Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora Pilihan

Fitri yang "Lelalu"

21 Juli 2015   05:24 Diperbarui: 21 Juli 2015   05:24 295 0
Kapan pun kita beridulfitri, itu pilihan keyakinan yang menjadi rahasia kita dengan Tuhan. Yang penting kita sudah menjalani ibadah puasa. Jangan sampai kita terlibat sengit perdebatan awal Syawal ternyata bukan untuk mengakhiri puasa, karena selama ini tidak puasa, tapi karena mau memanfaatkan peluang bisnis yang bertepatan dengan momentum idulfitri itu.
Maka, bila sebulan kita telah menundukkan nafsu pada aturan main puasa yang telah ditetapkan Allah swt kini saatnya untuk bercermin diri, apakah puasa yang kita lakukan kemarin sekedar untuk menggugurkan kewajiban sebagai orang beriman, atau untuk memupuk ketakwaan kita yang atsar (bekas)-nya berdampak pada kehidupan pasca puasa..?
Apabila Anda menilai bahwa puasa ini mampu meningkatkan takwa Anda pada Allah swt, jangan GR dulu. Kita harus memvalidasi penilaian kita itu dengan prinsip “le-la-lu” dalam perilaku keseharian kita. Prinsip yang terdiri dari tiga awal suku kata kosa-kata Jawa yang penuh makna: Leres, Laras dan Lurus.

Leres
Kata ini merujuk pada pilihan sikap dan tindakan seseorang yang ternyata pilihannya tersebut bersesuaian dengan hukum atau pedoman hidup yang dianut masyarakat. Sehingga, sikap dan perilakunya selalu leres (benar dan tepat) karena senantiasa berjalan di atas segala aturan, mulai dari norma etika, adat istiadat hingga hukum positif. Tiada tindakan yang ditampilkan tanpa pijakan norma-norma yang berlaku.
Orang yang leres bersemboyan dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Maka seorang yang muttaqin, ia harus hati-hati dalam bersikap. Jangan sampai atas nama ketakwaannya ia merasa berhak menghakimi orang-orang di sekitarnya, tanpa mempertimbangkan norma aturan yang lain. Seolah ia menjadi pemegang otoritas penilai benar-salahnya sesama. Apalagi merasa paling Islam di antara sesama muslim yang lain. Ini tentu tidak leres.

Laras
Kata “laras” ini selain mengandung kesesuaian (harmony) juga mencuatnya nilai estetika dari kesesuaian itu. Gambaran yang sempurna adalah keindahan komposisi musik gamelan yang berasal dari aneka ragam instrumen. Itu membuktikan bahwa keragaman bila diikat dalam kesatuan niat tulus untuk menciptakan keselarasan dengan fitrah manusia (yang pada hakikatnya cinta damai) maka terlahirlah keindahan kolektif.
Ajaran yang super cerdas tentang keselarasan ini telah ditanamkan oleh para wali penyebar Islam sejak awal. Di antaranya, melalui tontonan wayang yang merakyat, dimasukkanlah jamus kalimosodo (jimat kalimah syahadat) di dalam kisahnya sebagai azimat yang tak terkalahkan. Begitu juga dalam praktek ritual Idul Adha di Kudus yang tidak memperbolehkan menyembelih sapi. Betul-betul menyelipkan pesan bahwa ber-Islam harus “berdamai” selaras dengan kehidupan nyata masyarakatnya apabila menghendaki Islam bisa diterima hati khalayak.
Kebijakan yang dilakukan Sunan Kudus melarang ummat Islam menyembelih sapi untuk Qurban saat itu dimaksudkan sebagai penghormatan terhadap perasaan pemeluk Hindu yang menyucikannya sebagai jelmaan dewa Kamadhenu lambang keberlimpahan rezeki. Karena begitu merasuknya dawuh kanjeng sunan, hingga sekarang di Kudus masih kita jumpai komunitas yang tidak memakan daging sapi.
Dari prinsip “laras” ini dapat kita petik pelajaran penting bahwa ternyata orang yang takwa tidak cukup berbekal pedoman tekstual al Qur’an dan Hadits semata. Ia harus memiliki kecerdasan spiritual dan emosional yang mampu menjembatani antara nilai-nilai keilahian yang digali dari ritual ibadah murni dengan yang diperoleh dari keikhlasan memayu hayuning bawono atau sebagai rahmatan lil alamiin.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun