Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat

Mendaki

2 Agustus 2012   01:09 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:20 133 0
Jiwa yang mendaki langit. Sekecil apapun pendakian itu, dia menjurus pada titik vertikal. Di sini terhidang garis naik dan turun. Al Furqan diturunkan, sekaligus gambaran simbolis tentang gerak titik yang vertikal dari atas ke bawah. Dalam persepsi segenap kebudayaan manusia, sesuatu yang berada di atas, mewakili kenyataan dan fenomena tinggi, bercahaya, surgawi, alam malaikat, atau sesuatu yang mewakili arasy supra human (mengatasi manusia). Sepanjang sirah penurunan wahyu Allah itu, maka dia dira’i atau dimajeliskan pada sebuah bulan yang memuliakan gerak vertikal atas-bawah ini dengan cara berpuasa; alias jatuh pada bulan Ramadan. Dan bulan ini menjadi sesuatu yang ‘dipilih’ atau pun ‘memilih’.

Mendaki ialah sebuah pilihan dari sekian jamak keputusan, sepanjang persuaanmanusia dengan segenap gempita kehendak dan dorongan pribadi. Dorongan pribadi, secara ranah pengetahuan dikaji oleh rumpun ilmu Psikologi yang secara suka tak suka adalah penjumlahan dari sekian banyak faktor-faktor bawaan-instinktif dan faktor situasional. Tradisi Leipzig dan Boston dalam mazhab Psikologi menghasilkan istilah Psikologi sosial dengan P besar, dan psikologi Sosial dengan S besar, menggambarkan bancuhan itu. Dua kenyataan ini berbancuh hebat pada sebatang instansi tubuh manusia, termasuk ihwal demi dan untuk menjelaskan fenomena pendakian jiwa. Gempita pendakian itu, berdimensi sukacita. Dan manusia tak tahan menikmati sukacita itu secara bersendirian, maka manusia ingin berbagi; kisah, cerita, rasa, pengalaman, sehingga menjadi serangkaian narasi yang mengikat sejumlah individu dalam sekelompok orang.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun