Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Menyentuh Pipi Ahmadinedjad

9 Januari 2010   10:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:33 337 0

SAYA merasa beruntung karena pernah menyentuh pipi Ahmadinejad kemudian menyentuh janggutnya. Saya hendak menciumnya, namun tak kuasa karena semua orang di sekitarku hendak menciumnya pula. Namun saya sungguh bahagia karena bisa menyentuh pipi pria yang --konon katanya-- adalah manusia yang paling dibenci Amerika Serikat.

Saya ingin mengisahkannya secara singkat. Suatu hari di tahun 2006, saya ditugaskan seorang redaktur di Palmerah untuk meliput kedatangan Presiden Iran itu di Jakarta. Agendanya cukup padat. Mulai dari menjadi pembicara seminar di UIN Syarif Hidayatullah, kunjungan ke Muhammadiyah, NU, hingga salat Jumat di Istiqlal. Saya tak bisa mengikuti semua acara itu. Saya hanya mencegatnya di Masjid Istiqlal, Jakarta.

Saya membayangkan suasana keprotokoleran yang ketat seperti halnya ketika Presiden SBY atau Wapres Boediono berkunjung. Ketika mereka melintas, maka barisan paspampres akan melindungi mereka dari segala sisi, seolah mereka adalah sosok yang harus steril dari manusia jelata di sekitarnya. Saat itu, saya juga membayangkan ketatnya orang di sekitar Ahmadinejad yang akan melindunginya seperti yang saya rasakan ketika meliput pembebasan Abu Bakar Ba'asyir di LP Salemba. Semua orang sekitar Ba'asyir melarang jurnalis mendekati sosok itu. Ketika sejumlah wartawan bule hendak wawancara, maka para santri yang mengelilingi Ba'asyir langsung berteriak, "Mister.. don't touch..." Dalam hati saya bergumam, siapa sih yang mau nyentuh?'

Makanya, saya agak ogah-ogahan disuruh meliput Ahmadinejad. Namun, semua bayangan itu sontak buyar ketika saya melihat langsung sosok pria itu. Sosok itu tidak seberapa tinggi. Pakaiannya cuma kemeja putih dengan jas lusuh. Ia berjalan diiringi sejumlah orang. Ada yang berpakaian ulama yaitu baju panjang dan penutup kepala seperti Ayatullah Ruhullah Khomeini yang menggetarkan itu. Sementara yang lain berpakaian seperti dirinya. Saya memperhatikan, ia hanya dikawal oleh dua orang muda berusia sekitar 35 tahun. Dua anak muda gagah itu berpakaian jas dan ketika semua orang salat Jumat, mereka tidak ikut salat, namun berdiri di sisi mihrab khatib, kemudian memandang lurus ke semua jamaah.

Bersama para jurnalis lainnya, saya berdiri di sisi kanan masjid. Saya menyiapkan kamera dan beberapa kali memotretnya ketika salat belum dimulai. Masjid Istiqlal luar biasa penuh dengan ribuan jamaah yang datang dari berbagai penjuru Jakarta. Masjid terbesar di Asia Tenggara itu jauh lebih padat di banding biasanya. Saya melihat ratusan anggota FPI ikut salat Jumat sambil mengenakan pakaian khas mereka yaitu baju putih-putih, kopiah putih, serta lambang FPI yang hijau itu. Saya juga melihat ratusan orang yang memakai baju dengan gambar Ahmadinejad atau Imam Khomeini. Malah, ada yang mengenakan baju dengan gambar Imam Husain yang tewas secara mengenaskan di Padang Karbala. Ahmadinejad adalah magnet bagi mereka.

Saya mengira ia akan salat dengan posisi tangan yang tidak bersedekap sebagaimana salat dalam mazhab ahlul bayt. Ternyata ia salat dengan posisi tangan tetap bersedekap sebagaimana para pengiringnya. Usai salat Jumat, saya mengamati bagaimana ia berdoa sembari sesunggukan. Di masjid yang besar itu, pria Persia --yang sebelumnya berprofesi sebagai dosen itu-- bermunajat diiringi bulir-bulir tangis yang lembut turun dari sela-sela matanya. Saya terharu.

Usai berdoa, ia lalu berdiri dan hendak beranjak. Namun ribuan jamaah di masjid itu tiba-tiba berteriak "Allaaaaaahhuuu Akbar....!!!! Allaaaahhhuu Akbar...!!!! Speech....!!! Semuanya histeris dan menyuruh Ahmadinejad berbicara. Masjid itu bergemuruh ketika ribuan suara di masjid itu berteriak menyebut namanya. Saya belum pernah melihat orang-orang histeris menyebut nama seseorang hingga histeris. Jika ini terjadi di Iran, mungkin wajar saja. Namun ini justru terjadi pada sebuah negara yang jaraknya ribuan kilometer dari kampung halaman. Negara yang belum pernah digemparkan oleh revolusi Islam, negara yang tidak merasakan langsung bagaimana para mullah memimpin negeri dengan fatwa yang menggetarkan. Negara yang masih mendambakan ada revolusi yang kemudian memutus sejarah kelam yang digoreskan beberapa rezim di situ.

Saat melihat antusiasme yang meluap-luap itu, Ahmadinejad lalu mengambil mike dan berbicara. Semuanya kembali gemuruh. Ia berpidato dalam bahasa Persia yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Sorot matanya tegas saat berpidato dengan sedikit berteriak. Saya tak bisa mendengarkan dengan baik apa kalimatnya. Setiap ia berbicara, masjid itu kembali gemuruh dengan teriakan histeris semua orang-orang yang mengelu-elukannya. Semuanya mengepalkan tangan ke udara sambil meneriakkan Allahu Akbar!!! Hari itu Ahmadinejad adalah bintang bersinar yang seolah menjadi jawab atas kerinduan semua orang tentang sosok sederhana yang mendedikasikan hidupnya hanya di jalan Tuhan demi menerabas kelaliman. Hari itu saya menyaksikan seorang pahlawan yang setiap kata-katanya adalah getar yang dirindukan dengan dahsyat di sanubari mereka yang terbiasa mengenyam nestapa, mereka yang dalam dirinya ada keinginan kuat yang menggebu untuk melihat agama dibumikan dalam semangat perlawanan pada angkara murka. Pria itu seolah suara masa silam yang berani dan menuding mereka di masa kini yang menyimpang dari jalan Tuhan.

Ia berpidato hanya sekitar sepuluh menit. Saya lalu bergerak bersama jamaah dan merangsak maju hendak menyentuhnya. Ia berhenti sesaat dan mengizinkan orang-orang mencium pipi dan menyentuh janggutnya. Ini momen luar biasa bagiku. Saya ikut merangsak hingga menyentuh pipinya. Saya menyentuh janggutnya yang basah karena menangis saat melihat semua orang mendekat. Saya ingin mencium pipinya. Tetapi semua orang di situ langsung memeluknya. Segera pengawalnya membawa pria itu keluar dari histeria massa. Ia lalu pergi sambil tak henti melambai. Saya terduduk sambil menciumi tanganku yang tadi menyentuhnya. Di saat Ahmadinejad menjauh, saya terngiang kalimatnya kepada Presiden Bush. Sebuah kalimat yang bergema hingga ke berbagai relung hati. “Tuan Presiden, Tuan mungkin tahu saya seorang guru. Murid-murid saya bertanya bagaimana tindakan-tindakan [Amerika] dipertautkan dengan nilai-nilai…yang dibawakan Yesus Kristus, nabi perdamaian dan permaafan….” Pria ini bicara tentang ajaran cinta Kristus dan bagaimana ajaran itu seakan lenyap di masa kini.

Kalimat pria itu menggoreskan sesuatu di hatiku. Ketika ia pergi, semua anggota FPI dan jamaah lainnya langsung berdemonstrasi di Kedubes Amerika. Saya hanya bisa memandangi mereka. Saat itu, saya rasakan ada sesuatu yang basah di pipiku. Ternyata, mataku ikut basah.(*)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun