Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

G30S: Mayat-Mayat itu Mengalir di Bengawan Solo Ledok Kulon Bojonegoro

4 Oktober 2024   22:24 Diperbarui: 5 Oktober 2024   00:10 65 0
PEMBANTAIAN orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI) dan terduga PKI mulai akhir 1965, terjadi di banyak daerah. Salah satunya, di Kabupaten Bojonegoro.

Sungai Bengawan Solo yang melintasi Kabupaten Bojonegoro, menjadi saksi fenomena genosida yang bermula dari peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G30S di Jakarta tersebut.

Tengaranya, orang-orang PKI dan tercap PKI yang dibunuh pada waktu itu, jasadnya dibuang si pembunuh di Bengawan Solo. Jasad mereka pun mengambang dan mengalir di sungai itu.

Samijah, warga Kelurahan Ledok Kulon, Kecamatan/Kabupaten Bojonegoro yang tinggal di tepi Bengawan Solo mengatakan, dirinya menyaksikan mayat-mayat di Bengawan Solo itu.

"Saat itu saya masih remaja," ujarnya saat ditemui, Selasa (1/10/2024) siang.

Seingat Samijah, mayat-mayat itu marak terapung tak karuan di Bengawan Solo dekat rumahnya mulai November 1965. Saat itu kemarau. Bengawan Solo menciut atau aliran airnya tak besar.

"Jadi, mayat-mayat yang mengambang di Bengawan Solo itu terlihat jelas. Bisa dilihat dari dekat," jelasnya.

Mayat-mayat orang PKI yang terapung-apung atau mengambang di Bengawan Solo dekat rumahnya, ungkap dia, seperti pohon pisang dan mengalir ke timur atau hilir, mengikuti arus Bengawan Solo.

"Mayat-mayat itu rata-rata laki-laki dan bertelanjang dada. Jarang sekali mayat yang perempuan," terangnya.

Mayat-mayat itu, lanjut perempuan kelahiran 1945 ini, paling banyak muncul saban pagi hari. Jumlahnya tak terhitung. Mayat-mayat terus menerus muncul dari barat atau hulu.

"Tak ada yang berani mengambil lalu menguburkan mayat-mayat itu. Warga sini membiarkan saja," imbuhnya.

Lain kengerian di Bengawan Solo itu, lanjut lansia yang kini membuka warung kopi di tepi Bengawan Solo Kelurahan Ledok Kulon ini, kampungnya juga dicekam kengerian saban malam.

"Habis maghrib, orang-orang sini menutup pintu rumah. Kalau ngomong harus berbisik-bisik," tuturnya.

Cukup sering, lanjut Samijah, setiap lepas isya dirinya melihat segerombol orang membawa satu atau dua tetangganya. Pemandangan itu dia lihat dari dalam rumah. Melalui celah-celah.

"Segerombol orang membawa tetangga-tetangga itu berpakaian hitam, bersarung, ada juga bersorban," imbuhnya.

Setelah tetangga-tetangga itu dibawa segerombol orang tersebut, kata Samijah, tetangga-tetangganya tersebut tak pernah kembali pulang ke rumah. Ada yang bilang, tetangga-tetangga itu disembelih.

"Tapi saya tak pernah menyaksikan (penyembelihan, red). Saya tak boleh keluar rumah malam hari," terangnya.

Adapun, ungkap dia, tetangga-tetangga dibawa segerombol orang itu rata-rata merupakan para seniman. Mereka sering terlihat tampil dalam pertunjukan ludruk, wayang orang, atau sandur.

"Yang dibawa, seingat saya laki-laki semua. Tak ada  perempuan. Kata bapak, mereka orang-orang Lekra," tuturnya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun