Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Catatan Pasca-rekapitulasi 03: Saya Benci Orang Miskin

15 April 2014   19:14 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:39 115 0
Ini kisah dari seorang kawan yang namanya tercantum dalam kertas suara dalam pemilu legislatif 2014. Orangnya masih muda, belum menduduki puncak pimpinan di organisasinya namun telah diminta untuk mengisi daftar calon tetap di partainya.

Sebagai calon legislatif maka kawan itu berjuang secara maksimal agar perolehan suaranya baik. Semua dilakukan sendirian dengan bantuan sedikit orang yang secara sukarela bekerja sebagai tim pemenangan untuknya. Tidak ada sama sekali bantuan dari partai dan beberapa tokoh partai yang tadinya mengatakan akan membantunya ternyata juga tidak kunjung terealisasi.

Ketika mengiyakan sewaktu ditawari untuk menjadi calon legislatif, kawan itu berpikir positif. Dalam pikirannya pemilih sekarang ini cerdas, mereka pasti akan memilih calon-calon yang dianggap punya kompetensi yang baik, punya idealisme, muda dan bersemangat. Pangkalnya dari pemilu sebelumnya mereka yang dipilih ternyata mengecewakan, beberapa bahkan tersangkut kasus yang memalukan, mulai dari korupsi hingga perselingkuhan.

Inilah kesempatan kaum muda untuk tampil, menjadi terdepan untuk menyegarkan dinamika politik begitu keyakinan kawan saya itu. Keyakinan itu perlahan memudar ketika mulai masuk masa sosialisasi. Para petinggi partai menjadikan dirinya sebagai suruhan untuk memasang algaka di daerah pemilihannya. Sementara kawan saya itu tak mampu mencetak banyak algaka karena tak punya cukup dana.

Dia mencoba menghibur diri kalau algaka itu tak penting, yang penting justru pertemuan dengan masyarakat, pengenalan door to door. Maka ketika terkumpul cukup uang, sekedar untuk membeli konsumsi, teh kopi dan kue sederhana. Kawan saya itu mengadakan sosialisasi di salah satu kelompok warga.

Cukup banyak warga yang datang dan setelah basa-basi, kenalan sana sini serta mengungkapkan maksudnya untuk minta dukungan sebagai anggota DPRD, giliran masyarakat bicara. Tak disangka, tak dinyana masyarakat menyatakan secara blak-blakan. Warga bertanya apa yang kawan saya punya, apa yang kawan saya bisa bantu untuk warga. Sontak saja kawan saya terdiam, sebab yang dipunyai hanya visi, misi dan serangkaian rencana kalau duduk di DPRD nanti. Setelah warga tahu kalau kawan itu tak punya apa-apa, nampak jelas mereka tak bernafsu untuk melanjutkan pertemuan.

Setelah menceritakan semua kejadian itu, kawan saya mengatakan sebuah kalimat yang buat saya sangat mengejutkan. Perkataan yang sangat stigmatis, padahal selama ini dia tidak dikenal sebagai orang yang gampang menghakimi orang lain. Namun saking frustasinya maka dia melontarkan kata “Saya benci orang miskin sekarang”.

Namun kawan saya itu bukan orang yang mudah putus asa meski telah kecewa. Dia terus berupaya dan berusaha sejauh bisa. Namun nampaknya upaya yang dilakukannya sia-sia. Malam setelah pencoblosan ketika saya temui, wajahnya kuyu tak bersemangat.

Sebenarnya saya tidak ingin menganggunya dengan berbagai tanya tentang perolehan suara, takut kalau nanti dia marah atau tersinggung. Tapi kalau ketemu seorang calon anggota legislatif setelah pemunggutan suara, pertanyaan apa yang pantas dilontarkan selain bagaimana perolehan suaranya?.

Jadi apa boleh buat, saya tanyakan kepada kawan itu soal perolehan suaranya. Dan rupanya kawan saya itu sudah siap dengan pertanyaan itu, dari saku dikeluarkan catatan perolehan suaranya dari beberapa TPS. Jumlahnya tidak banyak sekitar seratusan suara. Kemudian saya tanya bagaimana dengan TPS lainnya, dia menjawab pasti tidak ada, karena dia tak pernah sosialisasi sampai disana.

Selain itu dia juga menjawab bahwa tak punya saksi di semua TPS, sehingga tak semua TPS bisa dipantau perolehan suaranya. Konon kata dia, para caleglah yang harus membiayai sendiri saksinya karena partai tidak menyediakan biaya untuk saksi.

Saya tak tahu harus mengatakan apa untuk membesarkan hatinya. Namun belum sempat merangkai kata, kawan saya itu mengatakan kalau dia tahu sejak awal proses pencalonan itu akan berjalan seperti ini dia tidak akan maju. “Tobat saya menjadi caleg”.

Saya iyakan saja kata-kata teman itu, walau dalam hati sebetulnya saya ingin membantah. Jadi caleg itu seperti candu, sekali nyaleg biasanya akan kembali mencalonkan diri sampai jadi. Dan sebetulnya kawan saya itu, bukan kali ini saja dia mencalonkan diri. Dan terbukti mesti tak jadi toh dia kembali mencalonkan diri dan tetap tidak jadi.
Selamat datang di lembar sejarah caleg abadi.

Pondok Wiraguna, 14 April 2014
@yustinus_esha

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun