Yang saya ingin teriakan adalah "PERTAMINA DAN PEMERINTAH TIDAK AKAN PERNAH RUGI MENSUBSIDI BBM". Yang ada hanya mengurangi jumlah keuntungan, jadi bagi anda yang awam seperti saya setelah membaca tulisan ini, jangan pernah terdistraksi dengan kata "SUBSIDI" itu menjadi "RUGI", mari digeser sedikit maknanya menjadi "SUBSIDI" itu "MENGURANGI KEUNTUNGAN" Lalu kenapa pemerintah menjadi seolah-olah mengalami "RUGI" jika selalu Mensubsidi BBM. Apakah pemerintah sendiri tidak mempunyai perspektif Keegaliteran?
Saya sederhanakan lagi : jika anda memproduksi suatu barang dengan nilai jual Rp. 10.000,00 dimana nilai Produksinya 5.000,00, Namun pada kasus ini anda berorientasi profit sehingga harga jualnya yang anda tetapkan adalah tolok ukur nilai jual pasar, Dengan demikian keuntungan yang anda dapat adalah harga jual dikurangi ongkos produksi Rp. 10.000,00 - 5.000,00 = 5.000,00. Dengan keuntungan tersebut anda sudah sangat senang sekali, Karena keuntungan yang anda peroleh memang sudah sesuai dengan yang anda harapkan, tanpa anda memikirkan keterjangkauan banyak masyarakat untuk membeli produk tersebut karena anda tahu "HANYA ANDA YANG BERJUALAN PRODUK TERSEBUT".
Jika Anda mempunyai perspektif keegaliteran terhadap barang yang anda jual Sekalipun harga produksi mempengaruhi nilai penjualan anda, kita misalkan harga produksi menjadi Rp. 6.000,00 dan anda harus menjualnya tetap di Harga 7.000,00 dan keuntungan anda hanya Rp. 1.000,00 selama anda mempunyai sikap yang egaliter terhadap konsumen anda, anda tidak akan pernah mempermasalahkan keuntungan anda yang berkurang karena anda akan selalu berorientasi pada keterjangkauan banyak masyarakat untuk membeli produk tersebut. "KARENA ANDA SADAR, ANDA PENJUAL SATU-SATUNYA BARANG TERSEBUT". jadi anda tidak akan pernah rugi dengan menjualnya karena anda tahu barang anda akan laku, walau keuntungannya berkurang Rp. 1.000,00
SETELAH MAKNA SUBSIDI SEDIKIT DEMI SEDIKIT HILANG
Saat kata "SUBSIDI" menjadi sebuah kata yang imajiner, maka itulah yang membuat saya berpikir kenapa harus demikian. Menghilangkan makna sesungguhnya bahwa "SUBSIDI" adalah hal yang rasional, hal yang dermawan, dan hal yang egaliter sedikit demi sedikit menjadi sebuah distraksi makna mengarah kepada "KERUGIAN". Kemudian membuat saya berpikir drastis lebih dalam.
Jika halnya pemerintah terus menerus melebarkan Issue bahwa dana APBN telah membengkak, perlu distorsi dari pos - pos dana yang lain. Saya tegaskan anda adalah "PEMERINTAH" yang mempunyai berjuta-juta pos selain daripada anggaran minyak mentah, bocornya dana di tingkatan pemerintah adalah karena tangan-tangan yang merasa dirinya tidak terlalu merasa "perlu" mengurusi masyarakat banyak, namun dia ingin duduk di kursi yang tugas sejatinya adalah mengurusi. Mohon maaf bukan mengurusi perut buncit sendiri maksud saya.
Baik, kalau hanya mengatasi “tekanan” APBN ada banyak cara untuk mengatasinya tanpa harus menyengsarakan rakyat sebagaimana kebijakan menaikkan harga BBM. Bisa mengintensifkan penerimaan pajak yang selama ini lebih banyak “beredar” di “pasar gelap pajak” sebagaimana ditunjukkan dalam kasus Gayus Tambunan. Bisa dengan mengintensifkan pencegahan tindak korupsi sehingga dana APBN yang banyak bocor bisa diarahkan ke pos-pos yang produktif. Cara lainnya adalah meningkatkan produksi BBM sehingga penerimaan pajak BBM meningkat. Dan tentu saja adalah pengelolaan APBN yang efektif dan efisien.
Ada 1.000 cara lebih bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi tekanan APBN akibat kenaikan harga minyak dunia tanpa harus menaikkan harga BBM.
Sekali lagi anda adalah PEMERINTAH, Bukan para bebek lumpuh bukan.
Tulisan ini diangkat dengan referensi dari tulisan Ahmad Yanuana Samantho
PENGAKUAN ANGGITO ABIMANYU: TIDAK ADA SUBSIDI BBM