Kasus ini tentu saja menjadi pelajaran bagi kita semua, dokter, pasien, penegak hukum dan tentu saja pemerintah. Bahwa dokter demo atas nama solidaritas dan merasa dikriminalisasi, tentu sah-sah saja karena dijamin konstitusi dan kita apresiasi di negara yang demokrasi ini. Bahwa keluarga korban mendapatkan keadilan lewat putusan hakim agung di MA, juga kita hormati di negara yang menjunjung hukum sebagai keadilan tertinggi.
Pada intinya, negara menyediakan ruang-ruang keadilan atas ketidakadilan dan ketidakpuasan. Masih ada upaya para dokter (baca Ikatan Dokter Indonesia) mengajukan Peninjauan Kembali atas vonis MA tersebut sebagaimana yang diatur dalam Pasal 263 Ayat 2 KUHAP. Nah, kita biarkan proses itu berjalan sembari bercermin bahwa kasus dokter Ayu dkk. adalah cermin besar bagi bangsa ini bahwa kedepannya aturan tentang perlindungan hukum profesi kedokteran harus dibenahi.
Restorasi hukum
Perlu ada kesepahaman bahwa kasus-kasus dalam menjalankan praktik profesi kedokteran adalah hukum khusus (lex specialis) yang perlu ditangani secara khusus pula. Mengapa demikian? Karena mengurai hal-hal medis yang prosedural dan substansial tidak mudah begitu saja dipahami oleh polisi, jaksa maupun hakim perdata atau pidana umum. Harus ada putusan dan logika medis terlebih dahulu sebelum menjadi logika hukum. Itulah kenapa dalam UU No.29/2004 tentang Praktik Kedokteran memberi amanah yang mulia bagi Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) agar menjadi semacam “hakimnya” para dokter.
Itulah mengapa jauh sebelumnya pada tanggal 19 Oktober 1982, terbitlah Surat Edaran Petunjuk Rahasia Kejaksaan Agung No: B006/R-3/I/1982 tentang Perkara Profesi Kedokteran bahwa agar tidak meneruskan perkara sebelum konsultasi dengan pejabat Dinas Kesehatan setempat atau Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Melangkah lebih jauh di era milenium ini, juga terbit Putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/PVV-V/2007 bahwa sengketa medik diselesaikan terlebih dahulu melalui peradilan profesi.
Seharusnya tugas MKDKI yang menganalisis, apakah peristiwa buruk (adverse event) atau yang tidak diprediksi dalam menjalankan praktek profesi kedokteran adalah perbuatan pidana ataukah kecelakaan (misadventure). Artinya, lewat analisis MKDI jika terbukti ada perbuatan pidana karena dokter melawan hukum (anrechtmatige-daad), tentu saja ini jadi pertimbangan para hakim dalam mengambil keputusan, sehingga pasal unsur “kelalaian” dan “kesengajaan” tidak berdiri sendiri dalam kacamata hukum formil.
Jika ini dilakukan terlebih dahulu lewat proses sidang MKDKI sebelum peradilan umum, maka putusan hukum yang mencakup unsur keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zwechtmassigkeit) mendapatkan tempatnya bagi pencari keadilan.
Tetapi jika mau lebih cepat tanpa birokrasi berbelit-belit bahwa harus menunggu hasil putusan MKDKI sebelum direkomendasikan ke peradilan umum (atau dokter menjadi saksi ahli di persidangan), maka yang paling tepat adalah menghidupkan kembali wacana Peradilan Khusus Profesi Kedokteran yang dihapus dari UU No 29/2004.
Agak kontras memang ketika negara ini mempunyai peradilan khusus tentang Pajak, Niaga, Agama dan Hubungan Industrial, urusan “nyawa” manusia yang bersinggungan langsung dengan tugas profesi kedokteran tidak dimuat dalam sebuah peradilan khusus.
Harapan
Sebagaimana yang diamanatkan dalam asas dan tujuan UU Praktik kedokteran, bahwa pada dasarnya praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan keselamatan pasien, maka pada prinsipnya kita semua percaya tidak ada satupun dokter di dunia ini menjalani profesi mulia tersebut memiliki niat jahat (mens rea) untuk mencelakakan pasiennya.
Dokter yang mencuri, menjadi pengedar narkoba, membantu upaya terorisme ataukah korupsi pengadaan alat-alat kesehatan tentu tiada ampunnya dan patut kita kawal bersama proses penegakkan hukumnya karena disitulah unsur niat jahat yang sesungguhnya.
Kita juga tidak dapat memungkiri fakta bahwa dari sisi prosedural, hampir sebagian besar kinerja rumah sakit kita amburadul. Ingat, dokter bukan orang pertama yang ditemui pasien di rumah sakit, tetapi mulai dari proses “front office” untuk urusan administrasi sampai urusan kebersihan adalah sebuah mata rantai yang tak terpisahkan.
Sebagai masyarakat yang membutuhkan jasa dokter, maka kita juga dituntut berperan aktif membangun dialog dan komunikasi yang baik. Harus diakui, bahwa faktor komunikasi seringkali menjadi kendala terbesar antara dokter dan pasien. Harap diperhatikan, pada dasarnya obat dan pengobatan itu mengandung resiko yang tak terduga. Kalau kita sebagai masyarakat tidak aktif bertanya, tentu hal ini akan menimbulkan presepsi sendiri.
Kita semua berharap banyak pada para dokter yang menjalani profesi mulia ini dan pada mereka kita titipkan bahwa masih banyak masyarakat tidak mampu yang belum mendapatkan pelayanan kesehatan sebagaimana mestinya. Tugas kita juga bersama untuk mengingatkan mereka para dokter untuk bekerja profesional, teliti dan memegang prinsip kehati-hatian. Jangan lupakan juga (dan terus doakan), jasa para dokter yang diperbantukan di pedalaman-pedalaman Nusantara yang bekerja tanpa pamrih jauh dari hingar bingar keramaian kota.
Terakhir, semoga kasus dokter Ayu dkk. menjadi pelajaran berharga bagi kita semua bahwa kesehatan dan hukum itu sama pentingnya. Salam damai untuk Indonesia maju!
(Yustus Maturbongs, Asisten Muda Ombudsman RI *pendapat pribadi*)