Ketimpangan digital atau digital divide telah menjadi isu global yang signifikan dalam era digitalisasi, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Digital divide merujuk pada kesenjangan akses, penggunaan, dan kemampuan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) antara individu, kelompok, atau wilayah tertentu. Fenomena ini bukan hanya mencerminkan perbedaan akses terhadap internet atau perangkat digital, tetapi juga ketidakmerataan dalam kemampuan mengolah informasi digital yang berkontribusi langsung terhadap kesenjangan sosial dan ekonomi. Dalam konteks Indonesia, negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau, tantangan geografis, infrastruktur, dan ekonomi memperparah ketimpangan digital di berbagai daerah.
Seiring dengan perkembangan teknologi, TIK telah menjadi penggerak utama dalam pertumbuhan ekonomi dan pembangunan masyarakat. Penelitian menunjukkan bahwa akses yang merata terhadap teknologi dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi regional melalui peningkatan efisiensi, inovasi, dan produktivitas. Namun, kenyataannya, akses TIK di Indonesia masih sangat bervariasi. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menunjukkan bahwa pada tahun 2022, penetrasi internet di wilayah perkotaan mencapai 76,8%, sementara di wilayah pedesaan hanya sebesar 48,9%. Ketimpangan ini menghambat daerah-daerah tertentu untuk berpartisipasi penuh dalam ekonomi digital, yang pada akhirnya memperlebar kesenjangan ekonomi antarwilayah.
Ketimpangan digital telah terbukti memberikan dampak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di berbagai wilayah Indonesia. Daerah yang memiliki akses teknologi informasi dan komunikasi yang memadai cenderung mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih pesat dibandingkan daerah dengan akses terbatas. Misalnya, wilayah Jawa dan Bali menunjukkan pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang lebih tinggi dibandingkan wilayah Papua dan Nusa Tenggara. Hal ini menegaskan bahwa digital divide tidak hanya menjadi penghalang sosial tetapi juga penghambat struktural bagi pembangunan ekonomi.
Dampak ketimpangan digital juga terlihat dari rendahnya tingkat adopsi teknologi di daerah tertinggal. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2022 menunjukkan bahwa wilayah dengan penetrasi internet rendah memiliki tingkat produktivitas yang lebih rendah. Sebagai contoh, rata-rata penetrasi internet di wilayah Jawa mencapai 76,8%, sedangkan di Papua hanya 36,4%. Selain itu, jika dilihat dari presentase pertumbuhan PDRB, wilayah jawa mencapai 5,6%, sedangkan wilayah papua hanya mencapai 2,9%. Perbedaan ini berdampak langsung pada kemampuan daerah dalam berpartisipasi dalam ekonomi digital, seperti e-commerce dan layanan berbasis teknologi lainnya.
Di samping itu, Kesenjangan ekonomi juga menjadi penyebab utama ketimpangan digital. Daerah dengan pendapatan per kapita rendah memiliki daya beli yang terbatas untuk mengakses perangkat teknologi dan layanan internet. Misalnya, pendapatan rata-rata per kapita di Jawa mencapai Rp45 juta per tahun, sementara di Papua hanya Rp25 juta per tahun. Ketimpangan ekonomi ini berdampak pada kemampuan masyarakat untuk mengakses dan memanfaatkan teknologi.
Maka dari itu untuk mengatasi faktor-faktor ini, diperlukan pendekatan yang komprehensif dan terkoordinasi. Kebijakan yang terfokus pada pembangunan infrastruktur, peningkatan literasi digital, dan subsidi akses teknologi bagi masyarakat kurang mampu harus menjadi prioritas. Dengan demikian, kesenjangan digital dapat diminimalkan dan pertumbuhan ekonomi yang lebih merata dapat tercapai.