Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

[Untukmu Ibu] Ratu di Hatiku

22 Desember 2013   11:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:38 116 9
By Yunita Ramadayanti Saragi (No. 6)

Mak, sedang apa kau sekarang? Kuharap kau sehat, selalu bahagia dan sedang tersenyum dalam menjalani hidup yang tidak mudah ini.

Hey, Mak! Tahukah kau? Dulu itu aku sempat merasa malu menyebutmu dengan sebutan ‘Mamak’ di antara teman-temanku yang memanggil Ibunya dengan sebutan yang kusangka keren semacam Mama, Ibu, Bunda, Umi atau Mami. Dulu aku merasa panggilan ‘Mamak’ itu kampungan sekali. Tapi sekarang beda, Mak. Bukan panggilku padamu yang menjadi esensi, melainkan cintamu padaku yang tak pernah habis-habisnya. Aku bangga jadi anakmu dan pastinya tak ragu lagi memanggilmu Mamak, tidak Mami, tidak Mama apalagi Mimi. Meski harus menjerit dari atas gunung Himalaya dan akan didengar oleh makhluk di seluruh dunia.

Mak, pasti kaubingung sekali jika mendapati aku menuliskan surat untukmu. Ya, Mak! Aku menuliskan sebuah surat untukmu. Itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Entahlah, aku selalu menghindari segala sesuatu yang menimbulkan cekat di tenggorokan jika mengingatmu apalagi mengucapkan bahwa ‘Aku sayang, Mamak” secara langsung. Belum pernah! Selain itu bisa menyebabkan kebanjiran air mata di rumah kita tapi juga bisa membuatku mengingat betapa aku belum bisa membalas setitik pun limpahan kasih sayang dan pengorbanan yang telah kauberi padaku. Hak! Mak… aku sudah mulai menangis sekarang!

Hari ini, kukuatkan hatiku untuk menuliskan segala perasaanku tentangmu, Mak. Karena kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi esok dan aku tidak mau menyesal karena tidak mengatakan semua ini. Seperti dulu aku menangisi dan menciumi Bapak saat Bapak sudah dingin, kaku dan pucat. Aku menyesal karena tidak memuas-muaskan diri untuk mencium Bapak saat ia masih ada. Dan sekarang Mamak tahu alasannya, kan? Mengapa sekarang aku rajin menciummu jika kita bertemu? Supaya aku puas menciumi pipimu yang masih hangat dan lembut walau sudah sedikit dijalari keriput.

Mak, ingatkah kau dulu? Saat aku masih kecil, akulah anakmu yang paling manja dan menyebalkan. Aku tidak mau bangun dari tempat tidur sebelum kau menggendongku dan mendudukkanku di kursi yang terdekat denganmu, padahal waktu itu aku sudah kelas satu SD! Saat bangun dari tidur soreku aku akan menjerit memanggilmu yang sedang sibuk mempersiapkan menu katering, usaha rumahan yang membuatmu senantiasa sibuk dan menjadikan rumah kita tak pernah lepas dari wewangian aroma masakan. Pernah kau mendelegasikan Bibi untuk menggendongku, tapi aku tak terima, tetap bersikeras agar Mamak yang menggendongku. Padahal Mamak masih begitu sibuk dan mungkin letih karena sedari pagi buta sudah mondar-mandir menyiapkan aneka jenis masakan. Lalu kau pun datang dengan sebongkah senyum, menggendongku di punggungmu dan memandikanku. Saat aku sudah wangi, kau akan mendudukkanku di sebelahmu yang lalu kembali sibuk menyiangi sayuran atau meracik bumbu-bumbu setelah membuatkan aku teh dan roti. Ah, betapa menyebalkannya diriku ya, Mak. Aku baru menyadarinya sekarang.

Tapi, Mak. Aku paling tidak bisa pisah jauh dari dirimu. Dari SD hingga SMP aku adalah satu-satunya cucu nenek yang tidak pernah berkumpul dengan cucu-cucu lain di rumah sepupu-sepupu atau di rumah nenek di luar kota saat liburan panjang tiba. Karena apa? Karena aku tidak bisa pisah dari Mamak. Saat libur tiba semua cucu-cucu nenek akan tinggal di rumah Nenek untuk menghabiskan masa liburan, aku sering tergoda untuk ikut, tapi jika malam telah tiba, maka aku akan teringat dirimu dan menangis sejadi-jadinya minta dipulangkan segera ke rumah. Ah, aku ini, sudah menyebalkan, merepotkan pula lagi. Entahlah, Mak. Dulu, saat gelap yang menakutkan menelingkupi bumi aku hanya merasa aman jika melihatmu, aku hanya merasa bahwa dunia ini akan baik-baik saja jika ada Mamak dan ternyata suara jangkrik berderik yang membuatku ngeri dan ciut itu obatnya hanya satu yaitu meringkuk di sebelah Mamak.

Saat aku kuliah dan mengharuskan aku sendirian tinggal di luar kota, pada saat itulah aku memakai gengsiku---gengsi anak yang sudah besar---sebagai tameng akan rasa takut jauh dari Mamak. Belum, Mak, sebenarnya belum bisa aku jauh darimu, untung saja kala aku beranjak dewasa gengsi yang kusebutkan tadi turut juga tumbuh, hingga membantuku melewati hari-hari tanpamu. Walau itu kurasa berat sekali, Mak. Hingga aku berdoa, agar kiranya kematian harus lebih dulu menjemputku karena menurut pikirku yang hanya berjarak tiga jam dari kota Mamak tinggal itu, berpisah dengan Mamak dan melihat Mamak pergi, pastinya akan membuatku mati juga. Kuliah ini juga sebenarnya adalah salah satu Training dan Pelatihan Supaya Bisa Jauh dari Mamak, dan ini berhasil kan, Mak? Berhasil menghapus khawatirmu saat memikirkan bagaimana aku bisa menjalani hidup tanpamu saat menikah nanti. (Eh, atau jangan-jangan menguliahkanku di luar kota adalah salah satu strategi Mamak untuk buatku bisa jauh darimu? Eh? Iyakah, Mak?? Kalau begitu, Mamak telah berhasil!) Dan sekarang aku sudah menikah, Mak. Anakmu sudah menikah, ya, anakmu yang cengeng itu sudah menjadi seorang istri dari suami yang hebat, berkat doamu jua.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun