Saat Jibril memberitahu Rasulullah, langkahnya begitu cepat sehingga pasir putih meluncur dari sandal-sandalnya yang kian hancur. Beliau menggambarkan kekhawatiran bahwa malaikat mungkin mendahuluinya untuk memandikan Sa'ad, sebuah tangisan kepedihan bagi hamba Allah yang mendekati keabadian.
Sampai di rumah Sa'ad, Rasulullah bersabda, "Aku khawatir malaikat akan mendahului kita dan memandikannya seperti mereka memandikan Hanzalah." Kedahsyatan momen itu tercermin dalam air mata Nabi yang mengalir, membasahi janggutnya yang suci.
Kuburan Baki' bergemuruh saat jasad Sa'ad turun, takbir Rasulullah dan kaum Muslimin menggetarkan makamnya. "Kubur yang menyesakkan bagi saudaramu," ucap Rasulullah, mengisyaratkan kebesaran dan kekhususan saat Sa'ad menghadap Sang Pencipta.
Air mata Rasulullah tidak berhenti mengalir, menyirami bumi dengan kedalaman rasa kehilangan. "Inilah hamba shalih yang digetarkan Arasy untuknya, langit dibukakan untuknya," ujar Beliau, memberikan penghormatan terakhir pada Sa'ad bin Mu'adh.
Namun, kehebatan Sa'ad tidak hanya terletak pada saat kematiannya. Di antara gemuruh perang Khandak, dia berdoa dengan mata yang penuh keimanan, memohon agar dia tidak wafat sebelum menyaksikan hukuman yang adil bagi pengkhianat Bani Nadhir. Doanya diijabah, dan saatnya tiba, Sa'ad dengan tegas menjatuhkan fatwa hukuman yang layak bagi kaum yang mengkhianati perjanjian.
Iman Sa'ad, ketulusan hatinya, dan keberanian dalam menegakkan keadilan menggambarkan puncak heroisme dan epiknya dalam perjalanan hidup yang singkat namun megah.