Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Menuju Indonesia Terhormat

17 Agustus 2010   12:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:57 69 0
Memasuki usia yang ke-65 Indonesia dihadapkan pada tantangan yang semakin berat. Mulai dari pengurangan kemiskinan, peningkatan mutu pendidikan, memacu investasi, hingga mengejar pertumbuhan kawasan. Mungkin sebagian tantangan di atas merupakan tantangan yang juga dihadapi saat negeri ini baru merdeka.

Kemiskinan dan kebodohan misalnya merupakan dua term klasik yang menggelayuti memori kolektif kita sejak 1945 hingga kini. Beragam cara sudah dilakukan untuk mengusir kedua 'hantu' tersebut. Silih berganti pemerintahan sejak orde lama, orde baru, dan orde reformasi ini mencoba mengatasi. Namun, tetap tak mudah 'menjinakkan' keduanya.

Apakah kita akan menyerah pada tantangan tersebut? Jawabnya tidak. Sebagai bangsa besar kita harus siap menghadapi tantangan apa pun yang datang. Yang terpenting adalah bukan berhasil atau gagal tapi sejauh mana militansi pemimpin dalam mengatasi setiap tantangan.

Ada baiknya pada momentum kemerdekaan ini kita menengok sejarah. Cita-cita terbesar dari suatu bangsa yang merdeka adalah kesejahteraan bagi rakyatnya. Kesejahteraan dimaksud diterjemahkan melalui kematangan rasa nasionalisme, ekonomi yang terdistribusi secara (relatif) merata, serta adanya konsensus dan aturan main sebagai rambu-rambu kolektif. Jika negara sudah sampai pada tahap ini maka dengan sendirinya kehormatannya akan diakui oleh bangsa dan negara lain.

Tampaknya cita-cita di atas sangat ideal. Bahkan, bagi sebagian kalangan yang pesimis ide tersebut hanya dianggap sebagai utopia. Namun demikian kita tak boleh berhenti berharap dan berusaha. Karena, pada dasarnya negara didirikan untuk membuat sesuatu yang ideal itu bisa terwujud secara bertahap.

Indonesia setelah lebih dari enam dasa warsa merasakan kemerdekaannya kini juga tengah berproses untuk mengejar kehormatan tersebut. Rezim silih berganti, datang dan pergi, namun nilai ideal itu tak juga dirasakan secara merata.

Jika merujuk pandangan Wickner dan Miurin setidaknya terdapat empat parameter untuk mengukur keberhasilan suatu bangsa. Keempat parameter dimaksud antara lain, keberlanjutan (sustainability), keadilan dan kebebasan individu (fairness and individual freedom), harmoni (harmony) dan kesiapan menghadapi masa depan (readiness for the future).

Keberlanjutan suatu negara dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi, pemeliharaan lingkungan, dan kesehatan masyarakatnya. Dalam hal pertumbuhan ekonomi kita sejak reformasi terus berupaya mengejar pertumbuhan 6 sampai 7 persen. Namun, digit tersebut tak mudah dicapai begitu saja. Perlu dukungan infrastruktur serta iklim investasi dan permodalan yang memadai.

Selain itu kualitasi SDM kita juga menjadi tantangan tersendiri. Beberapa kasus pindahnya perusahaan asing ke Vietnam dan Thailand dalam lima tahun terakhir menunjukkan kita masih memiliki pekerjaan rumah dalam meningkatkan iklim investasi.

Paradoks Demokrasi
Di sisi lain demokratisasi yang kita harapkan dapat menjadi jalan menuju kemajuan nyatanya hingga kini justru hanya menyuguhkan kebisingan dan konflik elit. Mengenai hal ini Lee Kwan Yew, mantan PM Singapura, menyimpulkan apa yang terjadi di Indonesia sebagai berikut:

Pertama, sistem multipartai yang berlaku saat ini menyulitkan pemerintahan manapun untuk menjalankan program-programnya. Apa yang dikatakan Lee benar. Kita lihat dalam sepuluh tahun terakhir DPR begitu kuat
(legislative heavy).

Situasi ini merupakan paradoks dari sistem presidensial yang kita pilih. Terlalu kuatnya DPR membuat pemerintah tak dapat bekerja maksimal karena parlemen yang merupakan kubangan kepentingan (partai partai) akan sulit menemui konsensus.

Apalagi jika partai-partai di sana jumlahnya lebih besar maka upaya menemukan "tujuan nasional" dan operasionalnya akan makin sulit. Oleh karenanya kita amat mendukung jika ide penyederhanaan partai pada 2014 mendatang benar-benar terbukti. Hanya saja kita patut pesismis --berdasarkan pengalaman 2004 dan 2009, karena kerap kali jelang pemilu UU Pemilu selalu mengalami revisi. Perubahan yang memungkinkan multipartai kembali digunakan.

Kedua, kurang konsistennya elit dalam menjaga janji-janjinya kepada rakyat. Kita tahu setiap pemilu digelar hampir semua partai menawarkan "mimpi" Indonesia sejahtera, pengurangan pengangguran, dan kemiskinan hingga peningkatan pelayanan kesehatan. Namun, setelah pemilu usai tak banyak yang ingat akan janji tersebut.

Setelah masing-masing duduk manis di parlemen dan eksekutif janji tinggal janji. Inilah yang menurut Lee membuat Indonesia sulit keluar dari jeratan krisis. Padahal, jika mau kita bisa lebih cepat dari capaian saat ini.

Ketiga, daya saing investasi kita relatif lemah di kawasan. Bandingkan dengan Singapura dan Malaysia. Kedua negara tersebut mampu menampilkan birokrasi yang efisien sehingga menarik minat investor. Di Indonesia tak demikian. Oleh karena birokrasi justru menjadi faktor penghambat yang paling besar.

Setelah itu tantangan kita adalah menekan pungutan liar (biaya siluman) yang mengakibatkan high cost economy. Praktek semacam ini telah berlangsung lama. Berdasarkan hasil survei Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) dan Bank Dunia 2005 pungutan liar yang harus dibayar diperkirakan mencapai 800 juta Solar AS. Itu baru di satu sektor. Belum total keseluruhan.

Jika Wickner dan Miurin menggunakan istilah keberhasilan bangsa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memperkenalkan istilah negara terhormat untuk titik yang akan kita tuju di masa depan. Pembangunan tidak melulu hanya angka pertumbuhan dan material. Tetapi, lebih dari itu. Berupa kebanggan dan kehormatan kita sebagai warga negara. Untuk menuju negara terhormat Presiden mensyaratkan sepuluh komponen yang harus dipenuhi.

Pertama, bangsa yang terhormat hanya bisa dicapai jika kemiskinan bisa dikalahkan. Rakyat harus dibantu oleh pemerintah untuk lepas dari kemiskinan. Terutama kemiskinan absolut.

Kedua, terciptanya kestabilan dan keamanan dalam kehidupan bermasyarakat. Semakin sering terjadi gejolak maka kehormatan sebuah bangsa di mata bangsa lainnya akan menurun.

Ketiga, terciptanya iklim yang demokratis. Demokrasi dimaksud dalam arti kebebasan, freedom, dan penghargaan terhadap aspirasi rakyat. Namun, harus dipahami kebebasan dalam demokrasi juga dibatasi oleh pranata sosial maupun hukum. Pranata ini bukan dalam rangka menghambat demokrasi melainkan memberikan rel sehingga perkembangan demokrasi mengalami peningkatan secara kualitas.

Keempat, distribusi ekonomi yang merata di seluruh wilayah Indonesia. Kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh negara dan swasta harus sehat. Jeratan utang yang tinggi tidak boleh terjadi lagi karena akan membebani masa depan generasi mudanya.

Kelima, hadirnya pemerintahan yang responsif, dekat dengan rakyat, dan bebas korupsi. Dengan pemerintahan yang berwatak demikian maka pembangunan akan berjalan sesuai rencana. Tidak ada lagi kebocoran dan praktek lainnya yang menyengsarakan rakyat.

Keenam, memiliki lingkungan yang baik. Dalam arti lingkungan yang terjaga keseimbangannya sehingga menunjang kesehatan masyarakat.

Ketujuh, kualitas pendidikan untuk generasi muda makin baik.

Kedelapan, pelayanan kesehatan makin baik.

Kesembilan, prestasi olah raga kita yang mampu bersaing di level regional maupun internasional. Citra bangsa bukan hanya melulu persoalan ekonomi. Olah raga juga menjadi wahana strategis untuk mendorong kehormatan bangsa.

Kesepuluh, negara terhormat dicirikan dengan peran aktifnya dalam pergaulan dunia.

Karya Besar
Pandangan Wickner, Miurin, dan SBY merupakan titik ideal yang harus kita tuju. Masalahnya, untuk menuju ke sana, dengan apa kita akan bergerak? Lalu seberapa cepat kita akan sampai? Jawabnya terletak pada daya saing bangsa kita serta mental untuk maju.

Pada konteks ini kita kenal apa yang dinamakan keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif. Dalam hal komparatif, bangsa Indonesia memiliki alam yang kaya dan iklim yang bersahabat. Bahkan, tongkat pun bisa jadi tanaman. Ironisnya, keunggulan ini justru membuat kita lalai sehingga tidak melakukan apa-apa (karya
besar) dalam waktu yang lama.

Sementara, untuk keunggulan kompetitif berupa potensi yang dapat dikembangkan. Kita juga kini tertinggal dengan negara lain. Produktivitas kita dan kualitas SDM menjadi prioritas utama selain penguasaan teknologi agar keunggulan kompetitif bisa cepat didorong.

Jepang adalah negara yang memiliki area (keunggulan komparatif) sangat terbatas. Sebagian besar daratannya 80 persen berupa pegunungan dan tidak menunjang untuk pertanian. Faktanya kini Jepang menjadi raksasa ekonomi nomor dua di dunia. Jepang laksana negara indisutri terapung terbesar dengan daya serap impor bahan baku dari segala penjuru. Sebaliknya, produk jadi mereka melesat tak terbendung ke pasar-pasar di segala penjuru bumi.

Swiss juga demikian. Negara ini tidak memiliki perkebunan coklat. Namun, dikenal sebagai pembuat coklat terbaik di dunia. Daratan Swiss hanya 11 persen yang bisa ditanami namun negara ini menjadi negara produsen makanan terbesar di dunia dengan perusahaan makanan multinasional dari Swiss, Nestle, adalah salah satu nama yang dikenal luas di dunia.

Kemajuan suatu negara juga tidak tergantung dari umur negara tersebut. Dengan demikian Indonesia yang berumur 65 tahun akan bisa meraih kemajuan besok, lusa, tahun depan, abad depan, atau tidak maju sama sekali. Sebab umur bukan faktor penting melainkan produktivitas yang akhirnya mendongkrak daya saing negara tersebut.

Mesir dan India bisa menjadi contoh aktual. Kedua negara berumur lebih dari 2000 tahun. Namun, mereka tetap terbelakang jika dibandingkan dengan Australia, Singapura, New Zealand, maupun Kanada. Negara-negara ini baru berumur kurang dari 150 tahun. Dalam kurun waktu yang singkat itu pembangunan yang mereka jalankan mampu membebaskan rakyatnya dari kemiskinan.

Ras dan suku bangsa pun demikian. Bukan faktor utama maju tidaknya suatu bangsa. Di kawasan Afrika dan Asia yang tertinggal, dihuni oleh ras yang berbeda dengan orang-orang di Eropa. Namun, jika kita melihat para imigran, kontribusi mereka bagi negara tujuan sangat tinggi.

Para pakar ekonomi cenderung sepakat bahwa imigran dari Afrika dan Asia turut menyumbang pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi di negara-negara Eropa dan Amerika Utara. Jika demikian, di mana persoalannya? Ujung masalahnya terletak pada sikap dan perilaku masyarakat suatu negara yang telah dibentuk puluhan tahun melalui kebudayaan dan pendidikan.

Di negara maju penduduk negara tersebut paling tidak mematuhi hal-hal berikut, yaitu etika, kejujuran dan integritas, bertanggung jawab, hormat pada aturan, menghormati hak orang lain, cinta pekerjaan, gemar menabung, bekerja keras dan tepat waktu. Kelihatannya hal di atas sederhana. Tetapi, faktanya kita selama ini sulit melakukannya. Selamat berpuasa dan merayakan kemerdekaan.

Zaenal A Budiyono
Senior Research Fellow/ Political Strategist di The Ary Suta Center Jakarta


Source: http://suarapembaca.detik.com/read/2010/08/17/164455/1422034/471/menuju-indonesia-terhormat?882205470

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun