Mohon tunggu...
KOMENTAR
Travel Story

Sehari, Menyusuri Jalur Kematian bersama Sang Ular Besi

10 April 2011   14:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:56 322 0
Tepat pukul 06.30 waktu Bangkok pintu kereta ditutup, roda-roda lokomotif pun mulai bergerak perlahan. Tak peduli ketiga teman kami yang sedang berlari dari stasiun MRT menggapai kereta ini. Tapi tak mengapa mereka bisa menyusul di pemberhentian pertama perjalanan satu hari ini di stasiun berikutnya karena menurut itinerary yang kami unduh dari internet, kereta akan berhenti pada 07.40 selama 40 menit. Jadi masih cukup banyak waktu untuk mengejar lajunya si ular besi ini dengan taksi.

Setelah karcis kami diperiksa, seorang petugas memberi itinerary dengan tiga bahasa, bahasa Thai, Inggris dan China. Lalu petugas ini mulai berbicara, ternyata dia tak sekedar petugas kereta, tour guide lebih tepat. Dia mulai menyapa penumpang kereta dalam bahasa Thai, tak lupa pula memperkenalkan kami berenamsebagai turis dari Indonesia dan satu teman baru kami bernama Zdenek dari Republik Ceko kepada penumpang lainnya. Meski dia tahu kami tak begitu paham bahasa Thai, hanya sesekali saja dia mengucapkan kata-kata dalam bahasa Inggris dengan aksen Thai. Maklumlah, paket one day tour to Kanchanaburi yang hanya berbandrol 120 bath atau kurang lebih 36 ribu rupiah pergi-pulang ini memang membidik turis lokal. Jadi, kami pun tak ingin menuntut lebih.

Stasiun Nakhon Pathom

Kurang lebih 70 menit setelah pemberangkatan kami sampai di stasiun Nakhon Pathom. Sang guide memberi tahu kami kapan kami harus kembali ke kereta dalam bahasa Inggris. Di sana ketiga teman kami sudah menunggu. Empat puluh menit sebenarnya adalah waktu untuk mengunjungi Chedi terbesar di Thailand. Tapi kami memutuskan untuk mampir di warung tempat teman kami menunggu. Tak sampai 30 menit Tom Sep atau sup jeroan tandas bersama nasi masuk di perut untuk sarapan. Karena tak ingin kejadian “konyol”-ketinggalan kereta terulang lagi, bergegas kami kembali kereta.

Kereta pun melaju menuju propinsi yang terletak di sebelah barat kota Bangkok dan langsung berbatasan dengan Myanmar, Kanchanaburi. Kali ini gerbong kereta hanya tiga buah, sisa gerbong ditarik oleh lokomotif lain menuju ke tempat yang berbeda. Sepertinya tak begitu banyak orang Thai yang memanfaatkan hari libur Mahacakri ini untuk plesiran ke kota yang menjadi bagian dari Perang Dunia II. Meski sederhana, kereta ini cukup special. Dia tak hanya berhenti sebentar di stasiun untuk menurunkan dan mengangkut penumpang, dia akan berhenti cukup lama di beberapa stasiun lalu penumpang dipersilakan untuk untuk melihat objek wisata yang tak jauh dari stasiun. Karena itu, hanya di akhir pekan atau hari libur nasional saja paket perjalanan sehari dengan kereta ini ditawarkan. Hari lainnya, ada kereta dari Bangkok –Kanchanaburi yang akan membawa penumpang dua kali sehari.

Dari stasiun Nakhon Pathom, perjalanan ke ibu kota propinsi yang berjarak 129 km dari kota Bangkok ini ditempuh dalam waktu satu seperempat jam. Sepanjang perjalanan pemandangan yang jamak kita temui di negeri kita, terlihat di sini. Hamparan padi menghijau diselingi pohon kelapa, lalu kebun tebu atau sekedar semak belukar. Bedanya, kalau di Indonesia kita akan menemui mesjid di sepanjang perjalanan, di sini kita akan menemukan wat atau temple yang khas dengan warna emas dan merah serta chedi yang berwarna putih. Berbagai aroma pun menyeruak bergantian. Kadang legitnya tebu, kadang ada bau yang tak bisa terdefinisikan hinggap di hidung, namun yang menyiksa adalah bau tak sedap dari peternakan babi. Anehnya teman kami Zdenek, tak terlihat sekalipun menutup hidung ketika aroma tak bersahabat itu muncul. Ah mungkinkah sensor di nasalnya sedikit berbeda dengan kami, orang Asia. Entah lah, mungkin kami harus belajar pada dia bagaimana tidak berkeluh kesah dan menikmati perjalanan ini.

Jembatan di Atas Sungai Khwai

Sekitar pukul 09.20 kami tiba di stasiun Kanchanaburi, hanya berhenti sebentar. Lalu perjalanan dilanjutkan ke jembatan sungai Khwai atau River Khwai Bridge. Kata Khwai dalam bahasa Thai diucapkan seperti kita menyebut kata “kweni “dalam bahasa Indonesia. Sesungguhnya sungai yang dilintasi oleh rel kereta yang dibangun oleh tawanan PD II dan penduduk Asia ini adalah Sungai Mae Khlung, bukan sungai Khwai seperti yang disebut dalam novel best seller “Le Pont de la reviere Kwai” (1952; The Bridge over the River Kwai). Novel ini dikarang oleh seorang agnostik berkebangsaan Prancis, Pierre Boulle (20 Februari 1912 – 30 Januari 1994).  Cerita dalam buku ini memang berdasarkan pada kisah memilukan yang dialami oleh tentara sekutu yang dijadikan tawanan perang oleh Jepang. Jepang menjadikan mereka pekerja Romusho. Para tawanan perang (dari pihak sekutu)bersama penduduk Asia yang menjadi jajahan Jepang dipaksa untuk membangun rel kereta api sepanjang 415 km yang melintasi sungai di utara Kanchanabur, menghubungkan Thailand dengan Myanmar. Karena begitu banyak kematian, jalur rel kereta ini sangat terkenal dengan sebutan “Death Railway”. Dari buku ini, para pelancong dibuat penasaran dan ingin menyambangi sungai dan jembatan yang dilintasi oleh “Death Railway” in. Hingga akhirnya nama sungai pun diganti menjadi Khwai Yai atau Khwai besar dan sungai Khwai yang asli diberi nama Khwai Noi atau Khwai kecil karena memang lebih kecil.

Kereta berhenti di stasiun River Khwai, 10 meter sebelum River Khwai Bridge. Kami diberi waktu 20 menit untuk berjalan di atas jembatan, mengambil gambar dan melihat pemandangan di sekitar jembatan. Sebenarnya ada dua jembatan yang dibangun oleh tawanan perang Jepang, pertama jembatan yang terbuat dari kayu, selesai dibangun pada Februari 1943. Jembatan yang kedua dari baja seperti yang bisa kita saksikan sekarang. Baja yang melengkung di sisi jembatan dibawa dari Jawa oleh Jepang, karena itu sebagian pekerja yangmembangun jembatan ini juga berasal dari Jawa. Sekarang keturunan mereka tinggal di salah satu kawasan di Bangkok dan membangun masjid bernama Masjid Jawa. Sedang baja lurus di kedua sisi jembatan didatangkan dari Jepang, yang dipasang pada tahun 1945 setelah sebagian jembatan hancur karena serangan bom dari tentara sekutu.

Wampo viaduct

Dua puluh menit sudah, kami berjalan menyusuri jembatan, meski sudah sudah berumur hampir tiga perempat abad, namun masih nampak begitu kokoh. Pukul 10.20, dua puluh menit lebih lambat dari jadwal semula, kami kembali ke kereta untuk melanjutkan perjalanan. Setelah melintasi River Khwai Bridge, kereta berjalan di sepanjang sungai Khwai Yai, lalu kereta mengurangi kecepatannya. Kereta melintasi viaduct yang terbuat dari kayu dikenal dengan nama Wampo viaduct. Viaduct ini juga dibangun oleh tawanan perang. Kita bisa melihat pemandangan sungai di sisi kanan dan bukit di sisi kiri. Di sungai, terlihat juga rumah-rumah terapung untuk wisatawan bermalam menikmati suasana sungai Khwai. Setelah melewati Wampo viaduct kereta kembali berjalan cepat.

Saiyok Namtok dan Gua Wang Badan

Kereta sampai di stasiun Saiyok, boleh dikata ini adalah akhir dari perjalanan. Lebih dari dua jam kami diberi waktu. Pertama, kami menuju Saiyok Noi Namtok atau air terjun Saiyok kecil, letaknya hanya sekitar 100 meter dari pemberhentian kereta. Sampai di depan air terjun, kami agak kecewa, airnya tak begitu jernih mungkin karena beberapa hari ini hujan. Terpaksa niat untuk berenang pun diurungkan. Akhirnya baju ganti yang sudah saya persiapkan seolah hanya penambah beban saja. Hanya beberapa saat kami di sana, mengambil gambar secukupnya. Tujuan kami berikutnya adalah sumber air terjun Saiyok, mungkin di sana kami akan menemukan air yang jernih. Untuk mencapai sumber air kami harus menaiki tangga. Sangat melelahkan, tersadarlah kami bahwa selama ini kurang exercise. Berbeda dengan Znedek, peneliti anggrek dari republik Ceko ini tak sedikit pun terlihat letih. Kaki panjangnya membuat dia bisa menaiki dua anak tangga dalam sekali langkah.

Sampai di tanah lapang, kami ditawari ojek menuju ke Gua Wang Badan. Hanya 100 bath atau 30 ribu rupiah untuk perjalanan pergi dan pulang sejauh 2,3 kilometer. Wow, tawaran menggiurkan bagi kami orang Asia, tapi tidak bagi Znedek. Akhirnya kami berenam berojek ke Gua Wang Badan sedang Znedek memilih berjalan kaki menuju ke sana. Jalanan setapak yang dilalui ternyata tidaklah mulus, naik turun, kadang juga becek sehingga sesekali tukang ojek terpaksa menggunakan kaki untuk menahan supaya motor tidak terpeleset atau oleng. Kami melewati hutan, di sepanjang perjalanan banyak kerumunan kupu-kupu beraneka warna. Sangat menggoda untuk menekan shutter kamera, tapi tidak mungkin, tak cukup waktu.

Setelah 20 menit perjalanan, sampai lah kami di dekat anak sungai yang airnya sudah mongering. Sepeda motor hanya bisa sampai di situ. Selanjutnya kami berjalan kaki ke mulut gua. Untuk mencapai gua, kami harus menaiki sebuah bukit. Memang cukup terjal, tali yang sengaja di pasang di sepanjang jalur menuju gua pun sangat membantu kami.

Hanya sepuluh menit, sampailah kami di mulut gua. Aura mistis menyeruak, seperti biasanya, patung sang Budha serta bermacam-macam persembahan tersaji di mulut gua. Kami cukup mengucapkan salam untuk “penghuni” gua. Di sana sudah siap ranger dengan lampu petromaknya. Dia menyalakan lampu petromak lalu berjalan turun ke gua, kami mengikutinya. Jalan menuju bagian dalam gua ternyata cukup sempit, terpaksa kami membungkukkan badan supaya kepala tidak terbentur bebatuan gua. Beberapa bagian jalan masuk berupa tangga, kami harus menuruni tangga tersebut, terkadang juga menaikinya. Lembabnya udara di dalam gua membuat keringat tak berhenti mengalir. Berkali-kali harus melepas kacamata, mengelapnya supaya kaca menjadi jernih.

Sampai lah kami di bagian indah dari sebuah gua. Jajaran stalaktit menggantung dari langit-langit gua. Berbeda dengan gua-gua di Jawa yang sudah diperindah dengan lampu-lampu, gua Wang Badan ini dibiarkan alami. Tak ada penerangan permanen di dalam gua, sinar yang bisa membawa kami untuk menikmati keindahan stalaktit dan stalakmit di gua ini adalah cahaya yang dibawa ranger kami. Untuk memotretnya pun kamera saya tak cukup mampu menangkap keindahannya. Kekecewaan akan air terjun yang tak seindah bayangan, terbayar oleh keperawanan gua ini.

Sebenarnya, masih ada beberapa bagian gua yang bisa dieksplorasi, tapi waktu tidak memungkinkan lagi. Akhirnya kami keluar gua dengan jalur yang sama ketika masuk. Karena menyusuri jalur yang sama, kesulitan pun terasa lebih ringan, meskipun lebih banyak jalan menanjak dan naik tangga. Waktu tempuhnya pun terasa lebih singkat. Begitu sampai di mulut gua, ternyata Znedek baru tiba. Terpaksa kami tidak menyarankan dia untuk memasuki gua. Lubang gua terlalu kecil baginya, tinggi badannya yang mencapai 196 cm pasti kesulitan untuk menuruni anak tangga yang berbelok. Dia pun berbalik arah dan kembali berjalan kaki, sedangkan kami tetap berojek ria.

Tepat pukul 2 siang kami tiba di tanah lapang, tempat tukang ojek mangkal. Sambil menunggu Znedek kembali, kami meneguk air penghilang dahaga dan beristirahat. Tak begitu lama, Znedek muncul, kami pun menuruni tangga untuk kembali ke kereta. Jalur yang sama akan dilewati kereta ini. Kesempatan untuk menggambil gambar apa-apa yang sudah terlewatkan sebelumnya.

World War II Memorial Park

Kereta berhenti di beberapa stasiun, pemberhentian yang cukup lama adalah di stasiun Kanchanaburi. Kami dipersilahkan untuk mengunjungi World War II Memorial Park. Di luar stasiun sudah ada beberapa song tew yang mengantar kami ke area pemakaman tentara sekutu yang gugur untuk membangun “Death Railway”. Karena kami tidak sempat makan siang, akhirnya kami bernegosiasi dengan supir songtew supaya bisa mengantarkan ke World War II Memorial Park and warung makan sekaligus. Hujan turun begitu lebat saat itu, sehingga kami hanya sempat mengambil gambar dari gate. Ternyata World War II Memorial Park hanya sebuah taman yang dibuat seperti pemakaman. Para tentara sekutu dan pekerja yang gugur dalam membangun “Death Railway” itu sendiri dimakamkan di tempat lain.

Kembali ke Bangkok

Hujan agak mereda, kami pun kembali ke kereta setelah membeli bekal makan siang ala kadarnya. Menu makan siang kali ini cukup dengan Khao niaw sai Khai chiaw  (ketan dan telur dadar) serta Somtam atau papaya salad, cukup mengenyangkan. Kereta pun melaju perlahan menuju ke Bangkok. Sang guide kembali menyapa penumpang, suasana tampak meriah, sesekali terlihat bertepuk tangan, kami tak tahu maksudnya. Untuk meramaikan suasana dia melemparkan pertanyaan kepada penumpang lalu memberinya hadiah kepada yang bisa menjawab dengan benar. Cukup kreatif, tapi kami tak bisa berpartisipasi, tak ada pertanyaan dalam bahasa Inggris. Kami pun akhirnya memilih memperbincangkan negara Znedek, Republik Ceko.

Tak terasa, lampu-lampu kota mulai terlihat, suasana metropolis kembali muncul, pemandangan yang cukup kontras dengan sebelumnya. Kami baru saja memasuki kota Bangkok. Dari pinggiran kota Bangkok menuju ke Stasiun Hua Lampong ditempuh cukup lama. Beberapa kali kereta harus berhenti karena harus melintasi jalanan kota. Itulah bedanya Thailand dengan Indonesia, jika di negara kita kereta melaju terus ketika menemui persimpangan jalan, di Bangkok, kereta harus berhenti, lalu kereta berjalan jika pintu palang kereta sudah ditutup. Sesampainya di stasiun Hua Lampong, kereta pun berhenti. Kami pun bergegas keluar mencari taksi untuk kembali ke apartemen kami. Hari yang melelahkan tapi menyenangkan. Besoknya kami harus beraktifitas kembali di kampus masing-masing.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun