Sore cerah. Langit kuning memerah. Di sebuah taman. Kududuk dengannya di bangku tua. Tangan dan bahuku melebar. Dia bersandar. Pipinya menempel di tendon. Aku merasa kekar. Dia mungkin merasa nyaman. Terlindungi olehku.
Kata-kata takkan bisa lagi diucapkan. Kalimat mungkin berlebihan. Satu-satunya cara adalah menciumnya. Ciumlah dia kala suara sudah tak bisa lagi terucap. Ciumlah dia kala aksara sudah tak bisa lagi tertulis. Cium kasih sayang. Cium cinta.
**
Matanya menajam ke arahku. Dia tahu dia laksana pelaut. Dia merasa menemukan samudera yang luas. Itu ketika tahu bahwa aku mencintainya. Dia tahu dari pandangan mataku. Dari jendela hatiku. Sentuhan cinta ini telah sampai pada ujungnya. Ujung cinta membuat siapa saja bisa menjadi penyair. Lebih dari Chairil, dan jauh lebih ajaib dari Rendra.
Dia tetap saja seperti dulu. Dia mencintaiku sungguh-sungguh. Aku berani bertaruh. Cinta itu tetap ada sampai sekarang. Cintanya yang dalam kepadaku membuatku menjadi lelaki yang kuat. Kekuatan itu tumbuh setelah cinta itu datang kepadaku bertubi-tubi. Jika kamu ingin lelakimu menjadi lelaki yang kuat, cintailah dia sedalam-dalamnya, sesungguh-sungguhnya, seyakin-yakinnya.
Aku akan pergi untukmu. Menemukan ladang padi. Untuk kita panen. Menjadi beras. Kamu menanaknya. Menjadi nasi. Dan kita makan. Sepiring berdua. Jika tidak cukup semua itu, aku akan merelakannya untukmu. Biarlah aku lapar. Biarlah perutku keroncongan. Toh aku akan kuat. Karena kamu mencintaiku.
Aku juga sama. Aku mencintaimu sungguh-sungguh. Senyatanya. Tak bisa kupungkiri. Ketika aku merasa cinta itu nyata, pada saat yang sama aku menjadi lelaki pemberani. Melebihi sang gladiator. Cintailah wanitamu sungguh-sungguh, maka kamu akan menjadi lelaki pemberani. Pemeo klasik berkata, lelaki menjadi nekat karena cinta. Laut kan diseberangi, gunung kan didaki. Karena pemberani. Sejuta tentara Mongol pasti kan dihadangnya. Karena ia lelaki pemberani. Karena ia mencintaimu, maka ia menjadi sangat berani. Menghadapi apapun.
**
Datanglah kepadaku. Tinggallah di hatiku. Tidak bayar. Tidak sewa. Tidak kontrak. Hatiku tak akan kusewakan. Hatiku tak akan kukontrakkan. Tak ada yang boleh tinggal di dalam hatiku kecuali kamu. Kamu boleh tinggal disana selama-lamanya. Buatlah halaman hatiku berseri. Tanamlah bunga. Tanamlah perdu. Dan biarkan kupu-kupu berterbangan di atasnya. Binatang itu tengah mengucapkan salam cinta kepadamu. Menyematkan lencana bahwa hanya kamu yang berhak tinggal di situ.
Dan kamu melakukan apa saja di hatiku dengan cinta. Membersihkannya dengan cinta. Menguatkannya dengan cinta. Menghiburnya dengan cinta. Hingga hatiku berseri. Hingga hatiku seperti baru lagi. Karena hatiku adalah rumahmu.
**
Kamu memang telah mendengarku. Tapi bukan dengan telingamu. Ketika aku berbisik, kamu menempelkan hatimu. Jadi, hatimu telah mendengarkanku. Bukan telingamu. Hatimu beribu desibel lebih peka mendengarku. Hatimu tak hanya mendengarkanku. Hatimu selalu memperhatikanku. Dengan cermat. Sedetil gaun Avantie.
Aku tahu bibirku telah menyambut ciumanmu. Tapi itu tak pernah terjadi. Hanya jiwamu yang telah menciumku. Bukan bibirmu. Jiwamu lebih lembut untuk dirasakan. Dibanding bibirmu. Jiwamu lebih santun untuk dinikmati. Jiwamu lebih menarik, jauh lebih eksotis dari sekedar bibirmu. Maka kuhanya tahu bahwa jiwamu adalah berlian. Jiwamu permata. Jiwamu azimat. Yang selalu membuat semuanya indah.
**
Tidak ada teori. Tidak ada rumus. Semua tidak paham akan hal ini. Einstein tidak mengerti. Newton selalu bingung. Pascal pasti tidak akan tahu menahu. Gravitasi takkan pernah bertanggung jawab akan hal ini. Ketika aku jatuh cinta, ketika aku duduk bersanding dengannya. [ ]
Salam Kompasiana,
Mr. President