Sebagai perokok, saya hormat pada apa yang dilakukan oleh para aktivis anti rokok. Mereka berkeringat bukan demi dirinya sendiri melainkan kesehatan bangsa ini. Sudah banyak upaya yang mereka lakukan, tanpa lelah dan hasilnya cukup lumayan dimana sekarang gambar rokok di coret makin banyak ditempel di berbagai dinding.
Saya sendiri sekarang kerap merasa – terutama jika di dalam ruangan – menjadi minoritas karena pingin merokok tapi dilarang. Mau nekat nanti dikira buta huruf. Jadi kalau benar tidak bisa menahan maka mesti mencari tempat, disudut sudut, pojokan atau ruang sempit yang membuat merokok justru seperti sedang menyiksa diri.
Meski belum secara significant mampu mengurangi jumlah perokok, jujur saja dalam masa sekarang para perokok sudah mulai terintimidasi oleh kampanye atau peringatan tentang bahaya merokok. Yang terbaru adalah dengan disertakannya gambar seram di setiap bungkus rokok.
Saya sendiri tidak terlalu terpengaruh dengan teror visual yang ada di setiap bungkus rokok itu. Namun ternyata banyak teman saya yang perokok mulai terganggu. Awalnya setiap kali beli rokok selalu memilih yang tidak ada gambar seramnya. Namun lama kelamaan rokok stock lama habis sehingga akhirnya mau tidak mau membeli yang berlabel teror visual.
Maka bertambahlah ritual setiap kali membeli rokok baru yaitu merobek bagian atas. Akibatnya kotak rokok yang dikantongi tidak utuh. Jadi ribet karena harus dikantongi di saku baju, sebab kalau dipaksa dikantongi di saku celana maka filternya bakal penyet.
Yang namanya orang Indonesia selalu mempunyai kiat untuk mengatasi aturan atau dampaknya. Pun demikian dengan teror visual yang ada di bungkus rokok. Pabrik rokok juga tak kehilangan akal dalam membantu pengemar rokok. Salah satu perusahaan misalnya mengeluarkan edisi khusus, dimana bungkus rokok diganti dengan semacam wadah yang mirip dengan dos rokok namun tak bergambar. Kotak kaleng yang eklusif itu kemudian menjadi penganti bungkus konvensional.
Tetap saja perokok harus membeli bungkus yang bergambar seram, namun isinya segera dikeluarkan untuk kemudian dipindahkan dalam wadah yang mirip bungkus rokok berbahan kaleng. Dengan demikian aroma dan keutuhan rokok tetap terjaga.
Keberhasilan para aktivis anti rokok untuk memaksakan teror visual di tiap bungkus rokok ternyata tak bertahan lama. Kini mereka mesti berpikir keras untuk mencari cara agar para perokok mengurangi konsumsinya.
Mungkin kembali menyuarakan agar pajak rokok dinaikkan, sehingga harga rokok menjadi lebih mahal. Asumsinya jika harga rokok mahal maka hanya yang punya uang dan perokok yang akan membeli rokok. Sayangnya asumsi itu tidak benar, karena biarpun naik tetap saja para perokok membeli rokok. Ibarat kata para perokok gemar berucap “Mahal, siapa takut!”
Toh sepertinya halnya mobil, ada yang premium ada pula yang disebut mobil rakyat alias mobil murah. Rokokpun demikian adanya, karena banyak pula rokok dengan merek-merek aneh beredar dan harganya jauh dibawah rokok-rokok ternama. Soal rasa itu nomor dua, sebab yang terutama adalah tetap ngebul.
Nah, mungkin para aktivis anti rokok mesti bertindak revolusioner. Mengusulkan agar rokok dikategorikan sebagai zat adiktif sekelas narkotika. Dengan demikian maka rokok adalah bahan terlarang. Masalahnya berani tidak pemerintah menetapkan rokok sebagai bahan terlarang?. Sepertinya tidak karena taruhannya besar. Bisa-bisa terjadi revolusi karena rokok.
Soal menetapkan rokok sebagai bahan terlarang itu sudah dicoba oleh institusi atau kelompok berbasis agama. Dan hasilnya justru pertentangan yang malah berpotensi untuk menimbulkan konflik atau friksi antar kelompok yang bahkan se-agama.
Sejauh saya tahu yang paling ampuh dalam menakuti perokok adalah dokter. Terbukti seorang teman yang bisa dikategorikan sebagai kereta uap, karena selalu mengepulkan asap, total bisa berhenti karena ultimatum dokter. Ceritanya ketika dirawat beberapa hari di rumah sakit, sang dokter berkata “Kalau tidak ingin kembali ke ruang ini, hentikan rokok”
Dan teman yang merasaa saat dibawa ke rumah sakit itu hampir mati, akhirnya tanpa ba bi bu langsung berhenti. Jadi seberani apapun, para perokok pasti tak akan menukar hidupnya dengan rokok. Dan otoritas yang paling berwibawa untuk mengatakan hal itu adalah dokter. Itulah kenapa hingga hari ini perjuangan paling berat yang harus saya hadapi adalah menghindari sakit dan dirawat di rumah sakit.
Pondok Wiraguna, 21 September 2014
@yustinus_esha