Masa remaja, laksana ombak yang menerjang karang, menghempas Biya ke dalam pusaran dunia yang baru. Rumah pamannya, dengan aroma game net yang khas, menjadi surganya. Di sana, waktu seakan berhenti, terjebak dalam layar monitor yang menyala terang. Sekolah, bagai kewajiban yang membosankan, seringkali terlupakan. Hingga suatu hari, tepat di hari Jum'at, pulang salat dari masjid dia bermaksud untuk membawa sepatu futsal ke rumahnya yang berjarak hanya 1 kilometer dari rumah pamannya. Hasrat bermain futsal membawanya meminjam motor teman. Di tengah euforia kebebasan yang semu, ia terjerat dalam pusaran hipnotis. Motor lenyap, meninggalkan bekas luka mendalam di hati orang tuanya. Cicilan menggantung, menjadi bayang-bayang yang tak kunjung sirna. Kehilangan bukan hanya materi, namun juga kepercayaan yang retak.
KEMBALI KE ARTIKEL