Sebentar lagi, setahun itu bakalan lewat.
Saya juga baru tahu, ada ribut-ribut tahun lalu. Ketika beredar isu direktur utama PT PLN bakalan dipegang bos Jawa Pos, dua puluh General Manajer PT PLN mengancam mundur. Bukan hanya itu, karyawan PLN juga berunjuk rasa menolaknya. Ketua Umum Serikat Pekerja (SP) PLN bahkan sempat berkata, "Jika orang seperti Dahlan Iskan memimpin PLN, ia akan menganggap listrik sebagai komoditi, Dengan memperlakukan listrik sebagai komoditi, tarif dasar listrik akan didorong lepas ke pasar. Akibatnya, masyarakat yang dirugikan.”
Luar biasa, mereka begitu mempedulikan nasib rakyat.
Saya mengetahui semua itu setelah menghabiskan malam hanya dengan lilin, tanpa televisi dan tanpa komputer. Apakah dua bulan lagi bos Jawa Pos akan dipecat karena itu?
Biarlah saya bercerita dahulu.
Dua minggu lalu, orang PLN datang ke kompleks. Mereka mencabut listrik kami. Apakah kesalahan kami? Mencuri listrik.
Developer telah memasang listrik di salah satu rumah, lalu mengaliri rumah lain dari situ. Kami hanya bisa menerima. “Kota kekurangan daya listrik, tidak tidak ada pemasangan baru,” Kata developer. “Jadi terimalah apa yang ada untuk sementara ini.”
Sementara itu sudah berlangsung dua tahun lebih.
Dan dua minggu lalu PLN melakukan razia. Menemukan, bahwa listrik yang masuk ke satu-satunya rumah itu tidak memiliki meteran. Dan Mini Circuit breaker (MCB)-nya diganti dengan ukuran yang lebih besar sehingga daya yang semula hanya mampu menerangi satu rumah, sekarang bisa melayani seluruh kompleks (termasuk kulkas, televisi, komputer dan bahkan AC). Dan setiap bulan, satu sen pun tidak pernah dibayarkan ke PLN.
Singkat cerita, kalau mau punya listrik, harus membayar 63 juta rupiah. Siapa yang harus membayar? Tentu saja developer. Tetapi direkturnya menyembunyikan diri. “Aku masih di Jawa, belum pulang sejak lebaran karena ibuku sakit keras,” katanya di telpon.
“Tidak akan ada pemasangan baru sampai denda lunas,” itu pesan dari PLN yang kami dengar. Tetapi anehnya, satu orang tetangga, listriknya kembali menyala. Dengar-dengar, ia sudah membayar enam juta lebih untuk itu.
Kami pun pergi ke PLN seminggu kemudian. Menghadap orang yang mengurus denda. Jawabannya seperti yang sudah kami dengar. Bayar dulu dendanya, baru listrik dipasang.
Kami ceritakan masalahnya, developer kami pengecut. Kami ingin memasang sendiri, biar developer yang mengurus dendanya. Tidak bisa! Ada perjanjian antara developer dan PLN, bahwa pihak developer sudah membuat surat perjanjian bermeterai. Bahwa mereka akan menyediakan trafo untuk kompleks kami. Trafo yang harganya entah berapa ratus juta.
Tetangga saya berkata, “Lalu mengapa ada satu warga yang bisa? Listriknya sudah menyala? Kalau satu bisa, seharusnya semua bisa.”
“Siapa yang memasang?
“PLN.”
“Jangan begitu. Saya ini PLN, saya tidak tidak memasangnya.”
Ia lalu menjelaskan jangan mengatakan PLN. Ia juga orang PLN. PLN itu besar, jadi jangan katakan PLN yang memasangnya. Orang yang memasangnya, bukan PLN. Ia menggambarkan PLN itu seperti sebuah lingkaran yang sangat besar dan orang yang memasang listrik di rumah tetangga kami itu hanyalah sebuah bintik.
Tetapi ia memberi kami solusi. Supaya tidak ribut-ribut, ia menyuruh kami mendaftarkan pemasangan baru. Itu setelah kami jelaskan bahwa kami siap dengan biaya pemasangan sambungan baru.
Keluar dari kantor PLN, orang-orang yang sudah kami kenal, orang yang memasang listrik di rumah tetanga kami mengajak kami berbicara. Salah satunya menyalahkan kami karena melaporkan seolah-olah ia memasang listrik curian. Ia katakan, listrik rumah tetangga kami hidup karena pemiliknya sudah mendapat ijin developer untuk memasang listrik sendiri tanpa melewati mereka.
Setelah mengetahui kami juga mau memasang listrik lepas dari developer, bahkan sudah disuruh mendaftar, ia bertanya apakah kami memang punya uangnya. Kami katakan “Ya.” Kami tidak peduli lagi pada developer.
Ia berkata, “Kalian mau listrik kalian hidup sore ini juga?”
Saya percaya ia mampu melaksanakannya. Tetangga yang listriknya sudah menyala itu sudah bercerita dengan bangga, “Lihat saja, waktu razia, saya mendapat telpon yang memberi tahu tempat ini akan dirazia. Orang itu sampai meminta ijin saya memotong kabel yang ke rumah saya. Berjanji akan segera memasangnya lagi.”
Tetapi saya marah. Marah karena semua permainan ini. Apalagi di pagar tertulis dalam spanduk besar: DI SINI TIDAK ADA CALO! Saya langsung beranjak pergi. Ia meminta saya duduk sebentar, mendengarkan penjelasannya, bahwa tawaran itu tidak bersifat memaksa.
Sorenya, saya mendengar ia meminta enam juta untuk pemasangan kilat itu. Begitulah. Padahal, di koran, dua hari sebelumnya, saya membaca sebuah SMS Pembaca. Isinya mengatakan mengapa begitu lama proses pemasangan listrik baru, sudah dua tahun ia menunggu dan sampai sekarang belum mendapat tanggapan PLN.
Satu minggu kemudian, kami mendapat kejelasan dari salah satu manajer di kantor itu. Ia memastikan tidak akan ada pemasangan baru tanpa membayar denda, walaupun kami sudah mengajukan permohonan pemasangan baru. Pasang saja kalau mau, pasti akan segera ia putusi lagi. Kami pun berembuk, akhirnya sepakat. Enam belas warga masing-masing membayar satu juta untuk denda itu; developer membayar 20 juta; dan sisanya yang 27 juta menjadi tanggungan rekanan PLN yang memasang listrik curian itu.
Di PLN, sudah menunggu tiga orang, salah satunya bertanya pada wakil rekanan PLN yang memasang listrik, apakah benar ia yang menjadi titik masuknya listrik curian itu. Ia mengakuinya dan mendapat ancaman, kalau tidak segera membereskan masalah denda itu, PLN akan memblack-list CV tersebut.
Hasil pembicaraan selanjutnya adalah denda dibayar dua kali, dan harus sudah lunas bulan depan. Kami boleh mengajukan pemasangan baru, untuk sementara, sementara menunggu bulan depan, masing-masing rumah dipasangi listrik tanpa meteran, tetapi kami harus membayar tarif bulanan maksimal, Rp. 600.000. (Belakangan kami mendapat informasi ternyata bukan Rp. 600.000, tetapi Rp. 700-an ribu).
Itu sudah kami bayar. Akhirnya listrik kami menyala, sementara ini tanpa meteren. Bulan depan, meteran akan dipasang setelah kami membayar biaya pemasangan baru sebesar Rp. 2.250.000,- (untuk listrik dengan daya 9000 Kw). Itu cukup murah, karena sudah terjadi tawar menawar dengan pihak rekanan PLN yang sama yang memasang listrik curian itu. Biaya normal, saya dengar sendiri dari mulut petugas yang duduk di meja custumer service, biaya pemasangan baru sampai selesai beres semua sekitar lima juta setengah.
Itulah cerita saya tentang listrik kompleks kami. Tentang developernya? Saya sedang memikirkan bagaimana cara menghantam mereka. Tentang PLN? Sudah hampir setahun Dahlan Iskan menjadi direktur PLN. Saya tidak lagi mendengar kabar orang-orang yang memprotesnya. Saya malah mendengar presiden memuji kinerja direktur yang suka menulis itu.
Apakah tahun depan Menteri BUMN akan memecat Dahlan Iskan?
Saya berharap tidak. Biarlah Dahlan Iskan bukan hanya sempat membereskan masalah pemadaman listrik, tetapi juga sempat membantai orang yang membuat harga listrik bisa ditawar seperti menawar baju murahan.