Keluar dari bandara kamipun mencari taxi. Sesuai petunjuk seperti yang saya ceritakan di bagian satu, biaya taxi sekitar 100000 Vietnam Dong (VND). Tapi pada kenyataannya enggak ada satu taxipun yang mau dengan biaya sebesar itu. Akhirnya kami menemukan taxi dengan merk Mai Linh yang setuju dengan biaya 120000VND. Supir taxi enggak bisa diajak berbicara bahasa Inggris. Walhasil kami hanya bisa mengamati keadaan kota yang mirip-mirip Jakarta puluhan tahun lalu. Agak jadoel, pengendara motor yang sama dengan di Jakarta. Bedanya pengendara motor wanitanya sexi banget. Beda banget dengan di Jakarta. Hehe. Sampai di hotel, ternyata hotel tersebut agak masuk sedikit ke dalam gang. Memang hotelnya kecil tapi pelayanannya cukup bagus. Banyak turis asing menginap disini. Karena kamar yang kami pesan penuh, jadilah kami diberi kamar deluxe untuk semalam dan keesokan harinya pindah ke kamar sesuai reservasi. Hmmm, lumayan merepotkan tapi mau gimana lagi. Ternyata di kamar deluxe ini terdapat satu tempat tidur ukuran besar dan satu medium. Bisa untuk tiga orang. Kelebihan hotel ini adalah free wifi didalam hotel sehingga saya tetap bisa mengakses internet. Setelah sebentar melepas lelah sekitar 30 menit, kamipun mulai menyusuri area sekitar hotel. Target pertama adalah cari makan. Rupanya kami masih kelaparan dan roti gambang enggak cukup untuk mengisi perut. Dekat dari hotel, kami melihat restoran India dan halal. Langsung deh masuk dan memesan vegetable fried rice dengan harga sekitar 25000 VND atau sekitar 13000 rupiah. Selesai makan kami pun keliling untuk membeli air mineral. Ternyata penginapan kami berada di pusat turis sehingga dimana-mana banyak terdapat hotel, turis asing, cafe, bar, toko souvenir, dsb. Demi perjalanan keesokan harinya maka sekitar jam setengah dua belas kamipun kembali ke hotel. Untuk hari pertama kami memilih paket tur setengah hari ke terowongan cu chi (baca: ku chi) dengan harga $ 5. Pagi sekitar jam 8 kami dijemput di hotel. Jemput turis disana sini sehingga bis penuh, barulah perjalanan dilanjutkan sekitar 2.5 jam. Ini termasuk dengan pemberhentian kamar kecil di tempat pembuatan kerajinan khas Vietnam dari kulit telur. Harganya lumayan mahal, di tengah kota jauh lebih murah. Selama perjalanan sekitar satu jam, tour guide bernama Chister menjelaskan tentang terowongan tersebut dan bagaimana kehidupan masyarakat disana. Saya kagum dengan negara ini, setelah lepas dari embargo ekonomi oleh Amerika di tahun 1995 hingga sekarang, rasanya negara ini cukup cepat berkembang. Bukan saya hendak memuji rumput tetangga tapi jika saja pemerintah Indonesia tidak berbenah dan memperbaiki segala lini di bidang investasi, kita akan jauh tertinggal dengan Vietnam. Chister menceritakan betapa susahnya orang seperti dia bisa bepergian ke Amerika atau Australia. Pernah ada yang menawarkan tiket serta penginapan dan uang saku untuk berlibur ke Melbourne karena dia telah menolong keluarga tersebut saat berada di Ho Chi Minh. Kepergian tersebut terhambat dikarenakan jaminan sebesar $ 7000 untuk bisa berkunjung ke Australia dan sebesar $ 10000 untuk bisa berkunjung ke Amerika. Chister pun menceritakan bagaimana di saat embargo ekonomi, untuk hanya memiliki sepeda, pamannya harus menunggu selama setahun. Bulan pertama dia harus memesan terlebih dahulu, karena stok sedang habis, pemerintah hanya menjanjikan untuk bisa memberikan satu bagian dari sepeda setiap bulannya. Bulan pertama mendapatkan rem, bulan kedua mendapatkan sadel dan seterusnya hingga bulan kesembilan. Setelah itu membutuhkan waktu 3 bulan untuk memasang bagian-bagian tersebut menjadi sepeda yang utuh. Diapun menceritakan bagaimana di tahun 90-an keluarganya harus mengantri untuk mendapatkan bahan pokok dan juga winter coat. Bergidik bulu kuduk saya saat mendengar cerita-ceritanya. Akhirnya sampai juga kami di cu chi tunnel dan membayar 75000 VND untuk tiket masuk. Pertama kami disuguhkan video bagaimana saat terjadinya perang Vietnam. Saat itu para wanita bekerja seperti pria dan membantu menggali terowongan sepanjang 200km di bawah tanah dengan ukuran yang pas untuk orang jongkok. Saat itu daerah cu chi masih merupakan daerah yang belum ditumbuhi pepohonan dan tanahnya adalah tanah liat. Tanah liat yang sudah dikeruk dibuang ke sungai Saigon. Bom yang dibuat pun berasal dari tanah liat. Di bawah tanah di dalam tempat persembunyian, dibangun juga dapur umum dan ruang untuk mengatur strategi, terdapat 4 lantai di bawah tanah tersebut. Proses masak memasak dilakukan di pagi hari, sekali dalam sehari di saat kabut sehingga asap dari proses memasak menyatu dengan kabut. Jika gas beracun disemprotkan ke dalam terowongan ini, mereka langsung lari dan turun ke tingkat paling bawah sementara gas beracun itu akan keluar dengan sendirinya melalui lubang-lubang kecil. Selain terowongan dibangun juga tempat persembunyian yang pas untuk ukuran satu orang dengan ketinggian 1.3 meter. Orang yang bersembunyi di tempat ini, masuk ke dalam lubang dan menutupnya dengan tutup yang terbuat dari tanah. Jika orang tersebut lebih tinggi dari 1.3 meter, mereka harus berdiri dengan posisi setengah jongkok. Di sana terlihat pula ranjau untuk para anjing pengendus. Anjing yang bisa mengendus bau manusia, jika mereka mendekat, terdapat ranjau yang disirami saus ikan sehingga menarik anjing untuk datang, saat anjing mendekat dan berdiri di atas ranjau, brakkkk,mereka akan terjatuh ke bawah dimana terdapat besi-besi yang dipasang seperti tiang dan runcing. [caption id="attachment_91372" align="alignright" width="300" caption="ranjau untuk anjing pengendus "][/caption] Di dalam sungai pun dipasang ranjau, dimana ranjau tersebut berupa besi-besi yang runcing, jika kaki masuk ke dalam ranjau, ouchh...besi-besi karatan tersebut akan memaksa para korban untuk melakukan amputasi. Terdapat pula patung-patung dan foto bagaimana saat meledakkan bom. Bom berukuran besar tersebut dipotong dengan pisau oleh dua orang relawan. Seperti mati konyol rasanya. Di tempat ini disediakan juga tempat bagi yang ingin menembak menggunakan senjata semacam AK 47 dsb dan membayar lagi. Saya tidak mencobanya karena lahan tersebut berada di tempat terbuka dan suaranya memekakkan telinga. Rangkaian terakhir dari tur ini adalah saat kami para turis dipersilakan masuk ke dalam terowongan untuk berjalan jongkok sekitar 50 m. Terdapat dua terowongan, untuk turis dan lokal. Terowongan untuk turis berukuran agak lebih besar disesuaikan dengan kebanyakan ukuran manusia, dibuat setelah perang. Sementara terowongan untuk lokal adalah terowongan yang sebenarnya dulu digunakan saat perang. Saya dari awal menolak untuk masuk, masih ingat dulu saat masuk ke dalam piramid dan merasa kelelahan yang berkepanjangan. Turis punya pilihan untuk merangkak sepanjang 50m atau berbelok kiri dan keluar setelah perjalanan 25m. Kami yang tidak masuk, menunggu di pintu keluar dan terlihat mereka yang masuk terlihat kelelahan dan berpeluh keringat. [caption id="attachment_91379" align="alignleft" width="300" caption="ranjau di dalam sungai"][/caption] Selesai melihat tempat ini sekitar 1.5 jam, kami pun kembali ke kota. Di sepanjang perjalanan, rata-rata turis maupun sang tour guide tertidur. Kami terbangun menjelang bis berhenti di dekat war remnants museum. *bersambung lagi...
http://wisata.kompasiana.com/2010/03/06/vietnam-trip-2010-part-1/ http://wisata.kompasiana.com/2010/03/09/ho-chi-minh-trip-2010-part-2/
KEMBALI KE ARTIKEL