Mohon tunggu...
KOMENTAR
Humaniora

Bang Hers

20 Mei 2015   10:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:48 49 0

Saya tercenung sejenak. Serasa akrab sekali dengan kalimat yang ditanyakannya itu. Astaga! Itu judul tulisan saya di Bandung Pos, awal tahun 80-an. Berselang 20-an tahun!!. Itu features mengenai leuweung Sancang di Garut Selatan.

“Klipingnya masih ada di perpusatakaanku, tuh! Juga tulisan-tulisanmu yang lain,” katanya sambil menyebut beberapa judul tulisan saya yang kata dia ada di koleksi klipingnya di rumahnya. Masyaallah, betapa tersanjung, sekaligus malu saya waktu itu.

Bayangkan, wartawan besar sekaliber Her Suganda, mendokumentasikan tulisan ecek-ecek karya wartawan boloho seperti saya. Sambil terkekeh, dia pun menunjuk hidung saya, “kamu sendiri pasti gak punya kliping tulisan sendiri, ya? Pasti itu!!” dan saya makin menciut.

Saya yakin, beliau menyimpan berbagai tulisan karya para penulis dan karya para jurnalis lain yang menurutnya patat disimpan. Pernah pula dia mencari-cari saya hanya untuk minta berkas-berkas makalah dari sebuah seminar. “Jangan buang apa pun bahan tulisan. Suatu saat pasti berguna,” katanya.

Perkenalan saya dengan Bang Hers, terjadi di lapangan. Terus terang, sebagai orang yang sedang magang, belajar jadi jurnalis, saya menjadikan Kompas sebagai patokan. Saya mengagumi berita dan tulisan-tulisan Bang Hers karena kekuatan fakta dan caranya menyampaikan.

Sebelum berjumpa dengan sosoknya, saya sudah mengagumi wartawan kompas berinisial “hers” itu. Pertama, karena inisialnya berbeda sendiri. Rata-rata, inisial wartawan Kompas ditulis dalam tiga huruf. Nah, ini empat huruf.

Kedua, ragam berita dan features yang ditulisnya, luar biasa luas dan kaya. Selain itu, saya menilainya sebagai wartawan yang sangat produktif. Pernah, suatu hari saya baca, ada lima berita berinisial hers, dalam satu halaman (daerah) sekaligus.

Tak istimewa kalau hanya dari satu daerah. Tapi hari itu saya baca date-line beritanya dari empat daerah. Indramahyu, Cirebon, Subang, dan Karawang! Rentang jarak yang amat panjang dari timur ke barat di pantai utara Jawa Barat.

Kalau hari-hari ini, ketika komunikasi kian mudah, tentu tidak terlalu aneh. Saat itu, boro-boro internet, faksimil saja masih belum begitu populer. Sambungan telepon, di beberapa tempat malah belum ada.

Belakangan diketahui, Bang Hers menyusuri jalur itu dengan vespa tuanya. Saat naik vespa itu pula beliau pernah keserempet bus di Cadaspangeran, Kabupaten Sumedang.

Sekali waktu ada jumpa pers di Gedung Sate. Saya hadir. Seorang teman berbisik sambil menunjuk ke arahnya. “Tuh, itu yang namanya Her Suganda, dari Kompas,” katanya. Beu! Ternyata orangnya biasa saja, malah perawakannya termasukl “kecil”. Saya kira sosoknya tinggi besar, brewokan, sangar.

Saya ragu untuk mendekat. Wartawan Kompas gitu lho! Saya ini apalah. Sebelum jumpa pers usai, dia sudah beringsut duluan. Menyelinap keluar. Maka saya pun mengikutinya. Dan dengan perasaan tak karuan, saya memberanikan diri mengejar dan memperkenalkan diri.

Belakangan saya menyadari, Bang Hers seringkali meninggalkan arena jumpa pers sebelum selesai, lebih untuk memelihara integritas tanpa menyinggung orang lain. Ya, hampir dipastikan, tiap selesai konferensi pers, penyelenggara akan bagi-bagi amplop! Jadi, daripada repot-repot menolak atau mengembalikan di tengah orang banyak, lebih baik cabut duluan, menghindarinya.

Sejak itu, saya selalu mencari kesempatan untuk sekadar berbincang jika kebetulan bertemu di tengah peliputan. Asal ditanya, dia senang berbagi.  Tapi, mobilitasnya dan kecepatan bergeraknya memang sulit dikejar. Seringkali, begitu ada kejadian, dia paling dulu mencapai dan mengeksplorasi lokasi.

Saya merasa bangga sekali, ketika suatu saat selesai dari sebuah liputan ditawari dia untuk membonceng motornya. Kami singgah di kantornya, nyelip di belakang toko buku Gramedia di Jalan Merdeka, Bandung (kini jadi Gramedia “mall” yang ramai dan megah).

Sekali waktu, pernah saya lihat dia dengan vespanya meluncur di jalan Merdeka Bandung menuju Gramedia, ia membonceng seorang pria berpantalon warna gelap, kemeja lengan panjang warna khaki, berkacamata lebar berdasi motif garis-garis diagonal, memangku sebuah tas echolac. Pak Jakob Oetama!

Saat Galunggung meletus 5 April 1982, misalnya. Saya merasa sudah sampai ke perkampungan yang paling dekat dengan titik letusan. Eh baru saja masuk ke kampung yang sudah ditinggalkan penduduknya itu, muncul Bang Hers dari dalam kampung yang sebagian tinggal puing.

“Payah lu, kalah sama orang tua...!” ejeknya sambil terkekeh lalu memberi petunjuk apa-apa saja yang masih tersisa di dalam sana, dan rute mana yang relatif lebih aman. Sementara kami berbincang, tiba-tiba dari arah kampung berderap seekor kerbau, diikuti seorang lelaki yang gopoh-gapah menggapai talinya.

Jalan yang kami pijak berdua hanya pematang yang sudah berlapis pasir. Bang hers mendorong saya agar tidak terlanggar kerbau. Dia sendiri jatuh terperosok ke sawah di bawah kami. Sang kerbau melintas dengan sentausa. Hebat sekali. Wartawan Kompas, menyelamatkan wartawan ingusan, dan rela mengorbankn dirinya kecebur ke sawah.

Masih di tengah liputan bencana, suatu kali, saya sedang beristiriahat di sebuah kedai, selesai meliput dan dalam perjalanan pulang ke Bandung. Bang Hers muncul kemudian di kedai yang sama, tampak lelah dan wajahnya penuh debu jalanan. “Wah kamu ngebut, saya sampai repot mengejar. Ini kayaknya notes kamu ya...?”

Hah! Saya menerima notes berisi aneka catatan hasil liputan di lapangan. “Kalau gua buang, mati kau!!” katanya sambil terkekeh. Rupanya, catatan saya terjatuh entah di mana, dan Bang Hers menemukannya. Repot-repot dia mengejar saya.

Lagi-lagi astaga! Seorang wartawan besar yang dikagumi dan disegani begitu banyak orang, begitu punya perhatian pada “wartawan kencur” kayak saya, cuma dari media lokal yang kecil.

Saya sudah “magang” membantu redaktur mengelola halaman remaja dan budaya di Bandung Pos, ketika suatu hari Bang Hers menelpon. Intinya mengabari saya tentang sebuah proyek koran daerah. Jika tertarik, dia menyarankan saya membawa lamaran ke sebuah alamat di Jakan Gatot Subroto Bandung.

Pada hari yang sudah ditetapkan, saya dimita datang. Rupanya, hari itu proses rekrutmen, wawancara. Saat tiba di tempat itu, ternyata sudah ada beberap yang saya kenal, yakni mereka yang biasa mengirim esai, cerpen, dan sajak, ke halaman yang saya bantu mengasuhnya di Bandung Pos, di antaranya Agus Hadisujiwo Tedjo yang kini jadi seniman kondang, Giyarno Emha, Djahar Muzakir Saad dan Taufik Abriansyah.

Akhirnya kami sekantor, di harian Mandala, yang waktu itu pengelolaannya diserahkan ke Kompas Gramedia lewat PT Indopersda Primamedia (Persda - kini Tribun). Sayang sekali, kerja sama itu pendek. Sekitar sembilan bulan saja. Bubar.

Kami pun berpisah lagi. Bang Hers tetap di Bandung, saya dan teman-teman beredar ke berbagai tempat dan media. Juga ada yang beralih ke profesi lain. Sebagian di antaranya masih berkarya di media.

Tanggal 16 Mei 2015, kang Cecep Burdansyah, Pemimin Redaksi Tribun Jabar, mengirim pesan singkat mengabarkan bahwa Bang Hers dirawat di RS Immanuel, Bandung. Dua hari kemudian, kabar itu datang. Bang Hers telah pergi.

Innalillahi wainnailaihi rojiun.

Selamat jalan Bang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun