Di reaktor nuklir, proses radiolisis air terjadi ketika molekul air dalam sistem pendingin terkena radiasi intens, seperti radiasi neutron atau gamma, yang mengakibatkan molekul air terurai menjadi produk-produk reaktif. Dalam reaktor fisi, produk radiolisis ini termasuk radikal hidroksil (OH), ion hidrogen (H+), dan molekul hidrogen peroksida (HO). Reaktor fusi, seperti ITER, yang saat ini sedang dibangun di Cadarache, Prancis, juga akan menggunakan air sebagai pendingin, dan oleh karena itu menghadapi tantangan yang sama dalam hal pengendalian produk radiolisis. ITER adalah proyek internasional yang bertujuan untuk mendemonstrasikan kelayakan teknologi fusi sebagai sumber energi yang berkelanjutan. Salah satu tujuan utamanya adalah mencapai tingkat pembakaran plasma yang stabil untuk menghasilkan energi tanpa karbon. Walaupun ITER dirancang untuk meniru reaksi fusi yang terjadi di matahari, fasilitas ini masih dalam tahap eksperimen dan tidak ditujukan untuk memproduksi listrik dalam skala komersial.
Di dalam reaktor, produk-produk radiolisis tersebut dapat menyebabkan korosi pada komponen logam karena sifat kimiawi mereka yang sangat reaktif. Oksidator yang kuat seperti HO dan O dapat berinteraksi dengan permukaan logam, meningkatkan elektroda potensial korosi (ECP) pada bahan struktural reaktor. Korosi ini, jika berlangsung terus-menerus, akan mengurangi masa pakai material dan mengancam keamanan operasional reaktor. Â Â Â Â Dalam reaktor fisi, telah ditemukan bahwa penambahan hidrogen ke dalam pendingin dapat mengurangi efek oksidator dengan menghambat pembentukan radikal bebas yang reaktif. Dengan begitu, reaktor fisi berpendingin air sering kali menyuntikkan hidrogen ke dalam sistem pendingin untuk menekan pembentukan produk radiolisis dan mengurangi potensi korosi komponen utama.
Dalam reaktor fusi ITER, kontrol terhadap produk radiolisis sangat penting karena ITER beroperasi dengan suhu yang lebih rendah dibandingkan reaktor fisi, tetapi dengan paparan radiasi neutron yang lebih intens. Kondisi ini menyebabkan peningkatan produksi radikal bebas dan molekul oksidator, sehingga pengendalian ECP menjadi prioritas utama untuk mencegah kerusakan material. ITER menggunakan pendekatan unik untuk mempertahankan struktur pendinginnya tetap aman dari efek merusak radiasi. Salah satu strategi yang digunakan adalah dengan merancang sistem pendingin yang mampu menahan kondisi radiasi ekstrem. Namun, kontrol kimia air pendingin tetap sangat penting karena radikal bebas dan produk radiolisis yang terbentuk akan mempengaruhi potensi korosi.
   Material yang digunakan dalam pembuatan reaktor fusi ITER memiliki persyaratan khusus. ITER menggunakan beberapa jenis material, termasuk baja tahan karat, paduan berbasis nikel, dan tembaga, untuk memenuhi kebutuhan akan ketahanan terhadap korosi, kekuatan mekanik, dan konduktivitas termal yang tinggi. Pemilihan material ini dilakukan dengan mempertimbangkan ketahanannya terhadap paparan radiasi dan kemampuan untuk bertahan dalam lingkungan korosif yang disebabkan oleh produk radiolisis. Baja tahan karat, misalnya, dipilih karena memiliki sifat ketahanan yang baik terhadap korosi dan kekuatan mekanik yang tinggi, sementara paduan nikel dipilih untuk ketahanan korosinya yang tinggi dan konduktivitas panas yang memadai. Penggunaan material ini juga diharapkan dapat mengurangi kontaminasi radioaktif dalam sistem pendingin.
   Untuk memahami dampak radiolisis terhadap korosi, penelitian di reaktor fisi menunjukkan bahwa parameter elektroda potensial korosi (ECP) memainkan peran penting dalam menentukan tingkat kerusakan korosi. Penelitian ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai ECP, semakin besar kemungkinan terjadinya kerusakan struktural yang diakibatkan oleh korosi. Pada reaktor berpendingin air, faktor-faktor seperti laju aliran pendingin, konsentrasi oksidator, dan nilai pH juga mempengaruhi laju korosi. Oleh karena itu, pemantauan ECP menjadi penting untuk mencegah korosi dan memperpanjang masa pakai material struktural reaktor. Di ITER, pemantauan ECP akan dilakukan pada berbagai komponen untuk memastikan bahwa kondisi pendinginan tetap stabil dan aman.
    Radiolisis di dalam reaktor berpendingin air melibatkan beberapa tahapan. Ketika air terkena radiasi, terjadi proses ionisasi yang menghasilkan radikal bebas, ion, dan molekul reaktif lainnya dalam waktu yang sangat singkat. Proses ini dibagi menjadi tiga tahapan, yaitu tahap fisika (ionisasi awal), tahap fisika-kimia (reaksi antar produk awal), dan tahap kimia (reaksi di luar lokasi awal ionisasi). Selama tahap fisika, molekul air yang terionisasi langsung menghasilkan radikal bebas seperti H, dan OH dalam hitungan picosekon. Selanjutnya, pada tahap fisika-kimia, produk-produk ini saling bereaksi membentuk molekul yang lebih stabil seperti H dan HO dalam waktu nanosekon. Pada tahap kimia, produk-produk ini berdifusi keluar dari lokasi ionisasi awal dan bereaksi dengan molekul air lainnya dalam larutan, membentuk produk akhir radiolisis.
   Di sisi lain, penambahan hidrogen ke dalam sistem pendingin dapat membantu menekan efek oksidasi dari produk radiolisis. Dalam reaktor fisi, strategi ini sudah umum digunakan untuk mencegah kerusakan akibat korosi pada material struktural. Namun, untuk ITER, karena karakteristik fusi yang berbeda dengan fisi, jumlah hidrogen yang digunakan harus diatur dengan cermat agar tidak menimbulkan masalah tambahan. Salah satu tantangan utama dalam pemantauan ECP adalah kesulitan pengukuran langsung di lingkungan reaktor yang keras. Untuk mengatasi hal ini, elektroda platinum sering digunakan sebagai indikator kondisi redoks. Penggunaan elektroda ini memungkinkan pemantauan kondisi korosi secara terus-menerus tanpa perlu mengukur ECP secara langsung.
    Dalam jangka panjang, penanganan korosi yang efektif pada ITER juga melibatkan pengembangan material baru yang lebih tahan radiasi dan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menahan korosi. Hal ini penting untuk meminimalkan kontaminasi air pendingin oleh ion logam hasil korosi, yang pada akhirnya dapat memperburuk kualitas pendinginan dan meningkatkan potensi bahaya radiasi. Material seperti baja tahan karat dan paduan nikel telah terbukti mampu menahan kondisi ekstrem dalam lingkungan reaktor fisi, namun pada ITER pengembangan material tetap berlanjut agar bisa memenuhi kebutuhan teknologi fusi yang lebih kompleks.
    Di samping itu, ITER dirancang untuk beroperasi dalam mode pulsa, di mana plasma akan diaktifkan selama beberapa ratus detik dan kemudian didinginkan. Siklus operasi ini dimaksudkan untuk mengurangi tekanan pada komponen struktural dan mengurangi potensi kelelahan material akibat paparan radiasi yang terus menerus. Sistem pendingin air dalam ITER, yang dikenal sebagai Tokamak Cooling Water System (TCWS), memiliki kapasitas untuk menghilangkan sekitar 1 gigawatt energi panas dari komponen reaktor. Sistem ini juga bertugas menjaga stabilitas suhu, mengendalikan tingkat pH, dan melakukan proses pengeringan dan pengisian ulang.
Secara keseluruhan, masalah radiolisis dalam reaktor ITER merupakan aspek penting yang harus dikendalikan dengan baik untuk menjamin kelangsungan dan keamanan operasional reaktor. Pengembangan teknologi pemantauan, pemilihan material yang tepat, serta strategi pengendalian korosi akan menjadi faktor penentu dalam keberhasilan ITER dalam menunjukkan bahwa fusi nuklir dapat menjadi sumber energi yang berkelanjutan. Dengan terus belajar dari pengalaman reaktor fisi, tim ilmuwan dan insinyur ITER diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang stabil dan aman di dalam reaktor, sekaligus membuka jalan bagi masa depan energi bersih dan berkelanjutan.
Referensi: Â
Macdonald, D.D., Engelhardt, G.R., dan Petrov, A. "A Critical Review of Radiolysis Issues in Water-Cooled Fission and Fusion Reactors: Part I, Assessment of Radiolysis Models." Corrosion and Materials Degradation", 2022.