Setelah jam, istilah digital kemudian dikenakan pada banyak produk lain, yang terkenal misalnya kamera digital yang juga merubah secara revolusioner kerja kamera sehingga tak perlu lagi rol film. Hasil jepretan juga bisa langsung dilihat lewat layar LCD yang disematkan dalam badan kamera. Dan tak butuh waktu lama kini hampir semua yang terkait dengan perangkat atau alat bantu yang diperlukan oleh kita bersifat digitalized.
Memasuki tahun 2000-an kita berada dalam era digital, segala sesuatu sudah berbau digital. Bahkan kemudian ruang yang paling terkenalpun disebut sebagai ruang digital. Peralihan dari jaman analog ke jaman digital tidak selalu mudah untuk kebanyakan orang. Muncul istilah ‘gaptek’ atau gagap teknologi untuk mereka yang ragu atau kesulitan mengikuti perkembangan jaman. Istilah ‘gaptek’ merujuk pada ketidakmulusan seseorang dalam melakukan migrasi dari jaman sebelumnya ke jaman baru. Dan benar sebagian besar dari kita adalah digital migrant.
Wabah digitalisasi kemudian menerpa wilayah informasi. Kini sebagian besar pertukaran dan pencarian informasi terjadi dalam ruang digital. Munculnya aplikasi sosial media baik dalam bentuk makro atau mikro blog memungkinkan terjadinya ledakan jumlah informasi bukan hanya dalam bentuk teks, melainkan juga audio, visual juga grafis. Media digital tumbuh sangat subur karena kini setiap orang dengan gadget dan koneksi internet bisa menjadi produsen informasi.
Aktor-aktor politik yang terinspirasi oleh keberhasilan Obama memanfaatkan internet, media sosial untuk kampanye dalam meraih kedudukan sebagai orang hitam pertama sebagai Presiden di USA, kemudian juga beramai-ramai mengarahkan ruang pencitraan, kampanye politik di dunia digital.
Dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta yang mengusung pasangan Jokowi Ahok, penggunaan media sosial, media digital untuk melakukan kampanye menjadi sangat menonjol. Tim pemenangan, simpatisan, relawan, pendukung dan lain sebagainya menggunakan sosial media, ruang digital untuk mewadahi ruang ekpresi dalam menyampaikan bukan hanya bentuk dukungan atau ajakan melainkan juga visi, misi dan juga program dari pasangan kandidat gubernur DKI waktu itu.
Trend itu terus berlanjut dalam pemilihan kepala daerah di tempat lain dan pemilu legislatif dimana banyak calon legislatif mengarap para pemilih potensial di daerah pemilihannya tidak semata-mata melalui jalur offline, melainkan juga jalur online lewat account media sosial. Kebanyakan yang dipakai adalah facebook dan twitter, namun ada juga yang melengkapi dengan blog dan situs berbagi video semacam youtube.
Dengan infrastrukur komunikasi yang kian membaik, pemakaian media sosial memungkinkan para kandidat untuk menyebar informasi secara lebih cepat dan lebih murah ketimbang harus mengiklankan diri di media mainstream seperti televisi, radio, majalah, koran dan tabloid.
Menjelang pemilihan presiden 2014, pemakaian media sosial, media digital oleh pasangan calon presiden beserta tim pendukung, pengusung, simpatisan dan lain sebagainya semakin menjadi pilihan yang terutama. Waktu sosilisasi dan kampanye yang tidak lama, dan jangkauan wilayah yang begitu luas tentu tidak memungkin para calon presiden beserta wakilnya bisa mengadakan pertemuan publik dan tatap muka di semua daerah.
Ruang digitallah yang kemudian diperebutkan agar sebaran wilayah dan jumlah penduduk yang terpapar informasi menjadi semakin meluas dan banyak. Tim calon presiden bahkan mempunyai pasukan khusus yang beraktifitas di sosial media untuk menyebarkan informasi tentang kandidat yang didukungnya.
Sayangnya kemajuan jaman dan medium komunikasi tidak selalu diikuti dengan kesadaran akan perlunya etika komunikasi. Warga internet atau kerap disebut sebagai netizen tidak selalu memperhatikan netiket. Di jaman tutur terkenal istilah “Mulutmu harimaumu”, maka di jaman sebagian besar percakapan terjadi lewat tweet atau kicauan maka muncul istilah “Tweetmu harimaumu”.
Memasuki masa kampanye, timeline twitter atau wall facebook memang banyak dihiasi ekpresi kekaguman yang berlebih terhadap calon yang satu dan kebencian yang berurat berakar pada calon lainnya. Tak heran jika kemudian berujar di twitnya “Kapan musim pilpres dan copras-capres ini berakhir”. Ucapan itu adalah ekpresi kejengkelan atas segala macam twit yang berseliweran di linimassanya yang dianggap tidak sesuai dengan kaidah kesopanan dan moralitas karena berisi banyak hujatan dan fitnah yang terbuka.
Ruang maya adalah ruang terbuka, ruang bebas yang memang berpotensi menjadi liar sekaligus brutal karena tak ada otoritas yang mampu mengendalikan secara total. Orang begitu berani menyebar kebohongan karena media sosial memberi ruang untuk account alter, anonim dimana si pemilik account tidak menampakkan jati diri yang sesungguhnya. Dalam lembaga penegak hukum ada divisi cybercrime yang sejak awal memperingatkan akan memonitor pergerakan informasi di sosial media. Namun sampai hari ini tidak terdengar ada seseorang atau account yang kemudian disoal karena menyebarkan informasi yang tidak benar, menfitnah dan menistakan seseorang.
Jaman baru selalu butuh kesadaran baru, netizen masih perlu mendidik dirinya sendiri dan juga orang lain agar mempunyai tata laku yang sesuai dengan adab. Dalam iklim yang sudah serba terbuka seharusnya apapun informasi yang akan disebarkan ke publik harus bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Karena jika tidak maka itu hanya akan menjadi sampah yang memusingkan bagi banyak orang.
Pondok Wiraguna, 2 Juli 2014
@yustinus_esha