampung di Garut membuat saya banyak bersyukur menikmati keasrian daerah ini sampai sekarang. Sebagai tempat kelahiran yang saya cintai, tempat ini selalu memberikan inspirasi untuk mengingatkan kembali masa kecil yang penuh dengan hal-hal yang luar biasa dalam hidup saya. Teringat dulu jika hari sudah musiman tiba Perang-perangan, maka pertama kali yang harus dilakukan adalah meraut bambu untuk meramu buku pohon bambu membuat Bebedilan takokak. Saya kira inilah citarasa itu, ketika sesuatu bukan hanya sebatas bermain tapi juga belajar berkreativitas.


Pertama kali saya membuatnya dengan bantuan teman yang sudah mahir. Ini adalah Senjata mainan yang biasa di gunakan untuk Perang-perangan. Jika sudah musim tiba, maka setiap anak akan membuat senjata mainan mereka masing-masing, tanpa di komando.


Senjata mainan rakitan ini dibuat dengan bagian ujung yang dipasangi karet ban dan lamak (kain bekas), pangkalnya dipasangi penjepit yang terbuat dari kayu. Pelurunya dari buah tanaman takokak atau dari pentil jambu aer yang belum mekar menjadi bunga. Tangkainya dijepit di pangkal senapan, sehingga buahnya menonjol dan karet pendeknya ditarik lalu dikaitkan ke bonggolnya. Ketika kita ingin menembak, maka cukup tekan pelatuk atau penjepitnya, takokak tadi dapat terlontar dari senapan kayu ini.


Permainan ini khas selalu dilakukan di tengah-tengah suasana buruan di kampung, dimana benteng-benteng persembunyian kami adalah rumah-rumah penduduk yang saling terbuka dan berdempet, kami berimajinasi menciptakan suasana perang seutuhnya.

Namun terkadang ada anak-anak yang kurang kompak, jika kami menggunakan Bebedilan takokak, maka ada sebagian anak yang menggunakan Pepeletokan.


Pepeletokan dibuat dari bambu, panjang 30 cm dengan diameter 1-1/2 cm. Bambu dipilih yang kuat dan tua supaya tidak cepat pecah. Bambu dibagi dua. Untuk penyodok, bambu diraut bundar sesuai dengan lingkaran laras dan bagian pangkal dibuat pegangan sekitar 10 cm. Peluru dibuat dari kertas yang dibasahkan. Peluru dimasukkan ke lubang laras sampai padat lalu disodok. Peralatan yang dibutuhkan berupa bambu diameter 1 atau 1,5 cm dan panjang 30-40 cm sebagai laras bedil (bentuk pipa) dan sebagai tolak adalah batangan belahan bambu yang dihaluskan.


Jika saat bulan Ramadhan tiba dan permainan perang-perangan masih musim, kami melengkapinya dengan membuat Lodong. Ada hal yang unik yang selalu saya ingat ketika bulan Ramadhan datang, ciri khasnya adalah suara Lodong ini, ada khazanah yang berbeda saat saya kecil dan dewasa ini, jika dulu saya mendengarkan suara ledakan Lodong, sekarang suara sengau petasan. Wajar sudah beda zaman.


Lodong di buat dari bambu yang mempunyai diameter cukup lebar, mungkin sekitar 20 - 35 cm. Ini dibuat musiman, anak-anak membuatnya menjelang 17 agustus atau bulan Ramadhan. Dibuat dengan kerja keras dan Gotong royong, karena harus membopong pohon bambu yang cukup besar untuk ukuran anak kecil. Bambu di dapat dari Pasir (Bukit kecil). Lalu, Mereka membubuhkan karbit (potassium klorat) sebagai daya ledaknya.


Jika "persenjataan" sudah lengkap tercetuslah Perang-perangan, masing-masing kubu biasanya di sebar, saling bercampur sesuai "senjata" yang dimiliki. Maksudnya biar sama rata, sama rasa. Setiap kubu mempunyai kapten yang di pegang bergiliran sesuai ronde. Kapten adalah segalanya, jika tertangkap maka tim akan gugur dan kalah. Dalam permainan ini kitapun belajar hal yang unik, selain kreativitas tanpa batas, kerja keras, gotong royong, kewaspadaan satu lagi adalah kejujuran. Walau lawan main kita yang "tertembak" tidak mungkin mati, tapi setiap anak harus berlaku jujur untuk berkata benang euy (kena tembak) jika sudah merasa tertembak, lalu pura-pura mati dan waiting list di kubu masing-masing menunggu ronde selanjutnya menunggu yang menang. Kamipun belajar adanya toleransi disini, jika yang kena hanya tangan, berarti mereka tidak boleh menggunakan tangan yang "tertembak" itu. Atau pura-pura pincang jika kaki yang tertembak. Dialog yang saya selalu ingat sampai sekarang adalah percakapan khas anak-anak seperti ini:


Artinya: Saya Indonesia, Kamu belanda jadi kompeni saja. Berarti musuh saya, silahkan bergabung dengan dia…..


Beda musim Beda permainan

Sebagai anak kampung, waktu kecil saya selalu dihabiskan untuk bermain di lelemah (sebidang lapangan tanah kosong)dengan sebagian besar anak-anak lainnya. Biasanya anak-anak berkumpul di sore hari, bada ashar sampai maghrib. Jika tidak ingin telat untuk pergi mengaji setelah maghrib, biasanya ada sebagian anak-anak yang pulang setelah jam 5 sore. Waktu kami bermain di sela-sela kesibukan sekolah mungkin tidak terlalu banyak, hanya terhitung 2 - 3 jam kami menghabiskan waktu. Tapi kebutuhan waktu tersebut sudahlah sangat berkualitas untuk dihabiskan anak kecil pada masanya bermain. Cukup untuk bersosial, cukup untuk saling mengenal sifat satu sama lain dan cukup untuk bersenang-senang.


Apa yang kami lakukan ketika berkumpul? entahlah, pada dasarnya adalah spontanitas, kadang tidak ada yang mengkomandoi pun biasanya anak-anak mencetus permainannya secara spontan, mengajak anak yang lainnya untuk bermain dan pada akhirnya semua anak ikut untuk bermain. Beda musim beda permainan, ini untuk menghindari kejenuhan permainan. Maksudnya biar tidak itu-itu saja. Permainan favorit saya adalah Gampar. Khusus di mainkan oleh anak laki-laki saja, karena umumnya perempuan tidak mahir dan ogah untuk memainkannya.


Gampar adalah permainan yang sangat khas saya kira, karena tidak semua daerah mempunyai permainan yang serupa. Tapi saya tidak tahu pasti, mungkin ada permainan yang sama namun beda istilah. Inilah Indonesia dengan kekayaan budaya tradisionalnya, bahkan masyarakat di jawa barat pun tidak banyak yang mengenal permainan ini. Saya cukup beruntung, karena permainan Gampar saya mainkan sangat sering waktu kecil. Gampar dimainkan dengan sebilah batu, dimana jumlah batu sama dengan jumlah pemainnya. Jadi masing-masing pemain mengumpulkan batu kojo-nya (Batu Jagoannya) untuk mereka gunakan, namun jika batu kojo susah didapat, biasanya kami menggantinya dengan bata bangunan, lebih bagus lagi jika ada bata beton warna hitam karena lebih kuat.


Pada prinsipnya permainan ini seperti permainan bowling, batu terlebih dahulu di lempar silih bergantian dengan diayun menggunakan kaki. Yang paling jauh adalah yang paling pertama melempar, giliran pun nanti mengurut sesuai dari hasil lemparan. Lalu semua kojo di jejer di depan para pemain dengan jarak hampir 5 - 10 meter, kesempatan mengayun kojo pertama jatuh kepada pelempar yang paling jauh mengayun kojo pada sesi sebelumnya. Jika kena sasaran sesuai kojo, Maka pemain yang mempunyai kojo tersebut dinyatakan gugur dan tidak boleh mendapat giliran melempar. Gampar di ayun dan dimainkan menggunakan kaki dengan langkahan kaki satu kali.


Jika yang mahir menggunakan kojo-nya bisa jadi kojo-kojo pemain yang lain belah jadi dua jika terlalu kuat di ayun. Istilahnya kami namakan: di sepek keun.


Beberapa anak ada yang mahir dan ada juga yang tidak bisa memainkannya. Oleh sebab itu, di tempat lingkungan saya berada, lagi-lagi saya belajar arti pentingnya kebersamaan. Jika ada anak yang ingin ikut bermain, tapi dia tidak mahir bermain Gampar. Maka kami ganti permainannya, sambil menunggu anak-anak perempuan lainnya untuk diikutkan bergabung. Biasanya kali ini kami memainkan permainan "ada sebuah" pada prinsipnya seperti permainan ucing-ucingan namun disini setiap pemain di tuntut untuk kenal nama lakonnya. Setiap anak melingkar saling berpegangan tangan dan menyanyikan yel-yel "Ada sebuah film seri campuran, coba sebutkan siapa pelakunya?" jika berhenti di salah satu anak maka anak itu wajib menentukan nama lakonnya, misal "K Mula-mula menjadi Ksatria Baja Hitam RX" maka pada bagian berhenti alunan yel-yel tersebut di tangan siapapun, maka anak itu mempunyai nama lakon yang telah di tentukan tadi.


Lalu proses berlanjut sampai tersisa satu orang sebagai ucing-nya. Setiap anak yang menjadi ucing harus mengejar temannya dengan cara menyentuh dan mengucapkan nama lakonnya, jika lupa nama lakonnya maka belum jadi giliran untuk berpindah status tapi jika menyentuh dan menyebut lakonnya dengan cekatan, maka giliran akan berpindah sendirinya, Anak yang menjadi ucing akan mempunyai nama lakon yang sebelumnya milik temannya. Lalu anak yang disentuh mendapat giliran menjadi ucing. Prosesnya terus berlanjut seperti itu, sampai diantara anak-anak kompak untuk mengakhiri permainan karena sudah merasa lelah, berlarian.


Beda halnya permainan anak laki-laki dengan anak perempuan. Anak perempuan mempunyai regu sendiri dalam bermain. Tapi itu tidak menutup kemungkinan bagi setiap anak perempuan untuk bergabung bermain bersama anak laki-laki, begitu juga sebaliknya jika ada permainan anak perempuan yang masih wajar dapat di ikuti anak laki-laki, mereka pun ikut serta. misalnya seperti Loncat karet.


Permainan Loncat karet sangat sederhana karena hanya melompati anyaman karet dengan ketinggian tertentu. Jika pemain dapat melompati tali karet tersebut, maka akan tetap menjadi pelompat hingga merasa lelah dan berhenti bermain. Namun, apabila gagal sewaktu melompat, pemain tersebut harus menggantikan posisi pemegang tali hingga ada pemain lain yang juga gagal dan menggantikan posisinya.


Saya sendiri tidak pernah bisa melewati tali karet lebih dari batas telinga dengan lompatan normal, biasanya saya melakukan metode lain yaitu dengan jungkir balik.


Sore hari tiba semua berkumpul!

Jika sore hari anak-anak mulai berkumpul, baik itu yang laki-laki dan perempuan. Kita mulai berkolaborasi melakukan permainan yang bisa dilakukan oleh setiap anak, jika ucing-ucingan sudah terlalu sering untuk di mainkan, maka setiap anak yang mempunyai kreasi dalam permainan akan mengeluarkan ide-idenya untuk melakukan sedikit sentuhan dalam permainan yang sudah ada dengan beberapa ide khas anak-anak. Ini lebih menantang karena setiap anak secara tidak langsung di tuntut untuk lebih kreatif dalam mendalami perannya sebagai anak kecil di tengah lingkungan masyarakat permainan anak-anak, dimana kasusnya adalah banyak anak yang ikut serta, ada laki-laki dan ada juga perempuan, permainan harus bisa mewadahi masing-masing individu, untuk saling ikut serta. Salah satu kreasinya adalah kekeratonan, saya tidak begitu yakin ada hal yang menyamai permainan yang pernah populer sewaktu kecil di lingkungan saya ini di daerah lain, namun saya pun tidak bisa begitu percaya diri bahwa permainan ini hanya ada di daerah kami. Kp. Cipeundeuy Ds. Karang Mulya Kec. Kadungora Kab. Garut.


Kekeratonan sebenarnya dasar permainannya adalah seperti jaga kandang, namun di buat semenarik mungkin dengan penjabaran dan aturan yang di buat oleh masyarakat permainan anak. Setiap anak di bagi rata dua kelompok. Jika ada 22 anak yang ikut serta, maka tiap kelompok terdiri dari 11 orang. Ada yang jaga ada juga yang jadi penyerang. Setiap pemimpin tim melakukan undian menggunakan uang koin, Mekanisme permainan ini melibatkan 5 orang regu penyerang sebagai tahanan yang di jaga oleh algojo penjaga, lalu sisanya adalah penyerang (6 orang) akan menyelamatkan 5 tahanan tadi. Para penyerang masing-masing akan mencoba masuk teritori penjaga yang dijaga ketat oleh gerbang, saling bergiliran. jika salah satu kelompok menjadi penjaga maka susunan permainan adalah 2 orang menjadi gerbang, 1 orang menjadi algojo penjaga dan sisanya menjadi dolanan. Dalam permainan ini regu penyerang tidak boleh keliatan gigi, baik itu yang menjadi tahanan atau yang menjadi pendobrak, Kalau keliatan giginya maka timnya di katakan gugur.Algojo penjaga tugasnya adalah menjaga 5 tahanan penyerang, tugasnya adalah mengganggu dengan berbagai macam cara agar setiap tahanan bisa tertawa keliatan giginya, tapi tidak boleh menyentuhnya. Sebatas hanya berkata-kata. 5 Tahanan disusun saling berpegangan dengan tangan melingkari perut. Lalu dolanan mengganggu dengan segala macam cara jika ada kelompok penyerang berhasil menembus gerbang, untuk menggagalkan usahanya menyelamatkan satu per satu tahanan, jika penyerang sebelumnya tersentuh oleh 2 penjaga gerbang, maka penyerang wajib mundur ke teritorinya kembali.


Permainan ini cukup banyak aturan, namun sangat populer dimainkan jika banyak anak yang ingin ikut bermain.


Membuat “Mobil” sendiri

Saya teringat betul, ketika saya meminta dibelikan mainan mobil-mobilan knight rider yang bisa berputar-putar membuat saya jadi anak “galau” yang selalu menginginkan mainan itu, terutama ketika film knight rider series di putar di televisi. Namun perasaan ingin itu berubah enggan ketika saya di buatkan mainan mobil dari bambu yang dibuat kakek saya, disebut Momobilan. Akan tetapi karena penggunaan yang kasar dan jorok Momobilan tidak terlalu awet untuk saya gunakan, sehingga ini membuat saya harus membetulkannya sendiri, dari awalnya membetulkan saya berpikir lebih untuk bisa membuatnya, yang di perlukan adalah beberapa buku bambu dan sandal bekas.


Ini merupakan suatu kreativitas extra kerja keras karena saya harus mencontoh prototype Momobilan dari kakek saya, yang menurut ukuran anak kecil itu terbilang sukar. Yang diperlukan adalah usaha sedikit tekun untuk meraut bambu dan memasangkan ban yang terbuat dari karet bekas sendal jepit. Ban Momobilan dibentuk seperti ban seutuhnya agar mobil dapat berjalan, dengan membentuk pola lingkaran pada karet sandal. Saya membuatnya persis seperti ban, walau awal-awal tidak terlalu rapih. Tapi ini adalah proses menuju kreativitas. Saya pun banyak belajar.


Momobilan mempunyai kendali yang dapat di dorong dan di belokan, layaknya stir. Sebenarnya banyak sekali jenis Momobilan yang ada di dalam permainan khas sunda. Beberapa diantaranya seperti Momobilan dorong, Momobilan yang dapat di tarik benang, atau Momobilan yang dapat di tumpangi. Momobilan jenis ini dibuat lebih solid, karena fungsinya harus cukup untuk menahan beban. Layaknya sepeda, Momobilan tersebut dapat di naiki dengan di dorong dari belakang oleh teman yang lainnya.


Permainan yang lahir dari ketidak sengajaan

Ini adalah hal unik yang terjadi, dimana Permainan yang ada adalah permainan yang tercipta secara ketidak sengajaan. Namanya Adu bantring Permainan ini mirip dengan bermain layangan. Namun bukan layangan yang di ikat lalu di terbangkan, tetapi di ganti dengan batu atau kayu sebagai bandul, Sehingga bantringan mempunyai bandulan yang siap digunakan, permainan ini sangat sederhana, hanya memerlukan benang nilon sebagai penalinya. Untuk bermain permainan ini minimal harus ada dua orang atau lebih. Satu sama lain harus saling melempar bantringannya, agar mengikat dan saling di adu.


Ngadu bantring adalah permainan yang lahir dari ketidak sengajaan, ditemukan saat bermain layangan, biasanya saat berburu layangan yang tersangkut di pohon, seseorang harus mencoba meraih benang penalinya. Lalu di gunakanlah bantringan untuk menggapai penalinya tersebut. Sehingga permainan ini di sebut Ngadu bantring.


* * *


Begitu banyak ragam permainan yang hampir saya lakukan, dan telah menjadi rutinitas tertentu yang mewajibkan saya selalu hadir di lingkungan sepulang sekolah. Banyak hal lainnya yang saya lakukan dari mulai bermain, bertualang, survival, dan menjelajah menjadi satu kesatuan pengalaman sewaktu kecil. Yang saya jabarkan dalam tulisan ini adalah sebagian kecil dari hal yang saya ingin sampaikan untuk berbagi dari setiap pengalaman saya dengan para pembaca yang lain. Kiranya ini hanyalah sepenggal kisah manis dari ketradisionalan permainan sewaktu kecil.


Saya kira cukup signifikan maksud Indonesia Travel bekerjasama dengan Kompasiana untuk mengangkat tema tentang penulisan permainan tradisional di tengah ranah blogger Indonesia. Ini seperti pengejawantahan nostalgia bagi setiap orang untuk mengingat masa kecilnya. Karena Ini tentang dunia anak kecil yang selalu saya rindukan.


Booming hadirnya game console dari mulai Ding dong, Sega, Nintendo, dan Play station telah membuat Permainan-permainan tradisional tidak diminati oleh banyak anak lagi, itupun saya rasakan di tengah-tengah lingkungan permainan anak-anak. Namun inilah transisi, dimana dinamika adalah keadaan yang absolut untuk selalu terjadi di dalam kehidupan. Kita tidak pernah benar-benar bisa menolak perubahan untuk tidak terjadi, walau masa kecil tidak akan pernah kembali lagi kepada kita untuk kedua kali. Namun saya selalu bersyukur karena pernah menjadi anak kecil. Salam.


Glossary:

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun