Entah kenapa koq bisa-bisanya waktu yang berdekatan dimana pada tanggal 7 Maret saya menyusuri Sungai Mekong di Vietnam bagian selatan dan 14 Maret kemarin saya menyusuri Muara Angke di Jakarta. Sehingga saya bisa melihat perbedaan yang cukup signifikan dan tergerak untuk berbuat sesuatu untuk kota tercinta. Sungai Mekong terkenal ke penjuru dunia dan pulau-pulau disekitarnya dibangun berkesinambungan dan memasok sayur-sayuran maupun buah-buahan (hasil dari pulau tersebut)ke kota disekitarnya maupun ke luar negeri. Bagi yang pernah mengunjungi sungai ini maupun sungai-sungai besar di Kalimantan, mungkin melihatnya lebih kurang mirip. Saya belum pernah ke Kalimantan tapi kalau dilihat-lihat fotonya, sepertinya ya mirip. Muara Angke terkenal akan suaka margasatwanya, belum mendunia sih tapi kalau kita pergi ke Bandara Internasional Soekarno-Hatta pasti terlihat papan penunjuk jalan menuju area tersebut. Dari sekitar 100 ribu hektar lebih dulunya, sekarang tinggal 25 hektar saja. Sangat menyedihkan! Sama sedihnya saat saya menyusuri muara tersebut dengan perahu karet. Bau yang menyengat dan pemandangan yang tidak enak dilihat mata. Sungai Mekong yang saya susuri jauh lebih baik dan indah. Sekali lagi, maaf kalau saya memuji negara lain. Mereka tahu bagaimana menjual wisata tersebut. Saya sampai bengong, bagaimana di antara 4 pulau di sungai tersebut dimana yang saya kunjungi hanya dua pulau saja, mereka bisa menjual wisata yang menarik turis. Budi daya lebah dengan madunya yang dijual dimana kita bisa mencoba madu di seduh air panas dan diberi jeruk nipis. Di tempat yang sama, terdapat ular phyton yang dipelihara dan dijual racunnya untuk kesehatan dan wisatawan bisa berfoto dikalungi ular. Untuk yang satu itu, saya enggak berani pastinya. Masih di pulau yang sama, kita wisatawan disuguhkan buah-buahan tropis seperti nanas, pepaya, buah naga, dan jeruk bali. Pindah ke pulau lain, disana terdapat usaha penjualan permen yang dibikin berasal dari kelapa (coconut candy). Banyak turis Indonesia bilang seperti dodol, walau kenyataannya beda karena permen ini tidak kenyal seperti dodol. Wisata diakhiri dengan makan siang dan bersepeda keliling kemana kita mau dan sanggup. Semua wisata ini diberdayakan dengan memanfaatkan penduduk lokal di tempat tersebut. Usaha-usaha keluarga yang mirip satu sama lainnya tapi bersaing dengan sehat. Membaca tulisan saya, pasti kesannya, 'ah begitu doank, biasa aja koq'. Memang bagi kita biasa banget tapi bagi turis-turis lainnya, itu sesuatu yang menarik. Yang lebih gubraksnya saya saat di tempat pembuatan permen kelapa tersebut, diperlihatkan cara mengukur kelapa. Oalah, ini sih cara nenek saya mengukur kelapa 20 tahun lalu di Medan sana. Cara menggiling kelapanya pun masih sama dengan cara penggilingan menggunakan mesin yang dilakukan di pasar-pasar tradisional. Tapi lagi-lagi itu menarik turis asing. Kembali ke Muara Angke, saya melihat beberapa titik yang juga bisa dikembangkan. Pemandangan di suaka marga satwa yang kami telusuri melalui jembatan, Masya Allah indahnya dan tidak berbau. Kita bisa melihat diseberang gedung-gedung tinggi yang merupakan pabrik. Pohon-pohon yang tumbuh liar dan binatang yang berkeliaran dengan bebas. Alhamdulillah saat penelusuran tidak dijumpai binatang karena jujur saya agak paranoid dalam hal ini. Belum lagi area swamp thing-nya yang mengingatkan saya akan film yang diputar di RCTI sepuluh tahun lalu. Ya sedikit touch-up disana sini, sempurnalah area disekitar jembatan dengan panjang 800 meter ini. Nah sekarang untuk area penyusuran melalui kapal karet. Yang ini butuh perhatian dan pembenahan hampir secara keseluruhan. Seperti yang sempat dibicarakan dengan mbak Mariska, akan lebih indah kalau rumah-rumah penduduk di tepi sungai, dirapikan/dibangun ulang dimana pemandangan di bagian belakang rumah dibikin menarik sehingga kami yang menyusuri sungai bisa melihat sesuatu yang indah seperti perumahan di tepi kanal di Amsterdam. Walau bangunannya kecil tapi aspek keindahan juga diperhatikan. Tak boleh lagi ada yang mandi dan buang hajat di sungai. Maaf, rasanya seperti menonton 'slumdog millionaire'. Dibangun MCK umum seperti proyek yang sudah berhasil di daerah Petojo Utara dan sempat disinggahi Hillary Clinton. Yang juga harus dilakukan, enggak boleh lagi ada pembuangan sampah ke muara ini oleh penduduk Jakarta. Perahu-perahu penduduk di perbaiki dan dilakukan uji kelayakan dengan standar yang berlaku sehingga tidak perlu lagi menggunakan perahu karet untuk penyusuran muara tersebut. Dengan cara ini, artinya penduduk sekitar diberdayakan dan bisa meningkatkan pendapatan mereka juga. Penduduk disekitar pinggir muara tersebut harus didata dengan cermat dimana peran ketua RT/RW harus diberdayakan semaksimal mungkin, jangan sampai ada lagi pendatang baru yang datang kecuali mereka bisa menjaga keindahan tempat tersebut. Penduduk sekitar juga diberdayakan untuk menghasilkan produk rumah tangga yang berkualitas baik dan bisa dijual kepada turis. Bisa itu berupa makanan atau kerajinan tangan. Tempat istirahat sedikit diperbaiki terutama untuk wc nya sehingga terlihat lebih baik dan tidak ada istilah airnya gak nyala. Wong disekitar situ air semua, tapi koq air di wc bisa habis. Terakhir,pengunjung diberi kesempatan untuk menanam bakau tersebut. Nah, ini kan yang paling keren. Setiap pengunjung menanam dan namanya terpampang disamping pohon tersebut. Habis menanam, foto-foto, upload deh ke facebook. Isn't it cool? (saat di Vietnam, si tour guide menggoda turis untuk mencoba masuk ke terowongan di Cu Chi dengan cara seperti ini, 'foto-foto di dalam terus upload deh ke facebook). Pada acara kemarin itu saya memang enggak ikut menanam, jujur karena enggak mau kotor. Nah kedepannya untuk menyikapi ini, maka harus disediakan sepatu karet yang tinggi sampai lutut, sehingga enggak ada lagi alasan untuk tidak turun dan menanam. Saya yakin, kalau misalnya saran sederhana saya ini di tindak lanjuti oleh pemerintah atau kita para Kompasianers, Jakarta akan punya tempat wisata yang oke punya dan murah meriah. Tempat wisata ini bisa dijual untuk turis domestik maupun lokal. Beberapa tahun lalu saat ke Bali dan berwisata ke Nusa Lembongan, disana juga terdapat hutan bakau yang jauh lebih indah dari Muara Angke (tentunya). Wisatanya cukup menjual apalagi penyusuran tersebut menggunakan perahu kecil yang hanya bisa ditumpangi dua orang. Kalau saja Muara Angke bisa dibenahi, akan ada satu lagi tempat wisata yang bisa dijual untuk 'one day city tour' dan menjadi icon kebanggan Jakarta. Semoga saja... * Yunika Umar, yang enggak bisa tidur karena mikirin betapa indahnya sebenarnya Muara Angke ini.
KEMBALI KE ARTIKEL