Kedatangan kami disambut ramah oleh Mbak Niken dan Pak Lanang, partner usaha dari pemilik Sate Ratu. Sementara Pak Fabian Budi Seputro atau yang kerap dipanggil Pak Budi sendiri sedang sibuk menyiapkan pesanan untuk para pelanggan. Kebetulan saat itu restoran sedang ramai-ramainya.
"Mari duduk di dalam saja, maaf ya, saya sambi," begitu kata beliau. Meskipun sibuk, beliau tetap ramah melayani setiap pelanggan yang datang. Ya, ramah dan suka mengajak pelanggannya mengobrol adalah salah satu cara Pak Fabian untuk mempertahankan usaha Sate Ratu yang kini sudah memasuki usia 3 tahun.
"Dalam membuka usaha ini, saya sudah siap untuk menerima resiko sepi selama 5 tahun pertama. Inilah yang membuat saya bisa bertahan."
Awalnya Pak Budi ini bekerja di industri entertainment selama kurang lebih 21 tahun. Mengaku tidak punya apa-apa yang diwariskan, beliau pun memutuskan untuk resign dan berwirausaha. Berbekal pengalaman bekerja itu, Pak Budi dan Pak Lanang membuka usaha Angkringan Ratu. Sempat memiliki beberapa cabang di Jogja, ternyata Angkringan Ratu hanya bertahan beberapa bulan saja.
Mereka pun memulai usaha Sate Ratu dari nol lagi. Dengan konsep berbeda dengan konsep angkringan yang memperlihatkan produk di display dan bermacam-macam, Sate Ratu hanya menjual Sate Merah, Sate Lilit dan Ceker Tugel. Terakhir ada menu baru yakni Kuah Polos untuk mereka yang tidak suka makan terlalu kering.
"Simple dan tidak mau repot," itu alasan yang dikemukakan Pak Budi ketika ditanya kenapa tidak menyediakan lontong di resto-nya. Jika sate lain menyajikan sate dengan bumbu kacang, irisan bawang merah dan lontong. Di Sate Ratu, saya tidak akan menemukannya.