Mohon tunggu...
KOMENTAR
Ilmu Sosbud

Indahnya Bersyukur, Belajar Tidak Menengadah ke Atas

2 Agustus 2021   11:05 Diperbarui: 4 Agustus 2021   14:34 99 1
Bismillahirrahmanirrahim

Di tengah bising suara mobil dan motor yang lalu lalang, Dibawah mentari yang sinarnya jatuh tepat di atas kepala. Pandangan mata ini tertuju pada sesosok pria yang tengah duduk di perempatan Jalan. Tepatnya di lampu merah Tangerang. Di tengah hari bolong begini, matahari begitu teriknya hingga bayangan lelaki paruh baya itu hampir tak kentara. Seringkali Bapak ini menggaruk-garuk punggung dan tubuhnya. Sembari menengadahkan tangannya kepada pengendara jalan yang lewat. Mengharap kebaikan siapa saja yang masih memiliki hati. Kepingan-kepingan logam begitu dia nantikan dalam peluh keringat menetes.

Tak banyak orang memperhatikan pria ini. Seakan tak peduli karena direpotkan dengan hiruk pikuk kesibukan masing-masing. Mungkin bagi sebagian orang keberadaan pria ini bukan pemandangan indah. Jika kita pernah mendengar kisah Dede "manusia akar" yang sempat marak di media. Bapak ini mungkin bisa dibilang memiliki kesamaan dengannya. Beliau memang memiliki kekurangan fisik. Secara kasat mata tubuh bapak ini ditumbuhi dengan kulit yang menebal dan berbintil-bintil. Tangan dan kakinya membesar hingga menjadi dua kali ukuran normal. Jari- jari telapak tangan dan kakinya pun menyatu sehingga terlihat seperti tidak memiliki jari. Kulitnya pun tak berwarna coklat tapi abu-abu dan tampak bersisik.

Di tengah keterbatasan fisiknya, sudah sepantasnyalah kita mafhum dengan beliau yang mengetuk pintu hati mengharap kasih. Tak banyak yang dapat dia dilakukan. Jika penyandang cacat tuna netra masih bisa berprofesi sebagai tukang pijat. Jika Penyandang cacat tuna daksa masih bisa membuat prakarya dan berjualan. Maka bapak ini tidak bisa berbuat banyak. Jarang ada orang yang mau menerima karya dan jasa darinya.

Tuhan maha adil, meski dengan segala kekurangannya Bapak ini masih mendapatkan rizkinya meski dengan cara yang bagi sebagian orang dianggap kurang terhormat. Padahal kehormatan bukan soal fisik dan materi. Kehormatan terletak pada kejujuran.

Bapak ini hanyalah satu dari sekian orang yang kurang beruntung. Mata kita mungkin melihat banyak kekurangan dari raga, namun mata hati kita tentunya dapat merasakan keelokan jiwanya. Dalam pandangan manusia dia adalah manusia yang dipandang sebelah mata tapi tidak dalam pandangan Sang Pencipta. Tetap bersyukur dan keyakinan bahwa Sang Pencipta adalah Yang Maha Adil menggoreskan raut wajah bahagia yang tampak pada senyumannya pada pengendara yang memberikan bantuan. Bisa jadi di hari akhir nanti Bapak ini adalah manusia yang lebih mulia karena kepandaiannya dalam kesabaran.

Jikalau bapak di atas masih bisa bersyukur dengan kekurangan fisiknya. Tentunya kita haruslah lebih pandai menghargai karunia pemberian Sang Pencipta. Sebagai karyawan kita masih memiliki pekerjaan untuk menafkahi keluarga. Saat-saat bekerja keras di produksi. Duduk lama menjahit sampai kursi panas. Atau berdiri memotong kulit sepatu sampai kaki varises. Seharusnya kita masih dapat berbahagia. Ekonomi boleh sulit tapi kita masih punya kesehatan dan keluarga. Meski gaji UMR pas-pasan untuk menutupi kebutuhan hidup. Setidaknya masih cukup sandang pangan dan membiayai anak mengenyam pendidikan. Perlu kita sadari, di luar sana banyak orang yang tidak punya pendaringan entah karena kekurangan fisiknya maupun karena kekurangan keahlian.

Syukur sebagai karyawan adalah menghargai pekerjaan. Semangat dan kerja keras mengukuhkan rasa syukur. Tak ada yang sia-sia saat kita sudah bekerja keras di pabrik. Manakala bel pulang berdenting tiada kebahagiaan terindah selain menanti pulang. Melihat senyum manis bocah-bocah cilik, belahan hati menyambut hangat kepulangan ayah bundanya. Dalam tatapan mata bundar mereka kita adalah harapan masa depannya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun