Saya adalah seorang santri di sebuah Pesantren, pendidikan di pesantren yang saya rasakan mungkin hampir mirip dengan pendidikan di militer, yaitu sangat menekankan kedisiplinan siapapun yang tinggal menetap di dalamnya. Setiap pagi lonceng manual dengan cara mengetok-ngetokkan pintu dengan sendok yang dibunyikan langsung oleh pengasuh pesantren menjadi pembangun bagi kami yang sedang pulas tertidur, sebagian dari kami ada yang patuh kemudian bangun untuk melaksanakan tahajjud, tak jarang juga yang beralasan “masih ngantuk” meneruskan tidurnya dan tak memperdulikan bisingnya alarm manual yang berbunyi. Lonceng itu rutin berbunyi setiap pukul 03.30 pagi. Sikap disiplin yang diterapkan seperti ini jika terbiasa diterapkan terus-menerus maka akan menjadi sebuah kebiasaan baik dalam kehidupan. Tak hanya itu, sikap disiplin lainnya juga selalu diterapkan pada kami yang terbilang “ABG atau menuju dewasa”. Aturan itu diantaranya adalah larangan memakai celana pensil atau jeans, larangan untuk boncengan dengan lawan jenis, larangan bertemu hanya berdua dengan lawan jenis dan masih banyak yang lainnya yang wajib ditaati oleh semua penghuni pesantren ini, jika melanggar maka “pengadilan” pesantren yang akan bertindak menangani siapa saja yang melanggar, lalu diberi takziran atau hukuman yang bersifat membuat jera si pelanggar, saya adalah yang termasuk pernah merasakan hukuman itu. Pendidikan formal di pesantren ini menjadi pilihan bagi para orang tua yang khawatir melepas anaknya sendiri berada di perantauan (untuk kuliah) tanpa pengawasan dari orang tua secara langsung, jika di pesantren maka pengasuh pesantrenlah yang berperan sebagai orang tua kedua bagi kami yang jauh dari orang tua.