Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan Pilihan

Peran Guru Tergadai Bimbel?

21 Januari 2014   13:48 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:37 144 13
Memasuki semester kedua tahun ajaran 2013-2014 ini, bagi siswa-siswi yang berada di kelas 6 SD, 3 SMP dan 3 SMA mulai menghadapi tekanan menjelang diadakannya UN 2013 (yang konon merupakan UN terakhir). Berbagai latihan pengerjaan soal-soal UN, mulai marak juga diadakan di sekolah, dengan beraneka rupa namanya : try out, pengayaan, bimbingan pelajaran, les tambahan dan sebagainya.

Yang paling fenonemal, barangkali adalah bermunculannya lembaga-lembaga bimbingan belajar di luar jam sekolah. Tengoklah lembaga-lembaga ini di kota Anda : lembaga bimbel seperti ini senantiasa dipenuhi siswa-siswi yang hiruk pikuk mempersiapkan diri untuk UN. Dan, masuk ke lembaga-lembaga bimbingan ini tentunya dengan ongkos yang tidak sedikit.

Yang kemudian menjadi pertanyaan : mengapa anak-anak kita tersebut menjadi tidak percaya diri menghadapi UN? Bukankah melalui guru-guru di sekolah, anak-anak telah mendapatkan bekal yang cukup untuk kesiapan UN? Benarkah sudah cukup? Benarkah guru-guru anak-anak kita ini telah berkomitmen mendidik anak-anak itu? Apakah keberhasilan pendidikan hanya dilihat dari UN saja?

Nampaknya, bahwa pendidikan adalah proses telah lama diingkari. Pendidikan tidak sekedar lolos dan lulus menempuh UN. Pendidikan merupakan proses panjang, sehingga hasilnya tidak segera dapat dilihat. Sementara itu, pendidikan di Indonesia justru mengabaikan proses tersebut, pendidikan belum mampu menghubungkan teori-teori normatif dengan kehidupan nyata, sehingga individu yang muncul bukan individu-individu yang mampu memiliki pemahaman tentang realita kehidupan dan mampu mengambil keputusan, tentu saja sulit dihasilkan pemikiran-pemikiran baru yang inovatif, karena pemikiran mereka lepas dari realita dan kehidupan nyata. Adalah merupakan sebuah bencana, apabila generasi muda kita tidak memahami kebutuhan masa depannya. Hal ini terjadi karena mereka tidak sensitif terhadap kondisi lingkungan, mereka tidak pernah memperhatikan perubahan dan mereka menjadi sangat tidak memahami kecenderungan perubahan. Akibatnya pada jangka panjang menjadi disorientasi; mereka terjebak pada hal-hal yang bersifat trend, mode dan iklan-iklan industri yang bersifat persuasif-komersial dan hedonis, tentu saja demi kepentingan kapitalis. Generasi yang demikian tak mungkin untuk berpikir untuk masa depannya, apalagi bangsanya. Bilapun ada, hal itu karena lebih sebagai hasil didikan keluarga ataupun person-person yang peduli pada nasib generasi penerus yang jumlahnya hanya segelintir.

Saat ini, generasi muda tidak memiliki panutan dan dasar-dasar nilai, akibatnya dalam kehidupan generasi muda, budaya yang berkembang sangat didominasi oleh budaya kapitalisme, budaya pasar, budaya konsumtif, budaya terabas, budaya instan, budaya status simbol. Proses dan pemaknaan atas kehidupan menjadi tidak dikenal lagi dalam sebagian besar dunia pendidikan. Fenomena plagiat, pelayanan pembuatan skripsi, paper, laporan studi tur bahkan disertasi menjadi peristiwa lumrah, tanpa kita paham makna dari lumrah itu apa. Dalam situasi yang demikian, target dan birokrasi administrasi menjadi lebih penting dibandingkan dengan makna tujuan pendidikan itu sendiri.

Demikianlah menjadi keprihatinan bersama, bahwa selama ini ada yang keliru dalam memahami proses panjang tersebut. Jalan pintas untuk cepat dan segera meraih kesuksesan (yang kadang definisi kesuksesan ini pun juga semu) menjadi budaya yang semakin mengakar.


KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun