Mendung, kembali mengarak menguntai teduh, di atas barisan kepala-kepala tertutupi lipatan handuk kumal, dengan urat tangan mengakar, menggenggam palu besi besar, memecahi kepingan bebatuan. Perempuan-perempuan, berbaris di pinggiran jalan setapak, mendampingi kubikan batu, menumpuki mimpinya berkubik-kubik, yang diangkut mobil
pick up tua yang membising setiap kali melewati jalanan, kendaraan rongsokan yang harusnya sudah dimuseumkan atau mungkin dijual perkilo besinya. Ramai di bawah panas terik, bersama bocah-bocah kecilnya yang bermain di atas serakan serpihan cadas, berteduh di bawah pancangan daun kelapa kering, dibawah lereng bukit berbatu, mengaisi bongkahan-bongkahan, meninggalkan lobangan renggang, tanpa peduli waktu akan menjumpakan pada bencana, jikalau longsor menimbuni segalanya. Tiada takut dan ragu, sejengkal lambung adalah peluh, dan persetan dengan alam yang mungkin akan membecana itu, ataupun mungkin ia akan iba pada setiap helaan napas berat ini, iba pada buncitnya bocah-bocah kami. Kami terlihat bersahabat dengannya, dan ia, sang alam memberikannya. kami turut menjaganya.
KEMBALI KE ARTIKEL