Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan Artikel Utama

Modus Operandi: Sekolah Menjadi Sasaran Empuk (1)

25 Maret 2012   04:21 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:31 665 4

Kamis pagi itu, seorang pria berbadan tegap, berpakaian sangat rapi dan necis, sedikit kemayu (lemah gemulai) datang menemui Kepala SMA Negeri 10 di Jakarta Pusat. Di hadapan Kepala Sekolah, Jatmiko, begitu ia mengenalkan dirinya, mengutarakan maksud kedatangannya, yaitu ingin mengajak para siswa yang tergabung dalam kelompok “Dance” SMA 10 untuk tampil di sebuah acara live yang diselenggarakan oleh TIM (Taman Ismail Marzuki).

Menurut keterangan Jatmiko, acara latihan gabungan diselenggarakan di Plaza Semanggi, Jakarta Selatan. Karena acara latihan gabungan diselenggarakan malam itu juga, maka Jatmiko meminta Kepala Sekolah, untuk mengumpulkan siswa-siswa yang dimaksud agar segera berkumpul saat itu juga.

Dengan menunjuk salah seorang guru sebagai pendamping, berkumpullah lima belas (15) siswa “SMA 10 Dancer” dan langsung berkumpul di ruang kesiswaan sekolah. Sementara guru pembimbing dan kepala sekolah mengisi Formulir Pendaftaran yang telah disiapkan oleh Jatmiko, kelima belas siswa diukur tinggi dan berat badannya.

Untu mengejar waktu, selanjutnya para siswa berlatih di Hall dengan bimbingan Jatmiko. Seluruh tim dan Jatmiko juga sempat istirahat sembari makan siang bersama yang telah disediakan oleh pihak sekolah. Sekitar pukul 14.00 mereka (Jatmiko dan tim dancer, tanpa ada guru pendamping) menuju ke Plaza Semanggi, langsung mengarah ke ruangan di lantai dasar (semacam function hall).

Benar, ternyata di dalam ruangan memang terlihat kesibukan para kru tengah mempersiapkan panggung. Terlihat beberapa orang sedang mendekor panggung, sebagian yang lain -menggunakan seragam salah satu TV Swasta- sedang bersiap-siap mengatur beberapa penempatan standing camera. Jatmiko lantas memberikan keterangan, bahwa nanti tepat pukul 19.00 acara latihan gabungan akan dilaksanakan.

Selesai ‘orientasi panggung”, Jatmiko mengajak para siswa menuju counter Fuji Film, berfoto, guna melengkapi syarat pada Formulir Pendaftaran. Sempat pula para siswa diajak menuju salah satu distro untuk memilih kaos (hanya memilih, bukan membeli) yang rencana akan dipakai saat tampil di TIM nantinya.

Jatmiko dan tim dancer menuju salah satu salon yang kebetulan memang dekat dengan function hall. Setelah berbincang-bincang singkat dengan pengelola salon, Jatmiko mengarahkan para siswa untuk segera masuk ke salon guna dirias. Karena Jatmiko memberikan keterangan bahwa dilarang membawa tas dan HP ke dalam salon, maka seluruh siswa tersebut menitipkan tas dan seluruh barang bawaannya kepada Jatmiko.

Setelah selesai dirias di dalam salon kurang lebih dua jam, salah satu siswa, sebut saja Widhis keluar salon untuk menemui Jatmiko. Tapi apa yang terjadi?  Orang yang bernama Jatmiko, atau mas Miko tidak kelihatan batang hidungnya dan sebenarnya sudah menghilang dua jam yang lalu dengan membawa barang-barang para siswa yang lugu dan memang tidak sadar bahwa ternyata mereka telah tertipu.

Lebih “sial”nya lagi, pemilik salon tidak mau tahu dengan tetap meminta ongkos jasa dengan cara menahan seluruh siswa untuk tetap tinggal di salon. Setelah menghubungi orangtua masing-masing, giliran para orangtua yang ketiban tanggung jawab, membayar ke salon. Salah seorang polisi yang sempat datang memberitahukan bahwa modus operandi semacam ini sudah sering terjadi di sekolah-sekolah, bahkan sudah tercatat delapan (8) kasus serupa di Jakarta.

Waspadalah  ., waspadalah!

Catatan :

Beberapa hal yang sebenarnya sudah terlihat janggal :

  1. Buat apa siswa diukur tinggi badannya, kan tidak ada hubungannya dengan kegiatan dance.
  2. Mana ada dalam acara latihan gabungan menggunakan dekorari panggung dan pengambilan gambar? Kecuali acara latihan tersebut dilaksanakan di TIM, masih masuk akal.
  3. Apakah benar ada salon yang tidak membolehkan pelanggannya membawa tas dan HP?
KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun