Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Ruang Pejalan Kaki yang Terenggut Oleh PKL

7 Oktober 2012   05:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:09 570 5
Malioboro yang telah dipadati oleh ruko-ruko bekas Pecinan dan kegiatan sepanjang malam banyak mengundang pengunjung. Tetapi perilaku pedagang Kaki Lima (PKL) selalu saja menjadi masalah bagi kota-kota yang sedang berkembang apalagi bagi kota-kota besar yang sudah mempunyai predikat metropolitan. Kuatnya magnet bisnis kota-kota besar seperti Yogyakarta ini mampu memindahkan penduduk dari desa berurbanisasi ke kota dalam rangka beralih profesi dari petani menjadi pedagang kecil-kecilan. Permasalahan tersebut timbul dikarenakan pedagang kaki lima di Kota Yogyakarta umumnya menggunakan fasilitas umum antara lain trotoar, di atas parit pada ruas-ruas jalan utama, di depan pertokoan pada pusat kawasan perdagangan, dan di lingkungan pasar-pasar tradisional. Pedagang kaki lima ini melakukan kegiatan usahanya dengan menggunakan gerobak, lapak, dan bangunan semi permanen. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, namun hasilnya belum memuaskan, bahkan ada kecenderungan penyebaran semakin meluas dan jumlahnya semakin bertambah. Meningkatnya jumlah pedagang kaki lima ini tidak terlepas dari berbagai faktor yang mendukung antara lain terbatasnya lapangan kerja baru, krisis ekonomi yang berkepanjangan berdampak pada pemutusan hubungan kerja, urbanisasi semakin meningkat, keterbatasan kemampuan untuk memiliki tempat usaha yang tetap, penegakan hukum yang masih lemah serta belum dilaksanakannya operasi penertiban secara kontiniu dan konsisten. Pedagang kaki lima selalu menjadi perdebatan antara pro dan konta karena keberadaannya yang selalu menempati ruang terbuka publik kota (jalan, trotoar, bahu jalan, taman dll). Terutama yang memiliki aksesibilitas yang tinggi seperti di sepanjang Jalan Adisucipto, Samping Kraton Yogyakarta, Titik 0 kilometter, dll. Yang hampir disemua trotoar tersebut di penuhi Pedagang Kaki Lima, sehingga pengguna jalan kaki harus turun ke badan Jalan. Padahal itu sangat berbahaya sekali untuk pejalan kaki.

Tidak hanya itu, PKL pun menyebabkan kesemerawutan kota, mengurangi keindahan kota, menyebabkan kekumuhan kota, dan tentu nya sangat mengganggu kenyamanan lalu lintas utama nya pejalan kaki. Di sepanjang Jalan Laksda Adisucipto contoh nya, kalau kita melewat jalan tersebut akan terkesan sekali kesemerawutan jalan yang terdapat banyak Pedagang Kaki Lima di sepanjang Trotoar. Dan terkesan kumuh karena banyak nya Baliho-balihan atau spanduk media massa. Dulu Yogyakarta merupakan ikon kota Budaya, tetapi sekarang lebih kental aspek bisnisnya, terutama Pedagang Kaki Lima. Lantas bagaimana kah nasib para pejalan kaki?. Seolah-olah pemerintah tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi para Pedagang Kaki Lima. Harapan besar untuk saya, supaya pejalan kaki bisa sangat nyaman berjalan dengan trotoar yang lebar. Meskipun sebenarnya hiruk pikuk dan kesemerawutan di sepanjang Jalan di Yogyakarta, kota yang maju tidak hanya dinilai dari semakin banyaknya kendaraan bermotor yang berlalu lalang di jalan raya, melainkan kota yang masyarakatnya merasa aman saat berjalan kaki di luar rumah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun