Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Sang Penjinak Waktu

21 November 2021   12:00 Diperbarui: 21 November 2021   12:11 53 0
“Diktator” sejati itu bukan manusia. Tapi, waktu. Dalam waktu ada takdir. Kini, orang boleh bertanya, apakah waktu itu berada di luar diri kita atau malah di dalam diri? Waktu yang berada di luar diri selalu disebut sebagai waktu vulgar (lalu, kini dan nanti). Tanyalah kepada seseorang; apa itu waktu? Dia akan menjawab ke sebentuk piranti; arloji, kronometer, kalender, ikon waktu dalam handphone atau komputer. Ingin lebih alami?; orang akan menunjuk peredaran matahari dan rembulan, pasang naik air laut. Itulah waktu yang berada di luar diri. Bagi Iqbal (sang filsuf dan penyair), waktu yang dibagi-bagi menjadi lampau, kini dan nanti sejatinya berjalan bersamaan. Masa lampau tak terletak di belakang, tapi berjalan bersama di masa kini. Begitu pula, masa depan tidak terletak di depan masa kini, kemudian baru dijalani. Masa depan baru ada, ketika dia hadir dalam sifat sebagai suatu kemungkinan yang terbuka. Maka, bagi Iqbal, waktu yang disoroti sebagai satu keutuhan organik itulah yang disebut dengan takdir. Sehingga, takdir adalah waktu yang dilihat sebelum terungkapnya kemungkinan-kemungkinan. Namun, bagi Derrida orang harus menjinakkan diri dengan sesuatu yang tak mungkin: “Mulailah dari yang tak mungkin”, ujar dia. Apakah ini sebagai upaya mengelak atau menghindari takdir?  Malah sebaliknya, melakukan “konstruksi takdir” yang baru? Rekayasa takdir? Entahlah.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun