Saya kira tulisannya sangat mengingatkan bagi mereka yang merasa sudah terlalu menjadi pamer pada ajang reuni, bagus. Pernyataan pada tulisannya pun lebih kepada opini pengalaman ibu disaat reuni, tapi meilhat komentar ibu rata-rata dari setiap jawabannya, saya terlalu melihat hal yang tendensius, sangat sudah apatis untuk datang ke setiap acara reunian, saya kira elaborasi saya pribadi begini: Saya sendiri tidak bisa mempersalahkanya pernyataan ini... terkadang rasa ingin memperlihatkan sesuatu di depan teman-teman saat sedang berkumpul bahwa kita sudah ini, sudah itu, tak terkecuali kalau udah dapet pacar (apalagi cantik), punya mobil, punya harta, punya anak, tinggal di LN dll memang terkesan di obral, tapi disini harus ada catatan batas wajar saya kira. Batas wajar saya disini adalah sebatas celetak celetuk yang masih bisa kita toleransi selama tidak menghina dan menyakiti hati kita dengan hinaan tersebut, terkadang minder dengan malu jadi beda tipis disaat ber-adagium seperti ini, melihat pernyataan ibu di tulisan ini saya kira ada di antara itu. Tidak usah di masukin terlalu ke hati, mungkin agak berbeda ketika itu datang kepada si perasa, rata-rata kekakuan pada kondisi yang serba berubah drastis terjadi kepada orang yang melankolis, yang dulu susah bergaul, memisahkan diri dengan teman yang itu-itu saja di kelasnya dulu (Maaf saya tidak menyebut itu Ibu).
Kadang celetak celetuk teman-teman kita yang sedang reuni memang terkadang tidak tertahankan, tapi apa mau di kata namanya juga temen, yang waktu dulu aja kita sering guyon. Sebagian orang memang ada yang pesimis dan gampang terluka dengan ucapan-ucapan "guyon," kadang minder jadinya. Tapi ada juga teman yang tahan banting, bukan apa-apa karena sudah terbiasa dengan hal-hal yang seperti itu, jadi ini bisa di kategorikan bermental kuat. Anggapannya ah wajar, namanya juga "guyon." Kalau saya sendiri malah yang kedua ini, semakin waktu berlalu, semakin waktu berjalan, beda tempat, beda kondisi. Teman-teman kita akan sedikit banyak terlihat lebih jauh berubah dari dulu, saya sangat realistis. Jadi nikmati saja toleransi, menguatkan mental, dan positif thinking dengan kekondisian yang baru. Apresiasi itu adalah kunci bagaimana kita saling berbagi dengan macam teman apapun, lalu akan terciptalah silaturahmi, setelah terjalin maka akan tercipta tali rezeki. Selain ibu menyentil pihak yang senang pamer dalam ajang reuni dengan capaian duniawinya di tulisan ini, saya pun ingin menyentil dengan berkomentar kepada pihak-pihak yang terlalu apatis, tidak semangat dan males untuk pergi ke acara-acara reunian (maaf bukan kepada ibu). Lain halnya jika terhalang jarak, kesibukan yang tidak bisa di fleksibelkan, sedang berduka dan hal-hal yang lain yang sangat prioritas.
Saya sendiri selalu mengadakan reunian kecil untuk teman-teman sekelas di kampus, dan sebagian besar banyak yang tidak datang dengan berbagai macam hal alasan. Padahal satu kota, yang lain kota beda lagi. Catatan saya mereunikan hanya untuk mengkaribkan tali silaturahmi yang terkadang berbuah jadi rezeki, ada teman yang sok pamer nikmati saja, anggap saja re-sharpening mental. Gap terjadi ketika membanding-bandingkan kekurangan dengan kelebihan teman lainnya, padahal sebagian teman tidak melihat hal-hal seperti itu, malah bisa saja ada kemungkinan untuk bisa kita saling menolong teman-teman yang sedang mencari jawaban terhadap hidupnya dalam hal mencari rizki. Pada akhirnya kita bisa untuk saling berbagi dengan yang lainnya. Jika reuni saja tidak datang, bagaimana kita bisa melihat sisi baiknya? :)
Buatlah perspektif selalu terbuka dengan hal-hal yang mempesimisme kan kita pada arah yang negatif, karena dunia secara universal adalah hukum tentang gravitasi, anda adalah apa yang anda pikirkan, semua hal apapun ketika pikiran kita ditanamkan hal positif maka yang terjadi adalah hal-hal positif, walau di luar nalar kita tapi segala sesuatu yang terjadi di hadapan kita akan dapat kita selesaikan secara positif. Melihat teman yang sudah kaya raya, selalu pamer dengan hartanya, lalu berbicara besar padahal dulu sewaktu jadi teman sekelas tak sesombong itu, walau terkadang memang sudah ketahuan buntutnya akan terlihat menjadi orang yang sombong. Saya kira pada waktu itu, bisa kita tanamkan rasa motivasi untuk kita berpandangan bahwa kita pun dapat mengejar tingkat capaian sukses duniawinya itu dengan cara pandang kita, Dan berbesar hatilah ketika duniawi kita belum mencapai hasil maksimal, lalu berpikir alternatif: Mungkin kita bisa men-subsidiari sukses duniawi dengan sukses amalan dan sukses sosial, tidak semua orang bisa melakukannya. Kita berpikir sederhana saja, jangan dibuat terlalu complicated. Saya selalu cinta Indonesia dengan budaya "malunya." Namun jangan merasa malu untuk memperlihatkan diri anda seutuhnya, jangan pesimis karena kita miskin dihadapan yang kaya karena masalah harta, jangan merasa anda miskin dengan profesi anda yang kuli bangunan di depan teman yang sudah berprofesi menjadi direktur, jangan menjilat "sepatu" teman karena anda pengangguran dan meminta pekerjaan kepada teman anda yang sudah menjadi pengusaha. Hargai diri anda seutuhnya, dan apresiasi teman macam apapun untuk anda lebih mengenal lebih mereka. Sayapun orang miskin, dan saya merasa sangat miskin ketika ada teman yang sudah memiliki jauh pandangan yang lebih luas tentang ilmu dan pengetahuan walau dia hanya tukang becak. Itu yang saya maksudkan. Salam.