Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Jangan Percaya Dongeng

2 Agustus 2014   22:14 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:35 179 2
Dongeng atau cerita tutur dari orang (lebih) tua kepada anak-anak, cucu, murid, keponakan dan lain-lain di jaman saya kecil adalah sebuah kelaziman. Bapak, ibu, Pak De, Pak Lik dan Kakek serta Nenek sering kali duduk di pinggir tempat tidur untuk bertutur menceritakan kisah sebagai penghantar tidur.

Kisah yang di dongengkan bermacam-macam. Mulai dari kepahlawanan, kisah tentang binatang, asal usul sebuah tempat sampai kisah masa lalu yang terkait dengan keluarga. Muatan semua cerita itu adalah pembelajaran mulai dari sejarah sampai dengan moralitas.

Tapi di jaman ini situasi seperti itu sulit lagi untuk ditemui. Tak banyak lagi orang tua mendongengkan cerita kepada anak-anaknya. Selain tak punya waktu lagi, kebanyakan orang tua juga tak lagi punya kisah untuk didongengkan. Anak-anak juga dengan mudah bisa membaca aneka dongeng itu sendirian, sambil tiduran. Dongeng telah banyak dibukukan atau bahkan difilmkan.

Persoalan lain, dongeng-dongeng tradisional juga tergusur oleh dongeng-dongeng global. Kisah-kisah yang berasal dari negara luar baik yang tradisional maupun yang imajiner karena dikemas lebih baik ketimbang kisah dan dongeng dalam negeri.

Yang lebih parah, mereka yang lebih tua, bukan hanya malas mendongeng melainkan justru kecanduan dongeng itu sendiri. Dongeng yang dituturkan lewat layar televisi lewat kemasan acara yang disebut dengan entertaintnews. Sebuah acara yang kini disiarkan bersaing dengan berita mainstreams mulai pagi, siang, sore, malam hingga tengah malam.

Layar televisi makin hari juga semakin dipenuhi dengan acara dongeng dengan kemunculan berbagai macam acara yang dijuduli sebagai reality show, variety show, bahkan talkshow sekalipun kini banyak yang tak lebih dari sekedar dongeng.

Fenomena dongeng semakin melingkupi atmosfer kehidupan ketika jagad sosial media kemudian dimasuki oleh para operator politik. Sosial media kini tak lagi menjadi tempat para kaum alay, lebay, narsis dan alter untuk berekpresi lagi, melainkan tempat para pejuang politik meraup pengaruh publik dengan aneka dongeng.

Dongeng di jagad sosial media menjadi begitu marak begitu pemilu tahapan pemilu presiden mulai bergulir. Ruang dongeng utamanya adalah twitter, yang hanya punya ruang terbatas untuk mewadahi ruang berkata-kata. Tak heran jika kemudian istilahnya adalah cuit atau kicau.

Tapi kini adalah jaman konvergensi, keterbatasan sebuah aplikasi bisa diatasi dengan aplikasi lainnya yang terhubung. Kumpulan kicauan bisa dijadikan bundel lewat chipstory, atau kicauan bisa disertai link entah itu gambar atau situs tertentu yang menyajikan informasi baik dalam bentuk teks, visual maupun audiovisual.

Ruang sosial media memberi kesempatan pada seorang pendongeng untuk mencipta banyak karakter dengan banyak account. Accountpun bisa disetel untuk berkicau secara reguler. Jadi sang pencerita meskipun tertidur, accountnya tetap bisa berkicau asalkan bahan sudah disiapkan.  Tak heran jika mereka yang kurang pengetahuan kemudian bertanya “Mbah, sampeyan tidak pernah tidur kah ... kok berkicau terus?”.

Dongeng terutama soal politik di sosial media sebenarnya sudah sampai pada tahap yang meresahkan. Makian, cacian, fitnah dan lain sebagainya terlalu banyak bertebaran. Dan otoritas yang berwenang untuk menangani hal semacam ini nampaknya kebingungan untuk mengatasinya. Ada yang beralasan bahwa mereka menunggu laporan, sebab tanpa laporan soal siapa yang dirugikan maka aparat tak bisa bertindak. Persoalannya soal mereka yang dirugikan bukan hanya pada orang per orang atau kelompok, melainkan juga bangsa ini secara umum. Jadi kalau kerugian yang ditimbulkan sudah mengancam bangsa mestinya tanpa laporanpun aparat harusnya bertindak, sebab tugas utama dari aparat adalah melindungi kepentingan bangsa.

Kalau ada peserta pemilu yang menuduh kecurangan pemilu itu sistematis, terstruktur dan massif, sebenarnya tuduhan yang sama juga bisa dikenakan kepada banyak account di sosial media yang juga memfitnah secara sistematis, terstruktur dan massif. Terlalu banyak account yang mengklaim bahwa sumber informasinya adalah A1 tanpa bukti, terlalu banyak account yang mencomot sana sini, menghubungkan ini dan itu untuk kemudian membuat kesimpulan yang diklaim sebagai sahih. Bahkan untuk mendukung aksinya mereka tega membuat situs-situs tertentu yang seolah-olah adalah situs berita.

Apa yang tersaji di sosial media dalam masa beberapa bulan terakhir ini sungguh mengkhawatirkan. Seorang kawan mengingatkan jangan-jangan ini adalah bentuk kegilaan baru. Kegilaan yang tersembunyi karena tidak nampak di jalur offline. Bisa jadi memang ini penyakit baru, seseorang yang sopan dalam pergaulan sehari-hari ternyata tak senonoh dalam kicauannya di media sosial. Seorang yang sangat hati-hati dalam percakapan tatap muka tiba-tiba menjadi sangat ceroboh di jagad dunia maya. Seorang yang sangat intelek di depan kelas, tiba-tiba kehilangan akal ketika berkicau di twitter.

Semoga fenomena ini bukan sebuah gejala yang permanen. Sebab jika kemudian menjadi permanen maka sosial media sebagai tempat saling berkabar, berbagi cerita yang menyenangkan, informasi yang mencerahkan akan menjadi tempat tersuram dan arena peperangan yang lebih panas dari perebutan lahan di tanah suci sana.

Dongeng itu memang penting, tapi yang lebih penting adalah jangan percaya begitu saja pada dongeng.

Pondok Wiraguna, 2 Agustus 2014
@yustinus_esha

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun