Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Flash Fiction: "Maafkan Aku..."

24 September 2010   12:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:00 132 0
Aku mendekati pintu apartemennya. Perasaan berkecamuk tak bisa kuhindari. Aku telah berselingkuh dan dia sudah tahu akan perselingkuhan ini dan kami memang telah bertunangan. Aku telah merusak hubungan serius ini dan seribu caci maki siap kuterima dari dirinya.

Aku tak bisa berkutik ketika malam itu seseorang mengajakku kencan. Bagai kerbau yang dicocok hidungnya. Bagai sejuta hipnotis yang berujud panah-panah yang acak menghunus dadaku. Bagai orang-orang bernasib miris yang digiring tentara Nazi memasuki kamp konsentrasi. Aku tak berdaya. Kami telah melakukan yang seharusnya tak kami lakukan. Aku tertelungkup keesokan paginya. Di atas tempat tidurnya. Tanpa sehelai benang pun.

Aku telah menyembunyikan cincin suci ini darinya. Aku tak berdaya ketika itu. Padahal aku tahu. Tunanganku adalah satu satunya orang yang paling kucintai. Dia satu-satunya pria yang tak pernah hilang dari ingatanku. Dia lucu, humoris, baik hati. Dia yang amat mengerti diriku. Dan aku telah mengkhianatinya.

**

Pintu apartemen itu seperti ruangan tempat penyiksaan para narapidana pulau Buru. Aku pasrah jika dia membuka pintu itu, dan langsung meludahi diriku dengan teriakan menyengat seperti "Kamu pelacur murahan!!" atau "Kamu anjing najis!!" atau apapun juga.

Tapi hati ini tak kan mampu mendobrak rasa cinta yang sebenarnya takkan pernah hilang. Aku memang mencintainya meskipun aku juga khilaf telah mengkhianatinya. Aku bagai air selokan meskipun aku sanggup menjadi samudera baginya. Aku mencintainya. Aku mencintainya.

**

Aku mengetuk pintu itu pelan-pelan. Dadaku bergetar. Nyaliku seperti grafik seismograf. Mulutku terkunci dan hanya menunduk yang mungkin bisa kulakukan ketika dia membuka pintu ini. Atau mungkin dia malah tak akan membukakannya untukku??

**

Tiga ketukan. Dan sekitar mungkin tiga detik kemudian, ia membuka pintu apartemennya. Dia keheranan, memandangiku penuh keanehan, mungkin kebencian, dan mungkin ia akan melemparku keluar dari apartemen ini. Atau ia malah akan berbalik dan mengambil pisau untuk ditusukkan kepadaku.

Aku berusaha tenang. Aku mengingat Tuhanku cepat cepat. Hanya Dia yang menolongku. Si manusia laknat ini.

Kami bersitatap agak lama hingga aku memberanikan diri memulai.

"Jika kamu menutup pintu ini keras-keras, aku akan menyadarinya.. tapi kuharap itu tidak kamu lakukan.." kataku dengan bibir bergetar.

Dia menatapku amat nanar, tapi aku tak pernah mau menghindari tatapannya. Aku kangen dengan tatapan itu.

**

Dia mempersilakan aku masuk dengan memberikan jalan meskipun belum terucap sepatah katapun. Aku masuk dan mencium aroma wangi apartemennya ini dan aku hampir menangis karena bau ini yang amat kusukai sejak aku mengenalnya.

Dia masih duduk di dekat pintu dan mulai menghadap ke arahku.

Dia masih diam. Aku tak sabar.

"Aku tahu kedatanganku ini takkan menghapus kejadian perselingkuhan itu.. dan meskipun aku minta maaf sejuta kali.. tentu tak pernah bisa menghapusnya.." kataku pelan.

**

Bibirnya bergetar. Ia akan bicara.

"Aku belum pernah bercerita kepadamu bahwa waktu umurku 10 tahun aku pernah mengalami kecelakaan mobil. Kepalaku terbentur dashboard dan ada sekitar 15 jahitan di dahiku. Aku pusing-pusing selama seminggu. Aku tak pernah merasakan itu sampai aku mengetahui kejadian memalukan ini.." katanya.

Aku memberanikan diri untuk bertahan.

"Perselingkuhan itu kini tak berarti lagi.."

Dia menatapku tegang.

"Siapa bilang?? Itu amat berarti bagiku. Tunangan ini amat berarti bagiku. Hubungan ini amat berarti bagiku. Kamu tidak bisa seenaknya mengatakan bahwa aku mungkin akan menikahimu.. sampai kemudian aku menemukan lelaki yang lebih cocok.. jadi ini percobaan saja.." katanya nerocos. "Kamu tidak bisa datang lagi seperti ini dengan mengatakan bahwa aku ingin kembali.. aku tak bisa hidup tanpamu.."

Aku langsung menyela dengan segenap kekuatanku.

"Tidak!! Kamu keliru!! Aku mencintaimu.." bibirku bergetar. "Aku tidak mengatakan bahwa aku tak bisa hidup tanpamu. Aku bisa hidup tanpamu. Aku bisa.. Aku hanya tak ingin hidup tanpamu.. Aku benar-benar tak ingin hidup tanpamu.. "

Dia masih menatapku dan mungkin merenungkan kata-kata terakhirku. Aku tak mau menunggu jawabannya. Aku lekas-lekas pergi dengan air mata yang hampir tak bisa kutahan lagi. Jika memang ia tak menjadi jodohku, pasti aku akan pulang dengan keadaan menyedihkan ini.

Aku galau dan di dalam lift aku tak pernah berhenti berdoa. Manusia memang tempat khilaf. Manusia tentu tak ada yang sempurna.

**

Aku sudah di lantai dasar apartemen ini. Aku membuka lift.

Darr!! Bagai kudengar petasan.

Dia ada tepat di depanku. Dia berlari menuruni tangga biasa tadi. Kulihat nafasnya masih tersengal. Ia berlari mengejarku. Dia berlari dan ingin menghadangku. Aku berharap ini akan jadi baik. Aku ingin tersenyum tapi kutahan dulu.

"Aku juga mencintaimu.. Aku tak sanggup melihatmu pergi.." katanya manis.

Dan kami berpelukan amat erat. Kami juga berciuman. [ ]

Salam Kompasiana,

Zuhdy Tafqihan

NB : Flash Fiction ini kupersembahkan untuk para kompasianer CEWEK aja.. hehehe..

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun