Sejatinya upaya untuk membawa persoalan perhitungan suara ke MK memang tidak boleh menjadi bahan olok-olok. Sebab itu merupakan satu-satunya langkah yang dimungkinkan dan harus dilakukan apabila tidak menerima hasil pemilu yang ditetapkan oleh KPU.
Hanya saja, olok-olok terhadap upaya konstitusional itu tidak muncul dari ruang yang kosong. Menenggok terhadap apa yang terjadi mulai dari saat calon presiden Prabowo Subianto yang tidak didampingi oleh calon wakil presiden mengadakan konperensi pers pada saat rekapitulasi suara di KPU. Pada saat konperensi pers, calon presiden menyebutkan menarik diri dari proses pemilu yang dianggap tidak bersih karena ada kecurangan yang sistematis, terstruktur dan massif. Calon presiden juga meminta tim saksinya yang berada di dalam kegiatan rekapitulasi suara untuk keluar dari ruangan.
Konperensi pers itu mengejutkan dan segera menjadi sebuah kontroversi. Masyarakat berdebat antara menarik diri dari pemilu atau hanya menarik diri dari perhitungan suara pemilu. Kubu calon presiden nomor urut 1 juga menyebut tidak akan menempuh upaya sengketa ke MK melainkan menempuh cara lain yang akan dicari kemungkinannya. Pada intinya semua keberatan yang dilakukan oleh calon presiden nomor urut 1 harus bermuara pada pembatalan pemilu, pemilu diulang kembali. Tafsir jauhnya, KPU diganti dan pasangan calon presiden/wakil presiden nomor urut 2 didiskualifikasi.
Namun KPU tetap mensahkan hasil rekapitulasi suara. Dan pemenang pemilu 2014 juga sudah ditetapkan oleh KPU. Dan penetapan ini jelas ditolak. Dengan penolakan ini maka calon presiden nomor 2 sudah ditolak dua kali kemenangannya, pertama kemenangan versi quick count dan kedua kemenangan versi KPU.
Alasan penolakan oleh kubu calon presiden nomor urut 1 terus bermunculan. Angka pelanggaran, pengelembungan suara, penambahan angka pemilih dan lain sebagainya silih berganti dengan angka yang berganti-ganti pula. Kubu presiden nomor urut 1 mengklaim mempunyai segudang bukti atas segala macam kecurangan yang dituduhkan baik terhadap KPU dan pasangan presiden nomor urut 2 beserta timnya.
Akhirnya keberatan dari pasangan nomor urut 1 dibawa ke MK. Sebelum membawa berkas gugatan ke MK, tim pasangan presiden nomor urut 1 menyatakan mempunyai bukti sebanyak 10 truk box. Yang ternyata tidak terbukti demikian. Bukti sebanyak itu tidak bisa dibawa karena konon katanya hilang. Selain itu muncul pemandangan aneh di sekitar gedung MK, dimana ada semacam ritual yang dilakukan oleh paranormal.
Muncul juga semacam ‘ancaman’ jika jalur MK tidak menghentikan laju calon presiden nomor urut 2 sebagai pemenang, maka koalisi merah putih dengan tanda garuda merah itu akan menghentikan melalui jalur legislatif. Koalisi merah putih menjadi koalisi permanen telah dideklarasikan.
Tibalah sidang pertama di MK yang didahului dengan semacam curhat dari calon presiden nomor urut 1 yang kali ini didampingi juga oleh calon wakil presidennya. Kali ini tuduhannya melebar, pemilu presiden 2014 dengan segala hasilnya menurut presiden nomor urut 1 hanya bisa terjadi di negara fasis, totaliter dan komunis. Seolah mau mengatakan ini adalah pemilu terburuk, bahkan lebih buruk dari pemilu di Korea Utara.
Atas semua argumen yang diajukan oleh calon presiden nomor urut 1, para hakim MK mengingatkan agar kesimpulan-kesimpulan ditarik dengan bukti yang akurat, bukan asumsi serta kalimat-kalimat bersayap. Tim hukum dari calon presiden nomor urut 1 diminta memperbaiki berkas tuntutannya.
Di luar gedung MK, gedung KPU nasional maupun daerah-daerah. Pendukung calon presiden nomor urut 1 juga melakukan aksi. Mengecam KPU yang tidak melakukan berbagai rekomandasi Banwaslu. Kubu calon presiden nomor urut 1 selalu mengingatkan agar jangan sampai ada tekanan dari para pihak terhadap independensi hakim MK. Namun ternyata ada pengerahan secara sistematis dan massif terhadap pendukungnya di seluruh Indonesia untuk menekan melalui aksi di gedung KPU dan MK.
Dalam sidang kedua lagi-lagi muncul drama. Disiapkan saksi yang jumlahnya ribuan. Saksi yang kalau didengarkan kesaksiannya akan butuh waktu tahunan untuk menyelesaikan sidang. Apalagi para saksi yang dihadirkan juga berkali-kali diingatkan untuk bicara dengan bukti, tidak ngelantur menembak kemana-mana, membawa nama-nama yang tidak ada dalam berkas tuntutan.
Drama akan terus berlanjut, episode sistematis, terstruktur dan massif berkembang menjadi ngelantur, spekulatif dan bombastis. Jadi pada siapapun yang mendukung atau bersimpati pada calon presiden nomor urut 1 janganlah merasa sakit hati, didzolimi dan lain sebagainya jika apa yang dilakukan kemudian justru menjadi olok-olok yang tidak sistematis dan terstruktur namun memang massif.
Pondok Wiraguna, 8 Agustus 2014
@yustinus_esha