Di tanah Britania (tanpa Raya), lewat kesadaran tinggi mengenai kehadiran kalender bangsa ini, mereka membangun kesadaran dunia, tentang “siapa kita”. Di tanah Britania ini, lahir seorang besar dalam dunia literasi dunia; Shakespeare. Tapak rumah pujangga agung ini terpelihara hingga kini. Dia didatangi orang berlaksa-laksa sepanjang tahun berjenang. Kota itu bernama Startford. Kota ini, gambar alegoriknya dibingkai molek menjadi: “beautiful situated on the River Avon, this small historic town is internationally renowned as the birthplace of William Shakespeare…”. Kemudian ada beberapa kota pusaka (heritage cities) seperti Bath yang menjadi sangkar karya arsitektural Roman dan Gregorian, kota di sempadan antara England dan Scotlandia bernama Carlisle. Begitu pula kota pusaka lainnya, Chester. Dan yang paling mudah dikenang di serata dunia adalah Oxford dan York.
York, ibukota spiritual belahan utara England selama 2000 tahun. Kota ini menjadi pusar berkumpulnya segala warna sejarah peradaban yang ikut melukis Britania yang sangat kaya dan ranggi. Ada pengaruh Roman, Viking, Georgorian, dan warisan Erdwardian. Kemudian Oxford, sebuah nama besar. Dan mereka yang merasa sebagai alumni kota ini patut berbangga; melekat di tubuhnya sebagai orang terdidik (well educated). Ini sebuah kota yang unik, dan tiada taranya di permukaan bumi: “A first glance shows that it is unique, with mellow beauty and architectural elegance crowned by the glory of the ‘dreaming spire’…”. Universitas Oxford, inti jagadnya adalah Bodleian Library yang dibangun pada 1427. Dan perpustakaan ini menjadi pustaka rujukan riset utama di seantero negeri bahkan dunia.
Di tanah England ada tujuh kota yang ditabal sebagai kota pusaka. Dia menghadir dalam kecemerlangan masa, tiada redup, malahan ikut mempengaruhi London, Manchester, Southhampton, Swansea untuk meratibkan segala apa yang pernah ditinggalkan bangsa ini; sebagai penanda bangsa yang tua, bangsa perawat dan mengindah sejarah. Dan nyatanya, lewat dentuman ‘mengindah sejarah’ kota-kota pusaka inilah, muncul gelombang ekonomi yang menggairahkan dunia hari ini bernama industri kreatif. Dia menjadi selasar depan wisata berbasis budaya, entropi ikutannya bernama industri kreatif yang digiatkan oleh Perdana Menteri Inggeris. Dan industri ini menjadi wabah sekaligus baksil demi memberi ‘rasa dan pengalaman’ kepada para wisatawan. Para pelancong tidak lagi datang dalam jumlah massal, dilayani angkutan massal bus, berhenti di suatu tempat, lalu berfoto bersama, mandi matahari dan mencoklatkan tubuh sebagai cendera mata untuk dibawa pulang negeri sub tropis. Pelancong bertindak sebagai ‘prosumen’: produsen sekaligus konsumen di ranah wisata berbasis budaya dan industri kreatif. Dan beginilah kiat bangsa tua mengarifi sejarah pada sepenggal zaman.
World Heritage Day jatuh pada 18 April. Bagaimana kita mengadili kehadiran “Hari Pusaka Dunia” yang telah masuk ke tahun yang ke-40 ini? Maka, Indonesia menyambut dengan gegap gempita. Bahwa tajuk atau tema Kota Pusaka adalah satu dari sekian banyak pengungkit ekonomi bangsa. Dia berdampak pada nafsu membangun yang mengarah pada keberlanjutan sumberdaya. Pembangunan berkelanjutan tergambar dari kesetiaan sebuah bangsa dalam merawat sesuatu yang ada dan pernah ada. Tema konvensi tahun ini, Pusaka Dunia dan Pembangunan Berkelanjutan: Peran Orang Tempatan.
Nah bagaimana kota dan kabupaten se-Riau melakukan balas pantun terhadap kenyataan ini? Sadarkah kita, bahwa kita adalah bagian dari warisan dunia, malah yang memberi warisan kepada dunia? Titik dan tapak mana saja yang harus dikepung dan dikandang untuk memberi penanda kepada dunia, bahwa kita temasuk dalam barisan panjang tua peradaban dunia yang matang dan ikut bergairah mengindah sejarah. Sebuah tapak di Gorontalo, mereka muliakan sebagai tapak Kota Pusaka atau Kota Warisan melalui penanda “pendaratan pesawat Presiden RI pertama, di atas sebuah danau”. Pesawat amfibi yang ditumpangi Presiden Soekarno, dan gedung sebagai ruang tunggu itu masih terawat hingga kini. Dan mereka tabal sebagai satu tapak Kota Pusaka di tanah Sulawesi.
Riau yang kaya dan memiliki tapak tua itu, tentu lebih sanggam tampil dan hadir dengan khazanah bernama tapak Sintong, tapak Muara Takus, Kampar Pekantua, diikuti tapak gemilang di awal era Melayu modern zaman sultanat bernama Siak. Kota Bengkalis dan Bagan Siapi-api, Rengat dengan tapak tua Chinese Town, Little India dan Little Holland, Arab Headquater. Tapak-tapak ini harus didatangi dengan teks besar dan bersenyap-senyap. Bukan ditingkahi dengan pengadaan proyek gegap gempita melalui serangkaian kenduri para paduka, yang hanya mengering rasa dan renjana.
Pekerjaan ini harus dijalani dengan mengesampingkan popularitas dan bergaya di atas panggung melalui citra tokoh dan menokohkan diri. Hari ini, betapa banyak tokoh kita yang melantik dirinya sendiri sebagai tokoh di era zaman gajah, yang memang tak diperlukan lagi kehadirannya di tengah gemuruh kehidupan modern Melayu. Mereka takut kehilangan panggung dan tetap ingin ‘bermain teater’ sepanjang hayat. Godaan-godaan ini hendaklah diperkecil demi melayani agenda besar untuk melahirkan tradisi “mengindah sejarah” lokal melalui kehadiran dan serangkaian kota-kota pusaka di tanah Riau. Sampai hari ini, dari 480 lebih kabupaten kota di Indonesia, baru 48 kabupaten/kota yang mengajukan diri memiliki kota pusaka dan mengawalnya melalui tata ruang. Bahwa kita bisa hidup bahagia dalam ruang-ruang sosial yang mengaitkan salah satu cantolannya ke masa lalu. Sebuah cara menghindar untuk tidak disebut sebagai bangsa yang masih muda dan hilang ingatan.***