Alkisah selesai acara arisan di rumah bu RT (maksudnya para ibu dan termasuk istri saya), pak RT memanggil bapak-bapak yang ada di kompleks perumahan untuk berkumpul sambil makan Tekwan dan beberapa jenis gorengan. Seperti khas nya pembicaraan para bapak, biasanya trending topic nya menyangkut masalah perawatan mobil / motor, sepakbola dalam dan luar negeri, koruptor dan korupsi dan ujung-ujungnya intens membahas masalah pajak.
Rata-rata tidak terlalu menguasai urusan pajak, hanya “ikhlas” mengalami “pemotongan paksa”. Misalnya gaji kena pajak, THR kena pajak, PBB, mobil dan motor tiap tahun harus bayar pajak, makan di restoran juga kena pajak.
Mudah-mudahan pajak yang kita bayarkan memang dipergunakan sebagaimana mestinya. Soalnya dulu ada seorang tetangga yang pensiun dari Chevron mendapat pesangon sekitar Rp. 1,8 M, tetapi setelah dipotong pajak “hanya” mendapat Rp. 1,17 M. Apa jadinya kalau beliau tahu bahwa “uangnya” malah masuk kantong orang yang tidak berhak.
Saya juga pernah mengalami pembayaran pajak ganda (maaf karena saya memang tidak mengerti urusan pajak). Pada saat anak kedua saya lahir secara Caesar, biaya yang dikenakan oleh Rumah Sakit adalah Rp.9.200.000,- sehingga total saya membayarkan Rp.10.020.000,- termasuk pajak. Masalahnya adalah saat saya klaim ke kantor, saya dapat penggantian biaya tersebut (walau tidak 100% tetapi sangat membantu) tetapi itupun masih dikenai pajak 10%. Nah lho, berapa kali saya harus kena pajak yaa ???
Uniknya sewaktu di Medan, banyak hal yang bisa kita lakukan di pajak. Beli baju di pajak, beli ikan di pajak dan bahkan (maaf) buang air kecil pun bisa di pajak. Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena pajak di Medan itu adalah tempat berjual-beli / pasar :-)
Lain Medan lain Palembang. Kalau pedagang kemplang (kerupuk khas Palembang) juga dipajak, konon ada seorang pengusaha besar Indonesia di Jakarta yang pajaknya malah dikemplang Hahaha …